1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Swiss Larang Pembangunan Menara Mesjid

29 November 2009

Pembangunan baru menara mesjid resmi terlarang secara hukum di Swiss. Hasil referendum yang diselenggarakan hari Minggu (29/11) menunjukkan, mayoritas mendukung prakarasa pelarangan yang diajukan partai garis kanan SVP.

https://p.dw.com/p/KkYc
Walter Wobmann, Ketua Kampanye Anti Menara MesjidFoto: AP

Hasil referendum menunjukkan, 57,5 persen warga Swiss tak menginginkan tegaknya menara mesjid di negeri mereka. Dilihat dari perbandingan suara berdasarkan kanton, atau provinsi, hasilnya lebih mengguncangkan lagi: 22 dari 26 provinsi mendukung pelarangan. Artinya hanya 4 provinsi dari 26 provinsi, atau hanya 15 persen saja yang mendukung hak kaum Muslimin untuk melengkapi mesjid mereka dengan menara, sementara 85 persen menolak.

Ini jelas kemenangan besar bagi pemrakarsa referendum ini, partai garis kanan Partai Rakyat Swiss (SVP). Politikus SVP, yang juga ketua kampanye pelarangan pembangunan menara Mesjid, Walter Wobmann mengatakan, kemenangan itu menunjukkan, kecemasan mereka akan apa yang mereka sebut sebagai ancaman kaum Islam politik, senada dengan kecemasan yang mencekam rakyat Swiss pada umumnya.

„Kami sekadar bermaksud mencegah, agar Islam, maksudnya Islam politis, tidak mengibarkan benderanya di Swiss. Sebagaimana yang sudah terjadi di banyak negara Eropa lain," dalih Walter Wobmann. "Sekarang ini di Swiss perkembangannya baru di tingkat awal, dan masih bisa dihentikan. Dan ketika prakarsa kami, „Stop Menara" disetujui rakyat, ini jelas merupakan sebuah isyarat yang kuat," tambah Wobmann dengan gembira.

Pemerintah Swiss sejak awal menentang pelarangan ini, tetapi referendum terpaksa diselenggarakan. Karena SVP berhasil memperoleh 100 ribu tandatangan untuk menyelenggarakan referendum sebagaimana ditetapkan undang-undang. Pemerintah berusaha menenangkan kaum Muslimin, bahwa hasil referendum ini tidak berarti Swiss menolak masyarakat agama dan kebudayaan Islam.

Terdapat sekitar 400 ribu warga Muslim di Swiss. Sebagian besar merupakan pendatang dari Turki dan negeri-negeri Balkan. Dan hanya ada 4 mesjid yang dilengkapi menara. Sebagian besar mesjid merupakan tempat ibadat darurat, yang tidak diperuntukkan secara khusus. Upaya kaum Muslim untuk membangun tempat ibadat baru selalu ditolak.

Partai rakyat Swiss menganggap mesjid dengan menaranya yang khas, merupakan simbol dari gerakan fundamentalis Islam dengan hukum syariah yang kaku, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Swiss.

SVP selama ini dikenal sebagai partai berhaluan kanan yang cenderung rasis, anti imigran dan kaum minoritas, khususnya Islam. Terkadang sangat terang-terangan. Dalam sebuah pemilihan umum, poster andalan mereka menggambarkan sapi putih yang menendang sapi hitam. SVP merupakan partai terbesar di parlemen Swiss sekarang ini, kendati tidak memerintah.

Hasil referendum ini juga menimbulkan kecemasan munculnya kemarahan dari dunia Islam. Namun politikus SVP, Walter Wobmann, menepis. Menurutnya, Swiss merupakan negara berdaulat, yang berhak atas hukum-hukumnya sendiri:

„Kami jelas memiliki hak untuk mengelola masyarakat kami sesuai dengan cara kami sendiri dan berdasar kehendak masyarakat kami sendiri. Hal ini harus diakui oleh dunia luar. Dan kami juga pasti mengakui hal itu. Kami jelas tidak akan mengecam keputusan rakyat negara-negara lain," tandas Wobmann.

Lebih dari 50 persen pemilik hak pilih menggunakan suaranya dalam referendum. Ini angka yang lebih tinggi ketimbang berbagai pemungutan suara lain. Banyak pengamat menilai, di satu sisi SVP berhasil mengeksploitasi kecemasan atas fundamentalisme Islam, di sisi lain pemerintah dan para aktivis hak sipil dinilai menyepelekan kecemasan itu.

Masyarakat Islam yang sangat terpukul, mencemaskan tekanan-tekanan berikutnya. Menurut Tamir Hadjipolu, seorang pemimpin kaum Muslim Zurich, selama berlangsungnya kampanye pelarangan menara mesjid, sejumlah mesjid mendapat serangan dari orang-orang tak dikenal. Kekerasan seperti ini, dikatakannya, tidak pernah terjadi selama 40 tahun terakhir.

Pemerintah menyatakan, betapapun kecewanya, mereka terikat pada keharusan mentaati hasil referendum. Namun hasil referendum ini akan menimbulkan masalah besar pula di Mahkamah HAM Eropa. Karena bisa dinilai sebagai bentuk diskriminasi terhadap masyarakat Islam, yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama.

GG/ML/afp/dpa/rtr