1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

SU PBB Setujui Perjanjian Perdagangan Senjata

3 April 2013

Sidang Umum PBB akhirnya menyetujui naskah Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT) dengan mayoritas besar. Hanya tiga negara yang menentang: Iran, Korea Utara dan Suriah.

https://p.dw.com/p/188j9
Delegates to the United Nations General Assembly April 2, 2013
UN Vertrag Kontrolle WaffenhandelFoto: Timothy a. Clary/AFP/Getty Images

Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty, ATT) dibawa ke Sidang Umum PBB hari Selasa (02/04) setelah sebelumnya para diplomat gagal mencapai kesepakatan. Dalam Sidang Umum, 154 negara menyatakan setuju, 23 negara menyatakan abstain, termasuk Indonesia. Hanya 3 negara yang menyatakan tidak setuju, yaitu Iran, Korea Utara dan Suriah.

Untuk meloloskan naskan perjanjian dibutuhkan sedikitnya dua pertiga suara mayoritas. Selain Indonesia, negara lain yang juga menyatakan abstain adalah India, Rusia dan Cina. Perjanjian itu masih harus diratifikasi oleh pemerintahan negara masing-masing. Perjanjian itu resmi diberlakukan, jika diratifikasi oleh sedikitnya 50 negara.

Duta Besar Australia Peter Woolcott memimpin Sidang Umum mengatakan, perjanjian global itu akan menjadi langkah penting untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia.

”Ini kewajiban kita pada jutaan orang, termasuk kelompok yang paling lemah dalam masyarakat, yang keselamatannya terancam oleh perdagangan senjata internasional yang tidak bertanggung jawab”, kata Woolcott di hadapan Sidang Umum sebelum pengambilan suara.

Perlu Pengawasan

Ini adalah perjanjian pertama yang diharapkan bisa mengatur perdagangan senjata global. Bisnis senjata diperkirakan mencapai nilai sekitar 70 miliar dolar AS setiap tahunnya. Perjanjian Perdagangan Senjata, ATT, mencakup pengawasan perdagangan senjata konvensional, termasuk kendaraan lapis baja, kapal perang, roket dan peluncur roket serta senjata ringan.

Tapi perjanjian ini hanya mengatur perdagangan senjata antar negara. Aturan nasional tentang kepemilikan senjata dan penjualan senjata di negara masing-masing tidak termasuk dalam perjanjian ini.

Menurut naskan Perjanjian Perdagangan Senjata, negara-negara yang merencanakan penjualan senjata ke luar negeri harus meneliti resiko bahwa senjata-senjata itu bisa digunakan untuk kejahatan yang melanggar kemanusiaan dan hak asasi manusia. Jika resikonya sangat besar dan tidak dapat dihindari, maka negara itu wajib menghentikan rencana penjualan senjata.

Iran, Suriah dan Korea Utara, yang menolak perjanjian itu, saat ini masih terkena embargo PBB. Ketiga negara mengeritik bahwa perjanjian tersebut hanya menjadi alat ”politisasi dan diskriminasi”. Suriah menuntut agar pengawasan penjualan senjata juga mencakup ”kelompok teror dan aktor-aktor yang bukan negara”. Hal ini juga diusulkan oleh Rusia.

Perundingan perjanjian perdagangan senjata juga diikuti oleh organisasi internasional seperti Amnesty International. ”Seperti yang sering terjadi dalam perundingan, kami tidak berhasil meloloskan segala hal yang kami inginkan, misahnya tentang perdagangan munisi yang tidak termasuk dalam perjanjian ini,” kata Brian Wood dari Amnesty International. Namun ia menambahkan, perjanjian ini akhirnya berhasil lolos dalam Sidang Umum PBB dan ada beberapa aturan ketat di dalamnya.

”Ini memberi fondasi yang kuat untuk membangun pengawasan senjata internasional dan menghalangi mereka yang ingin melakukan kejahatan besar,” kata Wood.

HP/AB (rtr, afp, dpa)