1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sri Lanka di Ambang Perang Saudara Baru

3 Agustus 2006

Dalam bentrokan berkesinambungan di Sri Lanka, sekurangnya 47 orang sudah menjadi korban.

https://p.dw.com/p/CPCs
Patroli brigade motor Macan Tamil di Sri Lanka
Patroli brigade motor Macan Tamil di Sri LankaFoto: AP

Sejak pemerintah dan pemberontak menyepakati gencatan senjata bulan Februari 2002, belum pernah keadaan menjadi seburuk sekarang ini. Demikian menurut menteri bantuan perkembangan Norwegia, Erik Solheim di Oslo. Kementrian pertahanan Sri Lanka mengemukakan, Macam Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) menyerang pangkalan militer di utara negara itu dan militer Sri Lanka membalasnya dengan serangan udara.

Helikopter terbang berputar-putar di atas pulau, yang keindahannya selalu dipuji oleh para pengunjung, tetapi sekarang terancam pudar. Walaupun pihak-pihak yang terlibat konflik tidak menggunakan kata perang, tetapi Norbert Ropers direktur Yayasan Berghoff yang menjadi penengah di Sri Lanka secara terbuka mengatakan:

"Sekarang ini memang sedang terjadi perang terbuka, karena kedua pihak melampaui batas. Sejak terjalinnya gencatan senjata, ini adalah pertama kalinya lagi terjadi aksi militer selama berjam-jam antara kedua pihak. Ini merupakan kualitas baru."

Gencatan senjata terjalin sejak tahun 2002, antara pemberontak Tamil yang hendak mendirikan sendiri sebuah negara berdaulat dan pemerintah Sri Lanka yang tidak mau mengabulkannya. Tetapi sekarang terdapat sumber kekerasan baru. Sejak berhari-hari para pemberontak sudah memblokir sumber air yang sangat diperlukan oleh para petani bagi ladang mereka yang kering. Pemerintah merasa harus turun tangan, seperti yang dikemukakan oleh menteri pertahanan Rambukwalle:

"Di kawasan itu ditanam padi, luasnya sekitar 12.000 hektar. Padi memerlukan banyak air. Belum lagi kebutuhan akan air minum. Jadi kami tidak dapat menunggu lebih lama lagi."

Di ibukota Sri Lanka, Colombo, gencatan senjata diawasi oleh misi pengamat Skandinavia dan mereka harus melihat bagaimana tinta diatas perjanjian gencatan senjata itu semakin luntur. Thorfinnur Omarsson, jurubicara misi pengamat itu mengritik kedua pihak. Pemberontak Tamil atas pemblokiran air, dan pemerintah Sri Lanka atas reaksi keras yang dinilainya keterlaluan. Dalam paruhan pertama tahun 2006 sudah jatuh lebih dari 800 korban. Menurut Omarsson:

"Mungkin ini tahun tersulit sejak gencatan senjata 2002. Kami mengupayakan agar kedua pihak kembali ke meja perundingan. Tetapi kekerasan yang terus berlanjut. Oleh sebab itu perjanjian gencatan senjata semakin dipertanyakan."

Macan Tamil LTTE sudah sejak puluhan tahun memperjuangkan negara sendiri. Karena sejak kemerdekaan Sri Lanka mereka merasa ditindas oleh mayoritas penduduk Singhala. Jadi sulit untuk mengembalikan mereka ke meja perundingan. Penengah Norbert Ropers juga pesimis. Dikatakannya:

"Tidak ada rasa saling percaya antara kedua pihak. Mereka saling tuduh, bahwa pihak lawan sengaja melanggar gancatan senjata, agar bila dilakukan perundingan baru, posisi mereka dapat diperbaiki."

Mungkin para pengamat itu berusaha untuk membesarkan hati mereka sendiri. Sebab konflik baru mau tidak mau harus dijalankan. Tetapi terdapat pula kekhawatiran bahwa Sri Lanka akan kembali tenggelam dalam peperangan.