1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Atomgipfel Ergebnis

14 April 2010

Di akhir KTT Keamanan Nuklir di Washington ke-47 negara peserta setuju untuk mengamankan bahan radioaktif dalam tenggat waktu empat tahun. Ini adalah langkah pertama yang penting.

https://p.dw.com/p/Mw4p
Foto: AP

Daftar peserta pertemuan puncak di Washington cukup unik. Kepala negara dan pemerintahan dari Cina, Brasil, Yordania, Malaysia, Armenia dan Ukraina sama-sama didorong oleh kekuatiran bahwa bahan radioaktif dapat jatuh ke tangan yang salah. Kekuatiran ini beralasan mengingat di seluruh dunia ada 1.500 ton uranium diperkaya yang dapat digunakan untuk merakit senjata nuklir dan 600 ton Plutonium. Bahan ini cukup untuk merakit ribuan bom atom. Material yang jika jatuh ke tangan yang salah dapat menyebabkan kehancuran luar biasa.

Christina Bergmann
Christina Bergmann

Apakah ancaman ini sudah teredam pasca KTT di Washington? Tentu saja tidak. Suatu pernyataan bersama belum mengamankan satu gramm pun bahan radioaktif. Tapi apa yang berhasil dicapai KTT ini adalah bahwa 47 negara duduk bersama untuk membahasnya dan bertukar pengalaman, dan ini sudah merupakan suatu kemajuan. Karena, apa alternatifnya? Sama sekali tidak mencobanya karena perumusan kesepakatan yang mengikat di tingkat internasional merupakan upaya yang mustahil diwujudkan?

Barack Obama kembali terbukti bersikap pragmatis, ia berorientasi pada apa yang bisa diwujudkan. Dan upaya Presiden AS membuahkan hasil. Ukraina, Kanada dan Meksiko menyatakan tidak menginginkan uranium yang diperkaya. Rusia bersama-sama dengan Amerika Serikat kembali menegaskan bahwa mereka akan memusnahkan Plutonium berlebih yang dapat digunakan untuk merakit senjata dengan mengubahnya menjadi energi. Kalau Rusia dan Amerika Serikat menyebut KTT keamanan nuklir sukses dan bahkan Cina menyetujui dokumen akhir tanpa banyak protes, maka ini bisa dikatakan suatu peristiwa positif.

Yang juga positif adalah bahwa negara peserta KTT ini tidak berambisi untuk merumuskan kerangka baru guna mempertegas niatnya. Mereka menyatakan siap untuk mendukung organisasi yang sudah ada seperti Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan kesepakatan non-proliferasi. Di sini jelas masih banyak yang perlu dilakukan. India, Pakistan dan Israel terang-terangan memiliki senjata atom tapi tidak menanda-tangani perjanjian non-proliferasi, begitu juga Korea Utara. Iran memang meratifikasi perjanjian tersebut, tapi diduga tengah merakit senjata atom. Pertemuan kesepakatan non-proliferasi bulan Mei mendatang kemungkinkan besar tidak akan berjalan semulus dan harmonis KTT di Washington. Meski begitu, pertemuan ke-47 negara ini bisa dijadikan landasan. Kalau AS dan Rusia berjanji membantu negara lain mengamankan bahan radioaktifnya maka ini merupakan kebijakan yang membangkitkan kepercayaan.

Kalau dalam waktu dekat diluncurkan standar-standar mengikat bagi proses penanganan bahan radioaktif maka ini menutup celah yang terbuka lebar di masa lalu. Presiden Obama sendiri mengakui bahwa AS di masa lalu tidak selalu bertindak sebagai teladan. Beberapa waktu lalu, sebuah pesawat tempur tipe B-52 yang dipersenjatai dengan roket jarak jauh melintasi Amerika Serikat. Sepuluh jam setelah pesawat mendarat awak menemukan bahwa pesawat, yang tidak dijaga sama sekali, ternyata membawa roket berhulu ledak nuklir. Jadi, Amerika Serikat pun tidak punya alasan untuk hanya menyalahkan pihak lain. Ini adalah landasan baik untuk menemukan suatu mufakat bersama. Kesepakatan yang dicapai kemarin memang bersifat sukarela dan tidak ada instansi yang mengawasi apakah para peserta mematuhinya. Tapi kalau kita lihat perjanjian non-proliferasi yang bersifat mengikat, di sini pengawasannya ternyata tidak berfungsi. Kadang, janji seorang kepala negara lebih berarti dari suatu kesepakatan. Terutama, jika menyangkut ancaman konkret yang hanya bisa dihadapi bersama-sama.

Christina Bergmann
Editor: Hendra Pasuhuk