1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teladani Kartini, Peneliti LIPI Berhasil Ciptakan QIRANI 19

Hani Anggraini
21 April 2021

Terbukanya kesempatan mengakses pendidikan dan berkarier, terbukti mampu mendorong kebangkitan peneliti perempuan. Salah satu contohnya adalah Dr. Tjandrawati Mozef, peneliti LIPI yang berhasil menemukan QIRANI 19.

https://p.dw.com/p/3sJC3
QIRANI 19
Detection kit QIRANI 19 hasil temuan Dr Tjandrawati Mozef Foto: Public Relations LIPI

Dalam memperingati Hari Kartini, Dr. Tjandrawati Mozef, seorang peneliti biokimia farmasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengungkapkan pentingnya seluruh perempuan Indonesia untuk mengingat teladan dan perjuangan yang dilakukan R.A Kartini.

Baik bagi seorang peneliti maupun profesi lainnya, perlu untuk meneladani sosok pahlawan nasional itu dengan peka terhadap masalah sekitar dan berjuang untuk mencari solusi. "Kontribusi peneliti yang berdampak panjang, terutama dalam memperbaiki kualitas hidup manusia, menjadi indikator perjuangan seorang peneliti,” ucapnya.

Tjandrawati Mozef
Dr Tjandrawati Mozef, penemu QIRANI 19Foto: privat

Terbukti dengan berjuang mencari solusi dari masalah yang ada, pada tahun lalu Dr. Tjandrawati berhasil menemukan detection kit QIRANI 19, formula deteksi virus corona dengan metode RT-LAMP untuk menentukan negatif atau positif seorang pasien yang terpapar COVID-19 dengan waktu deteksi kurang dari satu jam.

RT-LAMP merupakan teknik deteksi virus corona baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 berbasis molekuler, yang akurasi dan sensitivitasnya setara dengan Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Sejumlah produk perangkat RT-LAMP turbidimetri bisa dibuat dalam beberapa jenis, tergantung permintaan pasar. Satu perangkat bisa didesain untuk 100 reaksi, 200 atau bahkan 300 reaksi.

Teknik RT-LAMP turbidimetri
Deteksi virus corona menggunakan teknik RT-LAMP turbidimetriFoto: Public Relations LIPI

"Pada awal pandemi, kemampuan untuk screening orang-orang yang terpapar virus secara dini masih rendah. Obat dan vaksin juga belum tersedia. Kami berinisiatif mencari alternatif metode untuk deteksi virus tersebut selain metode PCR,” kata Dr. Tjandrawati dalam webinar Talk to Scientists yang diselenggarakan LIPI pada hari Rabu (21/04).

"Di samping itu, karena kami punya kemampuan untuk bisa mendeteksi keberadaan virus dengan teknik yang sudah familiar, tim kami mempunyai ide untuk membantu pemerintah mendeteksi virus SARS-COV-2”, papar peneliti LIPI itu lebih lanjut.

Riset antibiotika dan antivirus

Terkenal sebagai penemu detection kit QIRANI 19, Dr. Tjandrawati membagikan pengalamannya dalam melakukan riset menguak potensi sumber daya hayati Indonesia sebagai sumber unsur aktif antibiotika dan antivirus.

Ketertarikannya pada topik itu berawal dari tahun 2000, saat dia bergabung dengan tim almarhum Profesor Broto Kardono melakukan penelitian pencarian antibiotika baru. Selanjutnya pada tahun 2002, Dr. Tjandrawati berkesempatan pergi ke Jerman untuk mengikuti training selama satu tahun melakukan riset mengenai antivirus dan antiinfeksi.

"Tidak bisa dihindari memang manusia hidup berdampingan dengan mikroorganisme, seperti parasit, jamur, bakteri, dan virus. Bagian dari oranisme itu merupakan patogen bagi manusia yang dapat menyebabkan kematian,” kata lulusan S3 ITB itu.

Dr. Tjandrawati tertarik melakukan riset pencarian antibiotika baru untuk menghadapi penyakit infeksi. "Penghasil antibiotika itu ternyata banyak berasal dari sumber daya hayati, baik dari hewan, tumbuhan, ataupun mikroorganisme itu sendiri,” ujarnya.

Lokasi sampling
Lokasi sampling untuk riset antibiotik dan antivirus Dr Tjandrawati MozefFoto: Public Relations LIPI

Fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, menjadi keuntungan tersendiri bagi para peneliti yang melakukan riset antibiotika dan antivirus.

"Ketika ada peluang pencarian antibiotika, kita mulai bekerja sama dalam program bilateral Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan Helmholtz Zentrum fuer Infektionsforschung (HZI) Jerman untuk menemukan antibiotika baru. Wilayah lokasi sampling kebanyakan dari Indonesia dan sample yang diambil berasal dari tanah dan tumbuhan, salah satunya kita juga ambil dari kawasan mangrove,” terang Dr. Tjandrawati.

Saat ini program kerja sama dengan peneliti Jerman masih berjalan hingga dua atau tiga tahun ke depan, dan harapannya hasil riset tersebut dapat segera dimanfaatkan masyarakat Indonesia.

(ha/as)