1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Konflik Berdarah di Palestina

Peter Phillip30 Januari 2007

Bentrokan yang paling berdarah sejak dua pekan ini telah terjadi antara organisasi Palestina Hamas dan Fatah pada akhir minggu yang lalu.

https://p.dw.com/p/CIvT
Parade Brigade al Aqsa dari kelompok Fatah
Parade Brigade al Aqsa dari kelompok FatahFoto: AP

Masih harus dilihat, apakah yang terjadi di Jalur Gaza belakangan ini sudah merupakan perang saudara. Tetapi setidaknya situasi keamanan di sana semakin berbahaya. Pendukung Hamas dan Fatah terlibat baku tembak dan tidak berunding untuk membentuk pemerintahan kesatuan nasional. Tampaknya mereka tidak lagi mampu untuk keluar dari lingkaran setan itu. Mesir, Yordania dan Qatar telah berupaya untuk menengahi pihak yang bertikai, namun gagal. Kini Arab Saudi menyatakan ingin menjadi juru penengah.

Hasilnya diperkirakan tidak akan optimal. Karena konflik itu tidak dapat diselesaikan oleh orang luar. Hanya Palestina sendiri yang dapat menyelesaikannya. Ada berbagai sebab, mengapa Palestina hingga kini tidak berhasil menangani perpecahan itu. Mereka tidak hanya harus menghadapi persoalan kekuasaan dan gengsi, tetapi juga kesulitan ekonomi dan keputusasaan. Selain itu mereka juga berhadapan dengan kesalahan dalam sistem internal Palestina dan faktor-faktor luar.

Misalnya: Kelompok Fatah dari Presiden Mahmoud Abbas tidak mau menerima kekalahannya dalam pemilu tahun lalu dan enggan menyerahkan kekuasaannya kepada Hamas yang radikal. Para pendukungnya menangisi jabatan basah yang sekian lama dinikmati dan kini tidak ada lagi. Mereka juga tidak bisa menjadi pihak oposisi yang tidak punya kekuasaan.

79 persen warga Palestina di Jalur Gaza hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan setiap warga per tahun kurang dari 800 Dollar Amerika. Pengangguran, kurangnya ruang gerak, aksi militer Israel dan penghancuran ekonomi yang sebelumnya memang sudah lemah, meningkatkan rasa frustasi. Penangkapan sekitar 10. 000 warga Palestina oleh Israel memperburuk keadaan.

Dengan demikian, wilayah otonomi Palestina bukanlah sebuah negara dan benar-benar demokratis juga tidak. Misalnya: bukan pemerintah tetapi presiden lah yang membawahi aparat keamanan. Jadi, Fatah yang kalah dalam pemilu, pada dasarnya bertanggung jawab atas keamanan. Dan pemenang pemilu Hamas harus menerima tuduhan sebagai penjaga keamanan yang ilegal.

Kesepakatan-kesepakatan yang sudah ditandatangani memang seharusnya dipatuhi, terutama kesepakatan "Oslo“ yang mencantumkan awal proses perdamaian antara PLO dan Israel. Namun, Hamas tetap menolaknya. Dan ini membuka tekanan dari pihak Israel dan luar negeri, misalnya dalam bentuk sanksi ekonomi dan boikot politis. Langkah ini diharapkan dapat menggerakkan Palestina untuk melaksanakan proses perdamaian. Tetapi Hamas tidak punya keberanian untuk itu. Israel dan AS mendukung Mahmoud Abbas. Namun dia bukan merupakan alternatif, selama Hamas memerintah.

Dukungan terbuka merugikan Abbas yang dapat dicap sebagai boneka Israel dan Washington. Abbas bukanlah boneka, tetapi dia tidak cukup kuat untuk membuka lembaran baru. Karena itu tak seorang pun menganggap serius ancamannya untuk menggelar pemilu baru. Ketidakpuasaan di antara pendukungnya juga bertambah dan tindak kekerasan meningkat.