Pascareformasi 1998, media-media siber bermunculan, tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Jumlahnya menembus ribuan media, tanpa standar kompetensi jurnalis dan tanpa standar upah layak jurnalis. Nyaris tak terkendali, bayangkan jurnalis bekerja lebih berat, dalam sehari harus menulis 7-12 berita dengan upah rendah. Siapapun dapat menjadi jurnalis dan memiliki kartu press, tanpa kemampuan kompetensi yang teruji. Fenomena ini terjadi di kota besar hingga kota kecil.
Sedangkan koran dan majalah yang memiliki kemampuan dalam menyajikan laporan feature, in depth dan investigatif, tumbang tidak terbit lagi. Sebut saja diantaranya: Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Majalah Pantau, Majalah Matra, Majalah Trust, Majalah Tajuk dan lainnya. Nafas media cetak terhenti, karena tingginya biaya produksi, melambungnya harga kertas impor dan lokal. Tak semua media cetak, memiliki mesin cetak dan dapat memproduksi kertas sendiri.
Benar-benar senjakala bagi media-media yang berbasis cetak. Tergantikan oleh era internet yang lebih cepat, dengan teknologi digital yang tanpa batas. Sungguh bak buah simalakama. Di satu sisi melahirkan jurnalisme yang berkualitas tinggi, sekaligus melahirkan jurnalisme yang berkualitas rendah. Namun berita yang berbasis straight news atau hard news mulai tergilas oleh kehadiran media sosial: Facebook, Instagram, Twitter yang sekarang bernama X, TikTok dan lainnya.
Cari jalan simpel
Media sosial menyajikan kecepatan informasi, meskipun tanpa proses verifikasi dan belum tentu kebenarannya. Dalam kuliah umum di beberapa universitas di Jakarta dan sekitarnya, saya selalu mendengar pendapat mahasiswa jurnalistik atau pers mahasiswa yang mengatakan, "Bu, saya gunakan informasi dari media sosial seperti TikTok dan sekarang saya gunakan ChatGPT, itu sangat mempermudah saya dalam menulis berita.”
Ketika saya menekankan perlunya verifikasi atau double fact check, mereka justru memprotesnya. "Saya sebagai anak magang di grup media besar tidak dilarang menggunakan ChatGPT. Kenapa harus verifikasi lagi?” ujarnya.
Generasi sekarang, memang didukung oleh kecanggihan teknologi digital. Tidak heran, mereka lebih suka pekerjaan yang lebih simpel. "Kenapa ChatGPT yang memudahkan pekerjaan kita, harus mencari kerumitan dalam melakukan riset yang mendalam?” ujarnya lagi.
Namun di sisi lain, berkembang jurnalisme data yang menggabungkan riset secara digital, fact checking, visual investigation, forensic architecture dan metode lain dalam jurnalistik. Para jurnalis dapat berkolaborasi dengan banyak jurnalis dan media asing di luar negeri untuk investigasi seperti yang dilakukan oleh Majalah Tempo dalam Panama Papers. Bahkan Harian Kompas juga mulai fokus pada liputan investigatif yang dibiayai dari Global Reporting Grant Pulitzer Center.
Secercah harapan baru
Munculnya media-media yang berbasis slow journalism, seperti Project Multatuli dan Tirto.id memberikan harapan baru bagi pembaca serius yang bosan dengan berita dengan kecepatan atau hard news. Keuntungannya, konsumen media dimudahkan untuk memilih; cenderung mengonsumsi berita hard news atau mengonsumsi berita soft news dan slow journalism. Bahkan menyusul munculnya media-media yang fokus pada berita lingkungan seperti Mongabay Indonesia, Betahita dan lainnya.
Dengan beragamnya sajian media siber, media elektronik seperti TV berita juga hanya dikuasai oleh Metro TV, CNN Indonesia, TVRI World, TV One, sedangkan TV nasional lainnya lebih banyak ke tayangan hiburan dibandingkan berita. Penonton juga bisa memilih berlangganan TV kabel atau melalui streaming TV di smartphone yang lebih murah dan mudah.
TV pun harus bersaing dengan video reels di media sosial. Banjir informasi tidak bisa dibendung. Jika jurnalis tidak memiliki kemampuan fact checking dengan beragam tools, juga akan menyulitkan seperti kondisi sekarang ini, terjadinya perang Israel dan Hamas di Palestina. Banyaknya informasi dari media-media mainstream yang didanai oleh korporasi, media-media independen yang didanai oleh publik, media sosial, media-media partisan dan lainnya, membuat banjir informasi sangat berlebihan.
Acapkali media-media TV dalam negeri tidak melakukan double fact check atas informasi, bahkan terbawa arus bias media-media asing di luar negeri. Kini menjadi jurnalis lebih mudah, dibandingkan publik yang mengonsumsi informasi perang Israel-Hamas. Mereka yang terbiasa dengan informasi akan mempertanyakan, "Benar enggak sih informasi ini?” Tentu publik yang awam, tidak memiliki kemampuan double fact check, visual investigation, forensic architecture, jurnalisme data dan lainnya, mereka hanya menerima informasi saja. Padahal terkadang media membuat kesalahan dalam pemberitaan. Ketika saya yang memiliki latar belakang jurnalistik, dengan mudah untuk fact checking video perang Israel – Hamas yang disajikan media online, "Oh kok videonya perang di Suriah tahun lalu?”
Tapi bagaimana dengan ibu saya yang tidak memiliki kemampuan double fact check atas informasi, pasti akan menyerap informasi saja, tanpa punya keraguan sedikitpun. Apalagi media-media lokal yang juga tidak memiliki kapasitas dan kemampuan double fact check, hanya mengambil sumber di YouTube, TikTok dan media sosial lainnya.
Itu perlunya, jurnalis di manapun menyajikan informasi yang tetap berpijak pada kode etik jurnalistik, kode perilaku jurnalis, karena kredibilitas jurnalis dan media sangat dipertaruhkan, penting juga menambah knowledge dalam hal jurnalisme data dan lainnya yang berbasis teknologi.
@faridaindria, penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.
Jangan ketinggalan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.