1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Rencana Koalisi Hamas-Fatah

Peter Philipp13 September 2006

Jika kedua partai bersikeras mempertahankan posisinya sekarang, maka sebuah kabinet yang aneh yang akan terbentuk. Sebuah pemerintahan yang menyenangkan semua orang, tetapi tidak menawarkan sesuatu yang kongkrit.

https://p.dw.com/p/CJb4
PM Palestina Ismail Haniyeh (kiri) bersama Presiden Mahmoud Abbas
PM Palestina Ismail Haniyeh (kiri) bersama Presiden Mahmoud AbbasFoto: AP

Mungkin kedengarannya janggal sekali, tapi pemerintahan Palestina yang baru harus dibentuk. Kabinet Hamas saat ini tidak berdaya. Sejumlah menterinya berada dalam tahanan Israel dan sisanya dilumpuhkan oleh aksi militer Israel di Jalur Gaza atau diboikot oleh masyarakat internasional. Kendati dipilih dalam sebuah pemilu yang bebas dan syah, Hamas tetap dianggap sebagai organisasi teroris yang bertujuan menghancurkan Israel, oleh karena itu tidak dinilai sebagai faktor yang positif.

Para pengamat tidak mengetahui bagaimana semuanya ini bisa berubah. Jika kelompok Fatah dari Presiden Palestina Mahmoud Abbas berbagi pos kementrian dengan kelompok Hamas pada koalisi besar mendatang, maka, sama seperti yang selalu terjadi pada sebuah koalisi besar, segala kompromi harus diterima. Selain itu, Hamas harus menghentikan sikap ekstrim anti Israelnya.

Akan tetapi, partai dari Perdana Menteri Ismael Haniyeh tampaknya tidak sepenuhya bersedia untuk itu. Dikatakan bahwa Hamas akan mengakui realitas di wilayah terkait. Kenapa menggunakan ungkapan yang terselubung? Mengapa tidak mengatakan: "Hamas bersedia untuk mengubah prinsip dasarnya dan Hamas bersedia melaksanakan perundingan perdamaian dengan Israel“?

Satu-satunya jawaban untuk itu adalah: Hamas agaknya kurang memiliki keberanian sipil yang seharusnya sudah sejak lama ditunjukkan. Dan bila Fatah membentuk koalisi dengan Hamas dalam kondisi semacam itu, maka yang mungkin akan terjadi adalah bukan Hamas yang akan menjadi liberal, melainkan Fatah yang berubah radikal. Pasalnya, organisasi dari Mahmoud Abbas yang dirintis oleh Yasser Arafat sudah sejak lama secara resmi mengakui keberadaan Israel dan yang dinamakan "solusi dua-negara“.

Jika kedua partai bersikeras mempertahankan posisinya sekarang, maka sebuah kabinet yang aneh yang akan terbentuk. Sebuah pemerintahan yang menyenangkan semua orang, tetapi tidak menawarkan sesuatu yang kongkrit. Musuh-musuh Israel maupun pendukung proses perdamaian Oslo akan menyalahgunakan kedaan itu. Posisi yang bertolak belakang dari kedua kelompok tersebut tidak dapat disatukan dan disenadakan. Sebuah koalisi besar di Gaza dan Ramallah akan lebih membingungkan daripada koalisi pemerintahan di Beirut yang selalu dituntut untuk menindak Hisbullah yang berada dalam kabinet itu sendiri.

Palestina tampaknya berharap, kaum ekstrimis Hamas bisa dijinakkan dan Abbas dapat kembali berunding dengan Israel. Ini adalah sebuah mimpi yang tidak realistis. Selama Hamas masih memimpin, maka tidak bisa dan tidak akan ada perubahan melalui koalisi besar. Kecuali Hamas mengubah posisinya secara mendasar. Tapi ini ibaratnya memasukkan onta ke dalam lubang jarum. Di Timur Tengah orang juga tahu bahwa ini tidak pernah terjadi.