1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Teknologi VR Bantu Perangi Pelecehan Seksual di Singapura

6 Mei 2020

Sebuah proyek anti kekerasan seksual di Singapura mengujicoba teknolgi realitas virtual buat memberdayakan kaum perempuan. Kasus pelecehan seksual terutama marak terjadi di kampus-kampus negeri.

https://p.dw.com/p/3bqcS
Foto ilustrasi hentikan pelecehan seksual!
Foto ilustrasi hentikan pelecehan seksual!Foto: Imago/Reporters

Elizabeth Lee mengetahui horor yang akan terjadi, toh dia bersiap menghadapi. “Wow, bajumu benar-benar terlihat transparan. Apa kamu pakai baju dalam berwarna sama?” tanya seorang pria dengan nada mesum.

Meski adegan tersebut hanya sebuah rekayasa realitas virtual, Elizabeth terdiam membisu tak mampu bereaksi. “Saya pikir saya sebaiknya merespon dengan konfrontasi,” akunya. “Rasanya dia berada dekat sekali....saya merasa betul-betul jijik mendengar ujaran seperti itu.”

Penggunaan teknologi realitas virtual untuk melawan tindak pelecehan seksual adalah proyek terbaru kampanye digital bernama Girl,Talk buat kaum perempuan di Singapura.

Marak pelecehan seksual di universitas negeri

Jiran di barat laut mencatat kasus serangan seksual tertinggi di universitas negeri. Dalam beberapa kasus, mahasiswi mengadu di media sosial tentang ulah sebagian orang merekam videonya sedang berada di kamar mandi secara diam-diam.

Testimoni salah seorang korban, Monica Baey, akhirnya memicu gerakan #MeToo di Singapura.

Antara 2015-2017 saja, tercatat 56 kasus pelecehan seksual di kalangan mahasiswa di enam universitas negeri, menurut laporan yang disampaikan Menteri Pendidikan Ong Ye Kung di Parlemen.

Tapi kantor berita AFP melaporkan, banyak mahasiswi mengklaim jumlah kasus kejahatan seksual yang tidak dilaporkan jauh lebih tinggi.

Rekayasa adegan lewat realita virtual

Girl, Talk digalang empat perempuan, Danelia Chim, Seow Yun Rong, Heather Seet dan Dawn Kwan, saat kuliah di Universitas Teknologi Nanyang (NTU).

Mereka beranggapan, meski membantu menumbuhkan kesadaran perempuan, gerakan #MeToo tidak banyak “mempersenjatai penyintas” serangan seksual tentang bagaimana bereaksi dalam berbagai jenis situasi.

“Bahkan jika Anda terjebak dalam situasi yang rentan secara fisik, kemampuan untuk mengevaluasi situasi dan mengambil keputusan tentang bagaimana bersikap dan bereaksi bisa sangat membantu,” tulis grup ini dalam situsnya.

Simulasi realitas virtual mencakup lima adegan yang dibuat berdasarkan pengalaman korban. Metode ini ikut terinspirasi dari proyek sekelompok psikolog di sejumlah universitas AS. Mereka menyimpulkan realitas virtual lebih ampuh ketimbang cara konvensional berupa rekayasa ulang adegan serangan.

Persiapan mental hadapi predator seksual

“Metode ini membantu saya mempersiapkan diri secara emosional buat menghadapi berbagai jenis situasi,” kata Elizabeth Lee yang ikut dalam program tersebut. “Saya tahu langkah apa yang harus diambil atau mengabari teman dan mencari bantuan dari warga sekitar.”

“Saya kira pelecehan seksual sering terjadi, tapi yang menyedihkan adalah hal ini sudah dianggap normal. Kita harus mengerti bahwa memberikan komentar mesum terhadap tubuh perempuan adalah hal yang tidak bisa dibenarkan.”

Sebuah survey oleh YouGov menemukan lebih dari seperempat perempuan di Singapura mengaku pernah mengalami pelecehan seksual, tapi hanya 56% yang melaporkan ke polisi.

Meski dianggap sebagai kota paling aman di dunia, Singapura mencatat lonjakan serangan seksual sebanyak 15% antara 2010 dan 2019, atau 1,632 kasus. rzn/hp (afp,rtr)