1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikGlobal

Puluhan Juta Orang Mengungsi akibat Konflik dan Bencana Alam

20 Mei 2022

Konflik dan bencana alam memaksa puluhan juta orang di berbagai negara mengungsi pada tahun 2021, mendorong jumlah pengungsi internal ke rekor tertinggi.

https://p.dw.com/p/4BViN
Warga sipil tiba di tempat pengungsian di Zaporizhzhia, Ukraina
Krisis pengungsi bertambah dengan adanya perang di UkrainaFoto: Francisco Seco/AP/picture alliance

Sekitar 59,1 juta orang terdaftar sebagai pengungsi internal di seluruh dunia pada tahun 2021, menembus rekor tertinggi yang diperkirakan akan dipecahkan lagi tahun ini di tengah pengungsian massal di dalam wilayah Ukraina yang dilanda perang.

Sekitar 38 juta pengungsi internal baru dilaporkan pada tahun 2021, dengan beberapa orang terpaksa mengungsi beberapa kali sepanjang tahun, demikian menurut laporan bersama oleh Internal Displacement Monitoring Center (IDMC) dan Norwegian Refugee Council (NRC). Angka itu menandai jumlah perpindahan internal baru tertinggi kedua dalam satu dekade setelah 2020, yang memecahkan rekor pergerakan pengungsi karena serangkaian bencana alam.

Tahun 2021, perpindahan internal baru dari konflik melonjak menjadi 14,4 juta, melampaui 50 persen dari tahun 2020 dan lebih banyak dua kali lipat sejak 2012, laporan itu menunjukkan.

"Dunia sedang runtuh"

Angka perpindahan internal global diperkirakan akan tumbuh tahun ini, terutama didorong oleh perang di Ukraina. Lebih dari delapan juta orang mengungsi sejak invasi Rusia yang dimulai pada 24 Februari, di samping lebih dari enam juta yang sebelunya telah meninggalkan Ukraina sebagai pengungsi.

"2022 tampak suram," kata Direktur IDMC Alexandra Bilak kepada wartawan.

Senada dengan Bilak, Kepala NRC Jan Egeland memperingatkan: "Tidak pernah seburuk ini."

"Dunia sedang runtuh," katanya kepada wartawan. "Situasi saat ini secara fenomenal lebih buruk daripada yang ditunjukkan oleh angka rekor kami."

Pada tahun 2021, Afrika sub-Sahara melaporkan pergerakan internal paling banyak, dengan lebih dari lima juta perpindahan dilaporkan di Etiopia saja, ketika negara itu bergulat dengan konflik Tigray, menandai angka tertinggi yang pernah terdaftar untuk satu negara.

23,7 juta pengungsi akibat bencana alam

Jumlah pengungsi yang belum pernah terjadi sebelumnya juga tercatat tahun lalu di Republik Demokratik Kongo dan Afganistan, di mana kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan, bersama dengan kekeringan, membuat banyak orang meninggalkan rumah mereka.

Di Myanmar, di mana junta militer merebut kekuasaan, jumlah pengungsi juga mencapai rekor tertinggi, menurut laporan tersebut.

Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara mencatat jumlah pengungsi baru terendah dalam satu dekade, karena konflik di Suriah, Libya, dan Irak agak berkurang, tetapi jumlah keseluruhan pengungsi di wilayah tersebut tetap tinggi.

Suriah, di mana perang saudara telah berkecamuk selama lebih dari 11 tahun, masih menyumbang jumlah tertinggi di dunia, dengan orang yang tinggal di pengungsian internal karena konflik mencapai 6,7 juta pada akhir tahun 2021. Angka itu diikuti oleh Kongo sebesar 5,3 juta, Kolombia dengan 5,2 juta, dan Afganistan dan Yaman sebesar 4,3 juta.

Terlepas dari peningkatan pengungsian terkait konflik, bencana alam terus menjadi penyebab sebagian besar pengungsian internal baru, mendorong 23,7 juta pergerakan serupa pada tahun 2021.

Sebanyak 94 persen di antaranya disebabkan oleh bencana terkait cuaca dan iklim, seperti angin topan, hujan monsun, banjir, dan kekeringan. Para ahli mengatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem seperti itu.

Cina, Filipina, dan India yang paling terkena dampak perubahan iklim, dengan menyumbang sekitar 70 persen dari semua jumlah pengungsian terkait bencana tahun lalu.

Sementara di Mozambik, Myanmar, Somalia, dan Sudan Selatan, krisis yang tumpang tindih berdampak pada ketahanan pangan dan meningkatkan kerentanan jutaan orang.

"Kami membutuhkan perubahan besar dalam pemikiran dari para pemimpin dunia tentang bagaimana mencegah dan menyelesaikan konflik untuk mengakhiri penderitaan manusia yang melonjak ini," kata Egeland.

ha/yf (AFP)