1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Konflik kepentingan di PBB

Rainer Sütfeld28 Agustus 2006

Sengketa tentang Irak, Iran dan Libanon menunjukkan adanya jurang makin dalam di tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

https://p.dw.com/p/CPCL

Bahu membahu negara-negara sekutu pemenang Perang Dunia Kedua akan bekerjasama di bawah bendera Perserikatan Bangsa Bangsa demi keamanan dunia. Itulah ilusi yang menjadi salah satu tujuan ideal pembentukan badan dunia ini. Ilusi yang sejak awal sudah tidak mungkin jadi kenyataan. Karena sejak pembentukan PBB, sudah ada konflik kepentingan. Ketika itu, Amerika Serikat masih tetap percaya dengan gagasan sebuah lembaga bangsa-bangsa.

Sekarang, ilusi dan kenyataan makin jelas. Lebih dari 30 hari, Amerika Serikat sebagai negara dengan hak veto menghindari kesepakatan gencatan senjata di Libanon, sekalipun sekretaris jendral PBB sudah menyerukannya. Amerika Serikat bahkan memblokade pernyataan presidium PBB tentang konflik Libanon, hanya karena mempertahankan kepentingannya sendiri.

Sejak tiga tahun terjadi konflik brutal di Darfur. 200.000 orang tewas, 2 juta orang jadi pengungsi. Lagi-lagi, negara-negara adidaya memblokade resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Darfur hanya karena mempertahankan kepentingan ekonominya. Kali ini, Cina dan Rusia ingin melindungi mitra dagangnya di Sudan.

Inilah situasi sehari-hari di sidang Dewan Keamanan. Begitu banyak resolusi diputuskan, tapi implementasinya tidak ada. Untungnya, di Libanon sekarang sudah tidak terjadi pertempuran. Tekanan politik di New York cukup besar selama perundingan yang kacau balau, sehingga akhirnya ada langkah kuat untuk menetapkan gencatan senjata. Sidang Dewan Keamanan adalah adu kepentingan dari lebih 190 negara anggota PBB, baik negara besar maupun negara kecil, yang berhadapan dengan satu negara adidaya dunia.

Semua negara berusaha membela kepentingannya. Juga negara-negara yang sekarang ingin memimpin misi PBB di Libanon. Italia misalnya, yang menawarkan diri memimpin misi itu, berambisi kembali ke panggung politik dunia. Perancis punya ambisi yang sama. Juga Jerman mengaitkan peran politik luar negerinya dengan kepentingan tertentu. Negara yang ingin menjadi anggota tetap Dewan Keamanan, selain lima anggota yang sekarang, harus menunjukkan partisipasi konkrit, baik di Afghanistan maupun di Libanon.

Pro-kontra dalam misi-misi PBB sebenarnya merupakan cerminan kepentingan masing-masing negara. Tidak mungkin semua negara melangkah hanya atas prinsip solidaritas dan persaudaraan. Jadi semua hanya bisa berfungsi jika ada timbal balik kepentingan itu. Yang diperlukan adalah kesiapan untuk melakukan kompromi. Sekarang setiap negara bisa berkompromi dengan siapa saja.

Pada era perang dingin, situasinya masih lain. Ada dua blok besar yang selalu saling blokir memalui hak veto mereka. Saat ini, di era perang melawan terorisme, satu-satunya adidaya dunia, Amerika Serikat, melangkah sendiri tanpa kompromi. Pemerintahan di bawah presiden George W Bush siap berkonfrontasi dan meninggalkan diplomasi. Sehingga PBB hanya mendapat julukan ‚macan kertas’.

Dalam sengketa tentang Irak, Iran dan Libanon, terlihat adu kepentingan yang makin meruncing. Langkah sendiri yang dilakukan Amerika Serikat menguak jurang dalam. Jurang ini sulit dijembatani dengan semangat bahu membahu demi perdamaian dunia, sebagaimana slogan pada masa-masa awal PBB.