1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Macron Harus Kerja Keras Benahi Perancis

8 Mei 2017

Macron yang pro Uni Eropa menang telak dari kandidat ekstrim kanan Le Pen dalam pemilu presiden penentuan di Perancis. Kini tugas berat menantinya untuk mengatasi masalah kompleks di Perancis.

https://p.dw.com/p/2cb8l
Frankreich Emmanuel Macron
Foto: Reuters/F. Mori

Media dalam negeri Perancis dan internasional menyambut baik kemenangan telak kandidat pro-Eropa Emmannuel Macron atas kandidat populis kanan Marine Le Pen. Tapi juga sekaligus melontarkan peringatan tajam.

Harian La Croix berkomentar, Macron tidak boleh lupa, bahwa ia terpilih dengan cara sangat bagus sekaligus amat buruk. Terbagusnya karena Macron meraih hasil tertinggi dalam sejarah pemilu di Republik Perancis. Amat buruk, karena banyak pemilih sebetulnya tidak memilih Macron, melainkan karena ingin mencegah ancaman dari Front Nasional yang populis kanan.

Juga harian Le Figaro menulis komentar serupa. Kita jangan sampai terbuai, bahwa Perancis seperti gambaran Macron, yang positif, dinamis, berorientasi reformasi dar terbuka bagi Eropa memang eksis. Macron memang layak gembira atas kemenangannya. Tapi jangan lupa, realitanya ia hanya dipilih sekitar 25 persen warga Perancis. Hampir separuh warga Perancis adalah pendukung tokoh populis kanan Marine Le Pen atau tokoh kiri Jean-Luc Melenchon. Mereka ini sebetulnya menentang nilai ideal Perancis dari Macron.

Sementara harian Belanda De Telegraaf berkomentar, Macron perlu nafas panjang. Dengan kemenangan pemilu, Macron minimal sudah menyingkirkan masalah akut yang mengancam Perancis. Kandidat populis kanan Marine Le Pen menggagas program memberlakukan kembali mata uang Franc, keluar dari perjanjian Schengen dan menerapkan pajak barang impor. Namun Macron juga mendukung lokomotif pro Eropa yang ideal dengan impian Perancis, yang memberi hak lebih besar bagi Brüssel. Dengan itu ia tdak selaras dengan semangat zaman.

Harian Swiss Tagesanzeiger dalam tajuknya menulis, kini Macron perlu mitra koalisi. Mayoritas suara saja tidak mencukupi, untuk benar-benar menggerakkan reformasi di Perancis. Pendahulunya, Nicolas Sarkozy dan Francois Hollande sudah mengalami kenyataan pahit ini. Macron harus memiliki mekanisme terobosan. Masalahnya, angka pengangguran di Perancis amat tinggi, di kawasan pinggiran kota, separuh remaja tak punya kerja. Banyak keluarga tergantung bantuan sosial. Untuk memutus siklus lingkaran setan itu, Jerman sudah menunjukkan contohnya, dengan memangkas bantuan sosial dan menciptakan lapangan kerja. Di Perancis sudah banyak janji untuk itu, tapi tidak ada yang menerapkannya.

Harian Inggris The Times dalam tajuknya berkomentar, Macron harus mampu menjamin posisi sebagai alternativ bagi Le Pen. Kemenangan Macron dalam pemilu presiden amat mengesankan. Kekalahan Marine Le Pen sekilas menegaskan bahwa populisme gaya Trump sudah melewati titik kulminasinya. Indikasi serupa terlihat dari kekalahan Geert Wilders dalam pemilu di Belanda. Walau begitu, Macron harus menunjukkan kepada rakyat Perancis, bahwa dia adalah tokoh alternativ yang ditunggu-tunggu, untuk mengurai semua kekusutan. Jika ia gagal, Marine Le Pen atau tokoh populis lain, akan mengambil alih posisinya. 

Terakhir harian Amerika Serikat The New York Time berkomentar, kemenangan Macron amat mengesankan, tapi di depannya menghadang tantangan besar. Ia harus memerintah rakyat yang terpecah amat dalam. Bahwa tokoh ekstrim kanan seperti Marine Le Pen mampu melaju ke putaran kedua pemilu presiden Perancis, dan tetap mampu meraih sepertiga suara, merupakan bukti kuat dari keputus asaan rakyat yang terpinggirkan. Dalam pidato kemenangannya, Macron sudah mengakui tugas berat menunggunya. Ini sudah dimulai sekarang.

as/rzn (dpa,afp)