1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

TKI : Mengais Nafkah, Tertimbun Derita di Kampung Orang

Ayu Purwaningsih8 Januari 2008

Tenaga Kerja Indonesia atau TKI merupakan pilar penting yang menyokong devisa negara. Namun dari tahun ke tahun nasib mereka tak kunjung membaik.

https://p.dw.com/p/CeMi
Kerja keras pekerja migran di negeri orang
Kerja keras pekerja migran di negeri orangFoto: AP

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Eli Anita, terperangkap di tengah situasi perang. Awalnya ia memutuskan untuk mengadu nasib di negeri orang untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Perusahaan yang menyalurkannya sama sekali tak pernah bicara sebelumnya mengenai Irak: “Saya tahunya kerja di Dubai, saya gak punya pilihan lain. Agen saya kurang ajar. Katanya kalau tak mau kerja dengan saya ya kamu tak ada pilihan.”

Namun ternyata sesudah hanya dua bulan di Dubai, ia dikirim Irak, negeri yang tengah dililit kemelut peperangan. Khususnya wilayah Kurdistan.

Sepuluh bulan mendengar desingan peluru dan bunyi ledakan membuatnya tak tahan. Ia memberanikan diri untuk memaksa pulang. Namun bukan tiket kembali ke tanah air yang diperolehnya:„Saya minta pulang terus saya email ke Indonesia, bahwa saya TKI yang tersekap di Irak, terus saya ketahuan yang bikin begini, ya saya akibatnya jadi kena hajar., ditempeleng, diinjak, ditinju.“

Eli Anita merupakan satu dari puluhan korban perdagangan manusia yang terjebak di Irak. Dengan iming-iming akan mendapat perkerjaan di negara makmur, mereka diangkut ke Kurdistan, bagaikan budak belian.

Mencari peruntungan di negeri orang, memang tak selalu seindah harapan. Sebagian diperlakukan sebagai barang belaka, yang diperjual belikan. Heri, seorang Tenaga Kerja Indonesia TKI menceritakan sebuah kisah getir baru-baru ini di Medinah, Arab Saudi. Kisahnya, ada seorang TKW yang dijual oleh majikannya ke majikan lain. Ketika memaksa pulang ke majikan sebelumnya, ia dijemput dan kemudian disia-sia di jalanan: “Setelah bekerja pada keluarga Mesir, majukan laki-lakinya memperlakukan ia dengan tidak senonoh. Hal itu berjalan hingga empat bulan. Tak kuat dengan majikannya yang Mesir, ia mengadu pada istri majikan agar mendapat perlidungan, namun yang terjadi hanyalah pertengkaran, dan kembali lagi masalahnya kembali. Namun ketika ia berhasil lari ke majikan sebelumnya, ia ditinggal begitu saja di Jeddah.”

Nasib sial tak cuma menimpa buruh migran perempuan. TKI lelaki pun tak luput dari apes. Seperti Djianto, seorang pengemudi di Medinah yang mengaku gajinya terkadang datang terlambat: “Terlambat datang, nunggak dua bulan Bu. Mungkin manajemennya kurang bagus. Terpaksa utang sana atau sini bu untuk menutupi kebutuhannya.”

Terkekang dalam bersosialisasi, juga beban mental yang dipikul oleh para pahlawan devisa kita. Simak saja pengalaman Rara Rashid di Jeddah yang paling banter bisa bertemu kawan di pasar, itu pun tak berani untuk ngobrol langsung: “Kalau ketemu kita saling kedip-mata, tangan di bawah belanjaan kasih kode. Lalu mendekat, saling cerita, misalnya wah majikan saya begini loh, tadi malam ngetuk kamar, atau majikan saya ngasih makan cuma roti saja, saya kan lapar.”

Dibiarkan lapar. Juga dieksploitasi tenaganya habis-habisan, dengan waktu buat istirahat yang begitu minim. Kembali Rara Rashid: “Kebanyakan yang kurang perhatian dari majikan. Seolah-olah pembantu itu adalah pembantu, tidak ada waktu untuk istirahat.”

Diganggu saat bekerja, dengan tindakan tak senonoh. Bahkan diperkosa, adalah nasib buruk yang kerap dialami TKW. Heri di Medinah pernah juga membantu para TKW yang kerap diganggu oleh sang majikan. Salah satunya bahkan meninggal dunia saat melarikan diri karena dilecehkan secara seksual oleh majikan laki-lakinya. Kembali Heri bercerita tentang nasib kawan perempuannya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Madinah: “Tiap kerja diganggu majikan. Baru satu malam dia telfon katanya majikan perempuan dan anak-anak di rumah mertua, majikan laki-laki di rumah. Lalu ada telefon dari kawan di rumah sakit. Katanya ada pembantu jatuh dari lantai. Saya kira dia tak mungkin bunuh diri, dia punya pandangan pandangan ke depan.”

Sebagian besar buruh migran berada di negara-negara Timur Tengah. Sebagian bekerja di beberapa negara makmur Asia lainnya. Taiwan misalnya. Anang Wijaya, pekerja pabrik baja di Taiwan, menggambarkan keadaan yang tak jauh berbeda. “Pemerintah baik, tapi kendalanya di majikan atau agensi. Ada teman yang kecelakaan satu jari tangannya putus, Menurut UU Taiwan dia bisa dapat ganti rugi, tapi gak dapat. “

Wahyu Susilo dari organisasi MigrantCare atau Perhimpuan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat mengungkapkan, pemerintah masih sangat tidak serius dalam melindungi para pekerja migran. Padahal tiap tahunnya begitu besar dana yang disumbangkan oleh pahlawan devisa itu ke kantung negara: “Desakan dari MigrantCare adalah kita meminta pemerintah bertanggungjawab terhadap perlindungan TKI yang lebih konkrit. Misalnya memperbesar dana perlindungan TKI. Karena pendapatan dari non pajak sebelum berangkat jadi TKI saja per tahun setengah trilyun. Namun baliknya di sub pembiayaan penempatan tenaga kerja hanya 20 milyar.”

Kendati begitu besar devisa negara yang dibawa pulang para migran, dan begitu besar jumlah pekerja kasar indonesia di luar negeri, Indonesia masih belum juga meratifikasi konvensi PBB untuk perlindungan hak buruh migran dan keluarganya.:“Kita ingin pemerintah meratifikasi konvensi perlindungan buruh migran. Meski menjadi anggota Dewan HAM masih belum ada realisasinya.”

Ratifikasi terhadap konvensi PBB itu memang tak berarti serta merta mengubah nasib para buruh migran kita. Namun hal itu setidaknya menunjukan isyarat baik dan memunculkan harapan bagi para buruh migran kita yang jumlahnya jutaan.