1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Perombakan Kabinet di Indonesia

Ging Ginanjar9 Mei 2007

Lagi-lagi sebuah antiklimaks. Dan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kembali menunjukan langgam kepemimpinannya yang mau sangat aman, jauh dari risiko, dan tidak berani mengambil terobosan.

https://p.dw.com/p/CP6S
Soesilo Bambang Yudhoyono
Soesilo Bambang YudhoyonoFoto: AP

Itulah yang tampak dari formasi baru Kabinet Indonesia Bersatu yang diumumkan SBY hari Senin (07/05). Memang SBY memecat 4 menteri plus jaksa Agung. Suatu tindakan yang ditafsirkan sebagai ketegasan sikap. Dua di antaranya, yakni Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin memang wajib diganti. Keduanya dililit skandal hukum berat. Yakni menyalahgunakan fasilitas negara untuk sengketa perbankan anak bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putera alias Tommy, tokoh kontroversial yang bahkan masih terpidana kasus pembunuhan seorang hakim agung.

Tetapi SBY tetap saja tidak berani mengungkap alasan pencopotan itu. Ia malah berbasa-basi memuji-muji para menteri yang baru saja dipecatnya. Padahal logikanya, kalau mereka memang bagus, justru salah kalau diganti.

SBY juga mempertahankan sejumlah menteri lain yang sebetulnya sangat bermasalah. Salah satu yang paling mencolok adalah Hatta Radjasa, yang banyak disorot sebagai kartu mati. Politisi PAN ini berkali-kali dituntut mundur sebagai menteri perhubungan oleh berbagai kalangan. Karena selama masa jabatannya terjadi berbagai kecelakan angkutan udara, laut, dan kereta api yang sangat fatal. Nyatanya, Hatta Radjasa hanya dipindahkan posnya.

Kemudian, tentu saja mengenai jajaran menteri bidang perekonomian. Tidak ada satupun yang dicopot, atau bahkan sekadar digeser sekalipun. Ini mengejutkan sekaligus mengecewakan, karena dasar utama dari tuntutan perombakan kabinet justru karena kinerja ekonomi Indonesia. Perombakan posisi di bidang perekonomian lah yang sangat ditunggu-tunggu. Namun itu tidak terjadi.

Ini memperlihatkan, presiden SBY merombak kabinet sekadar karena tidak bisa tidak memenuhi tuntutan perombakan itu. Karena risikonya luar biasa besar: SBY akan tampak mengabaikan aspirasi rakyat. Namun di sisi lain SBY berusaha mengambil langkah yang secara politik aman dan tidak berisiko. Ia sadar, mandat kepresidenannya diperoleh langsung dari rakyat, namun di DPR, partainya, Partai Demokrat, hanya minoritas kecil. Karenanya SBY tetap memelihara kadar keterwakilan partai-partai di kabinetnya, untuk memelihara dukungan parlemen terhadap pemerintahnya.

Di satu sisi, ini merupakan langkah politik yang bisa dimengerti. Namun mari kembali pada hal yang mendasar: untuk kepentingan apa dan siapa perombakan kabinet ini dilakukan? Untuk kepentingan pemerintah dan partai-partai, mungkin memadai. Pemerintah bisa berjalan tanpa ganjalan berarti di parlemen, sementara partai-partai juga lumayan punya posisi di pemerintahan? Namun bagaimana dengan kepentingan rakyat?

Satu-satunya yang bisa dsambut barangkali hanya ditetapkannya Hendarman Supandji, yang reputasinya diakui dalam langkah-langkah pemberantasan korupsi. Tetapi di luar itu, susah untuk menemukan kaitan antara perubahan komposisi kabinet ini dengan kebutuhan menemukan solusi baru bagi pemecahan masalah-masalah dan kebutuhan rakyat yang mendesak. Ini sedikit klise, tapi kenyataannya, sebagian besar rakyat membutuhkan pemecahan segera dan nyata masalah ekonomi mereka: pengangguran, kemiskinan. Ditambah dengan kesemerawutan penanganan bencana, pendidikan dan penataan birokrasi serta pelayanan publik. Namun perombakan kabinet Senin kemarin tak menunjukan adanya terobosan dan persepektif baru pemerintah SBY dalam menghadapi persoalan-persoalan itu.