1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Derita Pekerja Tambak Udang di Asia

1 Oktober 2024

Dalam laporan terkini aliansi berbagai LSM, ditemukan dugaan pelanggaran hak pekerja dalam industri udang di Asia, termasuk Indonesia.

https://p.dw.com/p/4lFjW
Industri udang
Yulius Cahyonugroho di depan tambak udangnyaFoto: Dita Alangkara/AP/picture alliance

Petambak udang Indonesia Yulius Cahyonugroho mengoperasikan puluhan tambak beberapa tahun yang lalu. Yulius Cahyonugroho mempekerjakan tujuh orang dan menghasilkan lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya.

Sejak saat itu, pria berusia hampir 40 tahun itu mengatakan harga yang ia peroleh dari pembeli telah turun setengah dan ia harus mengurangi jumlah pekerjanya menjadi empat orang dan sekitar sepertiga tambak, bahkan beberapa bulan pendapatannya tak menutup pengeluaran.

Istrinya harus bekerja di perkebunan semangka untuk membantu menghidupi kedua anaknya. "Perkebunan ini lebih stabil daripada tambak udang," ujar petambak dari Provinsi Jawa Tengah ini.

Sementara supermarket besar di negara-negara Barat meraup untung besar, upaya agresif mereka untuk mendapatkan harga grosir yang semakin rendah telah menyebabkan kesengsaraan bagi orang-orang di bagian bawah rantai pasokan, orang-orang seperti Cahyonugroho yang memproduksi dan memproses makanan laut, demikian menurut penyelidikan oleh aliansi LSM yang laporan teranyarnya berfokus pada tiga produsen udang terbesar di dunia. Laporan itu diberikan kepada The Associated Press untuk dipublikasikan pada hari Senin (30/09).

Dari hasil analisa industri udang di Vietnam, Indonesia, dan India, yang menyediakan sekitar setengah dari udang di empat pasar teratas dunia, ditemukan penurunan pendapatan sebesar 20%-60% dari tingkat sebelum pandemi, karena produsen berjuang untuk memenuhi permintaan harga dengan memangkas biaya tenaga kerja.

Di banyak tempat, hal ini berarti pekerjaan yang tidak dibayar dan dibayar rendah melalui jam kerja yang lebih panjang, ketidakamanan upah karena tarif berfluktuasi, dan banyak pekerja bahkan tidak mendapatkan upah minimum yang rendah.

Laporan tersebut juga menemukan kondisi kerja yang berbahaya, khususnya di India dan beberapa wilayah Indonesia, dan bahkan pekerja anak di beberapa tempat di India.

"Praktik pengadaan di supermarket berubah, dan kondisi kerja terpengaruh secara langsung dan cepat," ujar Katrin Nakamura dari Sustainability Incubator, yang menulis laporan regional untuk lembaga nirlaba yang berpusat di Hawaii itu dan memimpin penelitian tentang industri di Vietnam.  "Kedua hal itu saling terkait karena saling terkait melalui penetapan harga."

Direktur Jenderal Akuakultur Kementerian Kelautan dan Perikanan Tubagus Haeru Rahayu mengatakan dia terkejut dengan temuan laporan tersebut dan telah menghubungi orang-orang di industri tersebut untuk menyelidiki tekanan harga.

"Jika ada tekanan seperti itu, pasti akan ada reaksi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Vietnam dan India," ujarnya kepada AP dalam sebuah wawancara di kantornya di Jakarta.

Bagaimana respons distributor Barat?

Pejabat India dan Vietnam menolak berkomentar. Supermarket yang terkait dengan fasilitas tempat pekerja dilaporkan mengalami eksploitasi tenaga kerja termasuk Target, Walmart, dan Costco di Amerika Serikat, Sainsbury's dan Tesco di Inggris, serta Aldi dan perusahaan lainnya di Eropa.

Perusahaan Swiss mengatakan bahwa mereka memiliki kebijakan "tanpa toleransi" terhadap pelanggaran hukum ketenagakerjaan, dan bahwa produsennya "menerima harga yang adil dan sesuai dengan pasar."

Supermarket Aldi Jerman tidak secara khusus membahas masalah harga, tetapi mengatakan bahwa mereka menggunakan skema sertifikasi independen untuk memastikan pengadaan sumber daya yang bertanggung jawab untuk produk udang budidaya, dan akan terus memantau tuduhan tersebut. "Kami berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawab kami untuk menghormati hak asasi manusia," kata supermarket Aldi.

Sementara Sainsbury's merujuk pada komentar dari kelompok industri British Retail Consortium, yang mengatakan bahwa para anggotanya berkomitmen untuk mendapatkan sumber daya produk dengan "harga yang adil dan berkelanjutan" dan bahwa kesejahteraan orang dan komunitas dalam rantai pasokan merupakan hal mendasar bagi praktik pembelian mereka. Tidak ada pengecer lain yang disebutkan dalam laporan tersebut yang menanggapi beberapa permintaan komentar atas laporan yang berjudul "Hak Asasi Manusia dalam Makan Malam".

Bantahan perusahaan tambak udang

Di Vietnam, para peneliti menemukan bahwa pekerja yang mengupas, mengeluarkan isi perut, dan membuang kotoran udang biasanya bekerja enam atau tujuh hari seminggu. Mereka sering kali berada di ruangan yang dijaga sangat dingin untuk menjaga kesegaran produk.

Sekitar 80% dari mereka yang terlibat dalam pengolahan udang adalah perempuan yang bangun pukul empat pagi dan pulang pukul 18.00 sore, kecuali perempuan hamil dan ibu baru yang dapat berhenti satu jam lebih awal.

"Hari kerja untuk pengupas udang terdiri dari berdiri di ruangan berpendingin dan didesinfeksi dan bekerja sangat cepat dengan pisau sambil berhati-hati agar tidak membuat kesalahan," ujar para peneliti.

Upah mereka pada umumnya tidak diungkapkan sebelumnya dan didasarkan pada produksi. Terkadang pekerja menerima upah minimum, tetapi sering kali tidak. Asosiasi Eksportir dan Produsen Makanan Laut Vietnam mengeluarkan pernyataan yang menyebut tuduhan dalam laporan tersebut "tidak berdasar, menyesatkan, dan merugikan reputasi ekspor udang Vietnam."

Mereka mengutip kebijakan ketenagakerjaan pemerintah dalam pernyataan empat halaman tetapi tidak secara khusus membahas temuan tersebut, dan tidak menanggapi pertanyaan.

Setelah gangguan rantai pasokan pangan selama pandemi COVID-19, Komisi Perdagangan Federal AS melaporkan awal tahun ini bahwa beberapa pedagang grosir telah menggunakan situasi ini "sebagai peluang untuk lebih menaikkan harga guna meningkatkan keuntungan mereka, yang masih tinggi hingga saat ini."

Permintaan harga grosir udang yang lebih rendah, dikombinasikan dengan meningkatnya biaya produksi dan kelebihan pasokan, berarti penambak sering kali harus menjual produk mereka di bawah harga pokok hanya untuk menjaga agar operasi tetap berjalan, demikian menurut analisis Sustainability Incubator.

Cahyonugroho mengatakan dia terpaksa menjual udangnya dengan harga yang ditawarkan oleh tengkulak yang kemudian menjualnya ke pabrik untuk diproses.

Dia tidak dapat mengumpulkan biaya awal yang diperlukan untuk menjual langsung ke pabrik atau pasar untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan.

"Peluangnya ada," katanya, "tetapi dibutuhkan banyak modal jika ingin terjun ke hal seperti itu." Para tengkulak yang membeli udang mengaburkan sumber udang sebenarnya yang muncul di supermarket negara-negara Barat, sehingga banyak pengecer mungkin tidak mengikuti komitmen etis yang telah mereka buat tentang pengadaan udang.

Belum semua disertifikasi

Hanya sekitar 2.000 dari dua juta tambak udang di negara-negara penghasil utama seperti India, Vietnam, Ekuador, Thailand, dan Bangladesh yang disertifikasi oleh Aquaculture Stewardship Council atau label ekologi Best Aquaculture Practices.

"Dengan hasil panen dari sebagian besar tambak udang bersertifikat yang sangat kecil, secara matematis mustahil bagi tambak bersertifikat untuk memproduksi cukup udang per bulan untuk memasok semua supermarket yang berkomitmen untuk membeli udang bersertifikat," tulis laporan itu.

Idealnya, supermarket harus membayar harga grosir yang lebih tinggi dan memastikan bahwa uang tambahan tersebut sampai ke seluruh rantai pasokan, kata Nakamura.

Para pembuat kebijakan AS dapat menggunakan undang-undang antimonopoli dan undang-undang lain yang sudah ada untuk menetapkan pengawasan guna memastikan harga yang wajar dari pengecer di negara-negara Barat, daripada menambahkan tarif yang memberatkan bagi pemasok karena pelanggaran ketenagakerjaan, katanya. Kesadaran atas tren yang merugikan pemasok semakin meningkat.

Pada bulan Juli, Uni Eropa mengadopsi arahan baru yang mengharuskan perusahaan untuk "mengidentifikasi dan menangani dampak buruk hak asasi manusia dan lingkungan dari tindakan mereka di dalam dan di luar Eropa."

Kantor Arbitrase Kode Belanjaan Inggris menerbitkan laporan "penyelaman mendalam" yang berisi pandangan pemasok tentang perilaku supermarket, dengan mengatakan bahwa mereka telah memilih untuk melakukan "perang" dengan pemasok. Harga grosir yang lebih tinggi tidak harus berarti harga yang lebih tinggi bagi konsumen, kata Sustainability Incubator.

"Harga bagi petambak akan setidaknya 200% lebih tinggi daripada saat ini jika udang yang dijual di supermarket Barat dibuat dengan upah minimum dan sesuai dengan undang-undang domestik yang berlaku untuk ketenagakerjaan, kesehatan tempat kerja, dan keselamatan," papar laporan itu. "Ini tidak akan selalu berarti harga konsumen yang lebih tinggi, karena supermarket sudah mendapat untung dari harga konsumen yang ada."

Pencemaran lingkungan dan pelanggaran hak pekerja

Para peneliti dari Corporate Accountability Lab menemukan bahwa pekerja industri udang India menghadapi "kondisi yang berbahaya dan menyiksa" dan bahwa air yang sangat asin dari tempat penetasan dan kolam udang yang baru digali, yang tercemar bahan kimia dan alga beracun, mencemari air dan tanah di sekitarnya.

Laporan tersebut menemukan bahwa tenaga kerja yang tidak dibayar masih ada, termasuk gaji di bawah upah minimum, lembur yang tidak dibayar, pemotongan upah untuk biaya kerja dan jeratan utang yang "signifikan".

Pekerja anak juga teridentifikasi. Ada anak-anak perempuan berusia 14 dan 15 tahun direkrut untuk pekerjaan mengupas. Di Indonesia, tiga organisasi penelitian nirlaba menemukan bahwa upah pekerja udang telah menurun sejak pandemi dan sekarang rata-rata $160 (Rp 2,4 juta) per bulan, di bawah upah minimum Indonesia di sebagian besar provinsi penghasil udang terbesar.

Pengupas udang secara rutin diminta untuk bekerja setidaknya 12 jam per hari untuk memenuhi target minimum.

Namun, mengingat kemiskinan yang meluas, sebagian besar pekerja mengatakan mereka senang memiliki pekerjaan mereka, papar peneliti Kharisma Nugroho dari Migunani Research Institute.

"Ini adalah eksploitasi kerentanan pekerja, karena mereka tidak memiliki banyak pilihan," katanya. "Mereka dibayar upah minimum tetapi mereka harus bekerja 150% dari biasanya," katanya kepada AP.  "Bisakah mereka hidup? Ya. Bisakah mereka pindah? Ya. Apakah mereka mengajukan keluhan? Tidak."

Laporan regional tersebut menghimpun lebih dari 500 wawancara yang dilakukan secara langsung dengan pekerja dalam bahasa asli mereka, di India, Indonesia, dan Vietnam, dilengkapi dengan data sekunder dan wawancara dari Thailand, Bangladesh, dan Ekuador.

Derita di balik pertambakan udang
DI balik lezatnya udang di meja makan, banyak pekerja menderitaFoto: Jiri Hera/Zoonar/picture alliance

Perbaikan kondisi kerja akan dilakukan?

Setelah laporan negara Indonesia diterbitkan baru-baru ini, pejabat pemerintah meminta untuk bertemu dengan penulis laporan, dan Nugroho mengatakan mereka menunjukkan "keinginan yang tulus untuk memperbaiki situasi."

Pejabat Vietnam juga telah bekerja sama dengan Sustainability Incubator untuk membicarakan temuan tersebut. Intervensi pemerintah dan industri telah membantu di Thailand, yang telah dikritik setelah AP mengungkap pelanggaran ketenagakerjaan yang serius dalam industri udang di masa lalu.

Namun, hal itu telah menyebabkan harga udang Thailand menjadi lebih tinggi, yang menyebabkan beberapa pembeli mengalihkan sumber ke India dan Ekuador, yang sekarang menjadi eksportir udang terbesar di dunia.

Harga terendah didapat di sana, diikuti oleh India dan Cina, negara tirai bambu yang tidak termasuk dalam laporan; lalu Vietnam dan Indonesia. Namun dengan permintaan harga grosir yang lebih rendah, sementara ekspor Ekuador naik 12% dalam volume pada tahun 2023, nilainya turun 5%. Ekspor India naik 1% tetapi nilainya turun hampir 11%.

Sementara itu, dengan harga yang relatif lebih tinggi, ekspor Vietnam turun 25% pada tahun 2023 dalam volume, sedangkan ekspor Indonesia turun 9,5%.

"Eksploitasi tenaga kerja dalam industri akuakultur udang tidak terbatas pada perusahaan, sektor, atau negara tertentu," demikian simpulan laporan tersebut. "Sebaliknya, hal itu merupakan hasil dari model bisnis tersembunyi yang mengeksploitasi orang demi keuntungan."

ap/hp (Associated Press)