1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Media

Krisis Pandemi Tingkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Media

23 Juni 2021

Pandemi Covid-19 telah membantu membangun kembali sedikit kepercayaan publik yang hilang terhadap media arus utama, kata laporan tahunan Reuters Institute yang diterbitkan hari Rabu (23/6).

https://p.dw.com/p/3vQci
Foto ilustrasi media berita
Foto ilustrasi media beritaFoto: Philipp Böll/DW

Laporan tahunan Reuters Institute mengenai pemberitaan dan dunia digital yang diterbitkan hari Rabu (23/6) menyebutkan, kepercayaan publik terhadap pemberitaan meningkat enam poin menjadi 44 persen sejak awal pandemi corona. Angka tersebut didasarkan pada serangkaian jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga penelitian opini publik YouGov untuk Reuters Institute di 46 negara, dengan lebih dari 92.000 responden.

Tingkat kepercayaan publik yang tertinggi dicapai di Finlandia (65 persen), sementara di Amerika Serikat turun ke tingkat terendah di antara negara-negara yang dicakup dalam survei, yaitu hanya 29 persen. Situasi di Prancis hanya sedikit lebih baik, yaitu 30 persen, meski angka ini berarti peningkatan tujuh persen dari sebelumnya.

"Fokus pemberitaan faktual selama krisis Covid-19 mungkin membuat berita-berita itu tampak lebih lugas, ," kata penulis utama hasil survei, Nic Newman. "Ini boleh jadi efek sementara, tetapi di hampir semua negara kami melihat audiens lebih mengutamakan sumber berita yang akurat dan andal."

Foto ilustrasi kekhawagiran tentang berita palsu menigkat
Foto ilustrasi kekhawagiran tentang berita palsu menigkatFoto: McPHOTO/C. Ohde/picture alliance

Konsumsi berita media mainstream meningkat

Reuters Institute, yang berbasis di Universitas Oxford Inggris, dalam survei itu menemukan juga peningkatan konsumsi berita arus utama terutama di negara-negara dengan "media layanan publik yang kuat dan independen".

Namun situasi media cetak tetap mengalami penurunan tajam, diperburuk oleh dampak pada penjualan dan anjloknya pendapatan iklan dari pandemi. Kondisi ini mempercepat peralihan ke langganan digital, terutama di negara-negara di mana penjualan fisik sebenarnya tetap relatif tinggi, seperti Jerman, Austria, dan Swiss.

Di sekitar 20 negara, di mana surat kabar secara aktif mengembangkan penjualan digital mereka, 17 persen responden mengatakan mereka membayar untuk layanan berita online, ini kenaikan dua poin dari laporan tahun lalu dan lima poin dibandingkan tahun 2016.

Jumlah orang yang membayar untuk berita digital tercatat paling tinggi di negara-negara kaya dengan tradisi berlangganan surat kabar fisik, seperti Norwegia (45 persen) dan Swedia (30). Sedangkan angkanya jauh lebih rendah di Amerika Serikat (21 persen), Prancis (11 persen), Jerman (9 persen) dan Inggris (8 persen).

"Sistem berlangganan mulai berfungsi untuk beberapa penerbit, tetapi itu tidak berfungsi untuk semua penerbit, dan yang paling penting, itu tidak akan berfungsi untuk semua konsumen," kata penulis laporan survei yang lain, Rasmus Kleis Nielsen.

"Mengingat ada akses berlimpah ke berita gratis, penerbit perlu mengembangkan opsi menarik untuk menggabungkan publikasi tanpa bayar dengan akses berbayar yang terbatas untuk jumlah yang lebih kecil."

Kompetensi/Literasi media di Eropa, 2019
Kompetensi/Literasi media di Eropa, 2019

Kekhawatiran tentang berita palsu meningkat

Sementara itu, kepercayaan terhadap berita yang dibagikan di media sosial secara umum masih sangat rendah, yaitu 24 persen. Kekhawatiran atas informasi palsu atau salah telah meningkat secara bertahap, meskipun sangat bervariasi antar negara, dari 82 persen di Brasil hingga 37 persen di Jerman.

Sebagian besar pembaca masih menginginkan media yang tidak memihak (74 persen) dan percaya bahwa pandangan yang berlawanan harus diberikan untuk pemberitaan yang seimbang (72 persen).

Hasil survei itu juga menemukan bahwa generasi muda memiliki hubungan yang lemah dengan media tradisional, dan lebih cenderung mendapatkan berita dari media sosial melalui agregator dan notifikasi.

Di media sosial, Facebook telah kalah dari anak perusahaannya WhatsApp dan Instagram sebagai sumber berita. Hasil survei juga menyebutkan bahwa TikTok telah menjadi sumber berita yang semakin populer, terutama di kalangan audiens yang lebih muda. Media sosial juga menjadi sarana utama untuk memobilisasi aksi maupun protes politik, terutama di Peru, Indonesia, dan Thailand.

hp/as (rtr, afp)