1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

060710 Palästina-Frage Instrumentalisierung

6 Juli 2010

Blokade Jalur Gaza bagi warga Palestina oleh Israel membuat marah negara-negara Arab. Tetapi sejumlah pemerintahan di negara-negara Arab mencoba memanfaatkan hal ini untuk kepentingan mereka sendiri.

https://p.dw.com/p/OBmV
Bendera Palestina di perbatasan dengan Israel.Foto: AP

Sejak tahun 50an, negara-negara Arab mencoba memanfaatkan konflik dengan Israel untuk kepentingannya sendiri. Sampai tahun 90an prioritas mereka adalah "arahkan semua persenjataan kepada musuh zionis", demikian dijelaskan Suleyman Abu Dayyeh dari Yayasan Friedrich Naumann di Yerusalem. Masalah-masalah lain seperti demokrasi dan pembangunan dianggap masalah nomor dua. Tetapi ini berubah sejak tahun 90an, kata Abu Dayyeh. Alasannya adalah, "karena setelah tahun 90an dan Perang Dingin berakhir, AS memperbesar pengaruhnya di negara-negara Arab. Mereka mulai melakukan perundingan perdamaian dengan Israel dan diantaranya bahkan menandatangani perjanjian-perjanjian perdamaian. Ini berbeda dengan sebelumnya", lanjut Abu Dayyeb.

Sejak saat itu Yordania dan Mesir mempunyai perjanjian perdamaian dengan Israel. Tetapi penduduk di negara-negara ini tetap mempunyai perasaan negatif terhadap Israel, selama belum ada negara Palestina yang independen. Namun pemerintahan di negara-negara tersebut menahan diri untuk melontarkan kata-kata tajam kepada Israel.

Situasinya berbeda di beberapa negara lainnya. Sejumlah pemerintahan menggunakan masalah Palestina untuk mengalihkan perhatian dari masalah-masalah politik dan ekonominya sendiri. Walaupun banyak negara Arab yang kaya raya, ada banyak negara Arab yang menduduki ranking bawah dalam laporan-laporan pembangunan PBB. Sepertiga penduduk negara-negara Arab buta huruf dan hampir tidak ada pemerintahan yang menginzinkan pemilihan bebas. Alasan yang sering dipakai untuk hal-hal seperti ini adalah apa yang disebut komplotan zionisme-Amerika. Jamal Eid, direktur jaringan negara-negara Arab bagi informasi mengenai HAM di Kairo menjelaskan: "Isu Palestina hanya ada di agenda beberapa penguasa Arab sejauh bagaimana mereka bisa dimanfaatkan untuk mendiamkan suara-suara yang menginginkan reformasi demokratis di negara-negara Arab."

Juga partai-partai oposisi dan masyarakat sipil, baik yang berhaluan Islam maupun yang sekuler, memanfaatkan nasib orang Palestins untuk kepentingannya sendiri. Sering kali demonstrasi-demonstrasi digunakan sebagai katup. Karena kurangnya kebebasan di negara-negara Arab, lebih mudah untuk berdemonstrasi melawan musuh zionis daripada melawan defisit politik negara sendiri. Tidak jarang pemerintahan melarang demonstrasi solidaritas bagi warga Palestina, terutama kalau hal ini diorganisir pihak oposisi. Pemerintahan negara-negara Arab ingin tetap memegang monopoli isu Palestina. Dengan demikian solidaritas dengan warga Palestina menjadi sebuah perdagangan politis, untuk menyembunyikan keburukan sendiri, jelas Jamal Eid. Ia menambahkan, "Masalah palestina termasuk masalah mendasar di negara-negara Arab. Tetapi masih ada banyak masalah lain, seperti contohnya isu Islam Wahabi yang konservatif atau isu korupsi. Demokrasi juga tidak ada dalam agenda pemerintahan, tidak ada kebebasan berpendapat dan juga pemilu yang bebas. Dalih yang digunakan bagi semua ini selalu masalah pendudukan Israel."

Pemerintahan yang moderat justru mendapat rintangan yang lebih besar. Misalnya Mesir. Untuk menghindari penyelundupan senjata ke Jalur Gaza, pemerintah Mesir menutup perbatasannya. Karena ini rakyat Mesir menganggap pemerintahannya besekongkol dengan Israel. Tetapi kalau pemerintah memutuskan untuk kembali membuka perbatasannya, mereka juga akan tetap dianggap sekongkol Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza. Ini adalah bukti nyata, bahwa instrumentalisasi politis isu Palestina tidak lagi sejelas 20 tahun lalu.

Hassan Znined / Anggatira Gollmer
Editor: Dyan Kostermanns