1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tanggapan Pemimpin Bisnis Jerman atas Hasil Pemilu

Kristie Pladson
29 September 2021

Kemenangan tipis Partai Sosial Demokrat SPD dalam pemilihan federal menunjukkan Jerman bisa menuju ke masa depan yang lebih progresif. Saat pembicaraan koalisi dimulai, kalangan pengusaha ingin prioritas mereka didengar.

https://p.dw.com/p/40y7W
Bunga matahari, turbin angin, dan pembangkit listrik tenaga batu bara
Para pengusaha di Jerman menunggu untuk menyaksikan pembicaraan koalisi pemerintahanFoto: Julian Stratenschulte/dpa/picture alliance

Masyarakat Jerman pada Senin (27/09) pagi dikejutkan dengan berita kemenangan tipis yang diraih partai kiri-tengah Sosial Demokrat (SPD), mengungguli blok konservatif CDU/CSU. Reaksi dari dunia keuangan dan ekonomi mengalir deras, terlepas dari kenyataan bahwa susunan akhir pemerintahan koalisi Jerman berikutnya kemungkinan baru terwujud dalam beberapa bulan ke depan.

Beberapa asosiasi bisnis yang kuat, yang menjadi kelompok kepentingan dengan pengaruh besar di Jerman, bersatu dan menyerukan agar para politisi segera membentuk pemerintahan. "Kami membutuhkan, secepat mungkin, koalisi untuk perlindungan iklim dan transisi energi," kata Kerstin Andreae, Presiden BDEW, organisasi bisnis Jerman untuk industri energi dan air.

Tidak ada waktu untuk main-main

"Jerman sebagai lokasi bisnis tidak dapat mentolerir negosiasi koalisi berlangsung lambat, di bawah kondisi ekonomi saat ini," kata Markus Jerger, Direktur Pelaksana Federal dari Asosiasi Bisnis Kecil dan Menengah Jerman (BVMW).

Setelah pemilu 2017, dibutuhkan waktu berbulan-bulan bagi kubu konservatif di bawahKanselir Angela Merkel CDU/CSU dan partai SPD untuk menyetujui versi terbaru dari pemerintahan koalisi besar mereka. Tidak sampai enam bulan setelah pemilihan, Merkel dikukuhkan lagi sebagai kanselir.

"Mengingat hasil pemilu yang tidak jelas, industri Jerman sekarang mengharapkan semua partai politik untuk mengambil tanggung jawab maksimal dan menangani prioritas, serta tidak melakukan manuver taktis," demikian pernyataan serupa dari Presiden Federasi Industri Jerman (BDI), Siegfried Russwurm.

Partai Hijau dan Partai Liberal Demokrat (FDP) dianggap sebagai pembuat keputusan dalam pemilu kali ini. Setelah pemungutan suara federal pada tahun 2017, FDP menarik diri dari pembicaraan koalisi dengan Partai Hijau dan CDU/CSU, sehingga menyebabkan partai Merkel memilih bekerja sama dengan partai besar saingannya, SPD.

Kekalahan partai kiri tenangkan pasar

Distribusi suara menyisakan ruang untuk beberapa opsi koalisi, meskipun penurunan suara cukup besar yang dialami partai sayap kiri Die Linke, menyisihkan kemungkinan yang banyak dibicarakan orang tentang pemerintahan dengan kecenderungan kuat ke kiri.

Kondisi ini tampaknya memiliki efek positif moderat pada sentimen investor: DAX, indeks saham blue-chip Jerman, dibuka Senin (27/09) dengan kenaikan harga yang cukup jelas.

"Dari perspektif pasar, seharusnya menjadi kabar baik bahwa koalisi sayap kiri secara matematis tidak mungkin dan ancaman bagi negosiasi antara SPD, CDU, Partai Hijau, dan FDP, telah dieliminasi," kata Jens-Oliver Niklasch, ekonom di bank Jerman LBBW. "Partai-partai pemerintahan yang mungkin tersisa tidak terlalu berbeda dalam masalah kebijakan ekonomi dan keuangan, sehingga membuat kompromi menjadi tidak mungkin."

Sentimen ini sebelumnya digaungkan oleh para ahli di Commerzbank, Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia (IfW), dan organisasi lain di sektor keuangan dan ekonomi.

Daftar tugas yang panjang

Seperti halnya kalangan pemimpin bisnis, para ekonom juga meminta para politisi untuk segera menetapkan pemerintahan berikutnya dan beranjak melakukan  penetapan agenda kebijakan.

"Konflik AS-Cina, Inggris pasca-Brexit, dan kebutuhan untuk menciptakan Uni Eropa yang lebih kuat adalah semua faktor yang menuntut kepemimpinan yang kuat dari Jerman di tahun-tahun mendatang", kata Kepala Ekonom Deutsche Bank, David Folkerts-Landau.

"Peran baru ini, yang telah lama diminta oleh banyak pengamat internasional dari Jerman, muncul pada saat posisi ekonomi negara itu berada di bawah ancaman tren demografi yang tidak menguntungkan, pergolakan struktural akibat digitalisasi dan di atas segalanya, tantangan utama untuk mencapai netralitas iklim dalam dua dekade ke depan," pungkas Folkerts-Landau.

(ha/as)