1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tata Kelola Kebhinekaan untuk Hapus Intoleransi di Sekolah

25 Januari 2021

KPAI sebut kasus intoleransi di sekolah dapat memberikan dampak buruk terhadap psikologis anak. Sementara itu, SETARA Institute minta pemerintah pusat tingkatkan kompetensi guru dalam tata kelola kebhinekaan.

https://p.dw.com/p/3oNDr
Aktivitas sejumlah siswi di sebuah SMK di Jawa Tengah
Aktivitas sejumlah siswi di sebuah SMK di Jawa Tengah Foto: Imago/Zumapress

Peraturan yang menuntut siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, untuk mengenakan jilbab menuai polemik. Hal ini berawal dari viralnya sebuah video beberapa waktu lalu yang menunjukkan adu argumen antara pihak wali murid dengan sekolah soal peraturan memakai jilbab. Peristiwa ini pun dianggap sebagai kasus intoleransi yang terjadi di lingkungan sekolah.

Lewat akun Facebook miliknya, EH mengunggah tayangan live saat dirinya dipanggil dan bertemu dengan pihak sekolah. Ia dipanggil karena putrinya dianggap tidak mengikuti peraturan memakai jilbab. Putrinya tidak memakai jilbab karena nonmuslim.

"Kalau saya pakai jilbab seakan-akan saya membohongi identitas agama saya. Ya kan? Dimana hak asasi anak saya? Hak asasi saya?," ujar EH dalam video yang sedikitnya sudah dikomentari 17 ribu warganet dan dibagikan 6,9 ribu kali.

Lewat cuitan di akun Twitter-nya pada hari Minggu (24/01), Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menegaskan bahwa tidak boleh ada kewajiban siswi nonmuslim untuk mengenakan jilbab di sekolah.

Mahfud menjelaskan pada akhir tahun 1970an hingga 1980an siswi-siswi di sekolah dilarang mengenakan jilbab. Namun, saat itu masyarakat memprotes keras peraturan tersebut ke Departemen Pendidkan dan Kebudayaan (Depdikbud).

"Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah," papar Mahfud.

Berpengaruh ke psikologis anak

Wakil Ketua Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menyebut bahwa peristiwa yang terjadi di SMKN 2 Padang sebagai "hal yang tidak tepat." Ia menegaskan bahwa pemenuhan hak pendidikan setiap anak tidak boleh didiskriminasikan melalui apapun termasuk agama.

"Prinsipnya pemenuhan hak pendidikan dan menajalankan ibadah sesuai agamanya itu harus menjadi prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam keadaan apapun dan tidak boleh didiskrimasikan," kata Rita saat diwawancarai DW Indonesia, Senin (25/01).

Lebih lanjut ia pun mengatakan bahwa perilaku intoleransi dapat memengaruhi kondisi psikologis anak. "Merasa terdiskriminasi, tidak nyaman anak-anak ini. Kemudian dampak secara psikologis, jangan sampai karena kejadian ini anak-anak terabaikan hak-haknya kemudian merasa terdiskreditkan," tutur Rita.

Fenomena gunung es

Kepada DW Indonesia, Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan menyatakan keprihatinannya atas kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang. Pasalnya, kasus intoleransi malah terjadi di dunia pendidikan. Selain itu, ia mengatakan kasus-kasus serupa pernah terjadi sebelumnya.

Menurut catatan DW Indonesia, pada tahun 2019 silam, sebuah sekolah dasar di Gunung Kidul, Yogyakarta, pernah mewajibkan siswa-siswinya untuk berseragam muslim. Namun, peraturan tersebut diralat dan kata mewajibkan diubah menjadi menganjurkan setelah mendapat protes dari para wali murid.

"Itu kan problematik karena lembaga pendidikan, apalagi ini di sekoalah negeri yang mestinya dia menjadi promotor terwujudnya tata kelola kekbhinekaan yang lebih baik," ujar Halili, Senin (25/01).

Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan
Direktur Riset SETARA Institute Halili HasanFoto: privat

Halili mengatakan bahwa kasus ini bak fenomena gunung es. Ia berpendapat  bahwa kasus ini dapat terjadi karena adanya kecenderungan pembiaran regulasi yang bersifat diskriminatif dalam waktu yang lama.

"Kalau kita melihat bagaimana relasi di dunia pendidikan ini kan sebenarnya terkait juga penguatan ekspresi-ekspresi keagamaan pasca-reformasi. Dulu di masa orde baru hampir tidak mungkin lah mengeluarkan atau memproduksi narasi yang bertentangan dengan kehendak rezim. Setelah orde baru saya kira semua channel tersedia untuk mengekspresikan narasi-narasi dan aspirasi-aspirasi keagamaan tertentu," jelas Halili.

Sudah berlaku sejak 2005

Sejatinya peraturan kewajiban mengenakan jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005, Fauzi Bahar pada saat itu. Ini artinya sudah 16 tahun peraturan tersebut diterapkan. Meski nomenklaturnya ditujukan kepada siswi muslim saja, namun kenyataan di lapangan, siswi nonmuslim juga mengenakan jilbab.

"Itu sudah lama sekali, kok baru sekarang diributkan? Kebijakan 15 tahun yang lalu itu," kata Fauzi Bahar kepada detikcom, Sabtu (23/01).

Fauzi mengatakan peraturan ini bertujuan untuk melindungi kaum perempuan dan mengembalikan budaya Minang. "Jauh sebelum republik ini ada, gadis Minang dulunya sudah berbaju kurung. Kita mengembalikan adat Minang berbaju kurung. Pasangan baju kurung adalah selendang. Agar tak diterbangkan angin, ada kain yang dililitkan ke leher, itulah yang namanya jilbab," katanya.

Sementara itu, Komisioner Komas HAM Beka Ulung Hapsara pada hari Minggu (25/01), dalam pernyataannya mengatakan perlu adanya upaya menyeluruh untuk meninjau dan menghapus seluruh peraturan dunia pendidikan yang diskriminatif.

Beka menilai masih banyak faktor terjadi yang menyebabkan munculnya peraturan yang bersifat diskriminatif tersebut. "Mulai dari politisasi dunia pendidikan, menguatnya mayoritarianisme/favoritisme, politik lokal dan pengawasan internal yang lemah," jelasnya. 

Tata kelola kebhinekaan

Sama halnya dengan Beka, Halili berpendapat bahwa perlu dilakukan identifikasi terhadap regulasi-regulasi diskrimantif yang selama ini berlaku.

Selain itu, peningkatan kompetensi guru dalam tata kelola kebhinekaan menurutnya menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Selama ini penilaian kompetensi guru hanya berfokus pada kompetensi profesionalisme dan kompetensi akademik.

"Tidak ada penilaian bagaimana perspektif para guru itu mengenai tata kelola kebhinekaan. Itu harus diurus karena itu persoalan yang bersifat ideologis dan itu tidak kalah penting penting daripada soal-soal teknis," ungkap Halili.

Ia pun mengimbau masyarakat yang juga mengalami hal serupa agar tidak takut menyuarakan hal tersebut.

"Tidak semua orang tua, korban, siswa yang jelas lemah dalam sisi relasi kuasa dengan guru dan manajemen sekolah tidak banyak dari mereka yang punya keberanian untuk bersuara. Keberanian untuk bersuara dalam situasi seperti itu, apalagi dalam isu ini menurut saya merupakan barang mewah. Dalam konteks itu yang perlu mengambil inisiatif banyak adalah pemerintah pusat," katanya.

"Makanya kalau pemerintah pusat membiarkan, itu andil nyata dalam bentuk pembiaran."

Kemendikbud ambil tindakan tegas

Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan Nadiem Makarim pada hari Minggu (24/01) mengatakan bahwa kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang adalah bentuk intoleransi atas keberagamaan yang melanggar undang –undang dan juga melanggar nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan.

Dengan berpedoman terhadap UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, mantan CEO Gojek ini mengatakan bahwa "sekolah tidak boleh sama sekali membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah apalagi jka tidak seesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik."

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengambil tindakan tegas atas kasus ini.

"Sebagai tindakan konstruktif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI akan segera mengeluarkan surat edaran dan membukan hotline pengaduan untuk menghindari terulangnya pelanggaran serupa," papar Nadiem.

rap/hp (dari berbagai sumber)