1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kriminalitas

Tentang Romo Prier yang Mencintai Jawa

12 Februari 2018

Selama hampir separuh abad Romo Prier membantu membangun tradisi musik liturgi Katolik Indonesia yang vakum sejak ditinggal Belanda. Kini ia menjadi korban keganasan di kota yang ia cintai dan perlahan menjadi intoleran.

https://p.dw.com/p/2sVi3
Symbolbild Kindesmissbrauch in der Kirche
Foto: picture-alliance/ dpa

"Datanglah ke Indonesia. Memang panas, tapi dijamin tidak membosankan," tulis seorang misionaris kepada Karl Edmund Prier tahun 1957. Negeri berpeluh di ujung dunia itu sejatinya adalah tempat terakhir yang ingin dikunjungi Karl muda.

Sejak usia 12 tahun murid Ordo Yesuit itu terpesona oleh salju abadi benua Arktik, oleh kisah heroik sekelompok misionaris yang membelah es demi memperkenalkan Tuhan pada suku Eskimo.

Ke utara ia ingin berkelana.

Toh hatinya tertambat di tempat lain. Di negeri yang panas dan bergolak oleh perang ideologi, yang digerus kemiskinan dan penuh luka akibat penjajahan. "Takdir," ujarnya soal alasan pindah ke Indonesia.   

Penggalan kisah masa lalu itu kembali menyeruak setelah serangan amok di Gereja Santa Lidwina Bedog, Yogyakarta, Minggu (11/2). Romo Prier menderita luka di kepala saat seorang bernama Suliyono menghunus parang dan menyerang jemaat yang sedang beribadah. "Saya melihat orang itu mengancam tapi saya tidak lari. Kena pukulan. Itulah salah saya," kisahnya saat dikunjungi Sri Sultan Hamengkubuwono X di rumah sakit.

Selama lebih dari separuh abad hidup di Yogyakarta, Romo Prier turut menyaksikan betapa kota yang ia cintai itu berubah makin intoleran. Di sinilah ia belajar mencintai budaya dan musik Jawa. Di Yogya pula ia bertekad membantu membangun dunia musik liturgi Katolik di Indonesia yang vakum setelah ditinggal Belanda.

Kini karyanya dinyanyikan saban minggu di gereja-gereja. Ia turut mengarang kumpulan lagu Misa Raya II, atau Hendaklah Langit Bersuka Cita yang ia tulis pada 1967, hanya tiga tahun setelah menjejakkan kaki di nusantara. Irama liturgi yang dulunya kental budaya Gregorian khas Eropa, oleh Romo Prier dibuat mengalun dalam corak lokal, dengan gamelan dan alat musik tradisional lainnya.

"Liturgi diharap mencari wajah pribumi dan menimba dari kekayaan musik setempat," tuturnya. "Saya kira adalah sebuah pencapaian, bahwa orang kini bisa bangga Indonesia memiliki tradisi musik gereja," ucap Romo Prier soal peran Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta yang dia dirikan hampir separuh abad silam.

Sang Romo saat ini masih terbaring di Rumah Sakit Panti Rapih setelah menjalani operasi di kepala. Kondisinya terus membaik, kata tim dokter. Ia beruntung sayatan parang Suliyono hanya melukai kulit kepala. Namun kasus penyerangan Gereja Santa Lidwina lagi-lagi mengungkap wajah muram intoleransi di Indonesia.

"Sekali lagi, tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mampu bertoleransi di negara kita, di Indonesia, apalagi dengan cara-cara kekerasan, berujar saja tidak, apalagi dengan cara kekerasan," kata Presiden Joko Widodo. "Masyarakat kita ini sudah puluhan tahun bisa hidup bersama dengan pemeluk keyakinan yang beragama dan berbeda," imbuhnya.

rzn/hp (Jesuitenmission, PML, kompas, Kumparan, Tribun, CNNIndonesia)