1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Software Bantu Pengidap Autisme

1 Desember 2016

Pengidap Autisme sering kesulitan berinteraksi secara sosial. Mereka kesulitan menangkap perubahan ekspresi wajah orang lain. llmuwan mengembangkan piranti lunak yang membantu deteksi perubahan emosi lawan bicaranya.

https://p.dw.com/p/2TZR2
Symbolbild Zahlenreihen
Foto: picture-alliance/dpa/Zucchi

Belajar Mengenali Emosi buat Pengidap Autisme

Pengidap autisme tidak bisa membaca ekspresi wajah orang lain. Ini menyulitkan mereka untuk bisa memberikan reaksi emosional kepada lawan bicara. Seringnya pengidap autisme merasa terisolir dan kesepian.

Di Universitas Humboldt Berlin, ilmuwan meneliti cara mengajarkan seseorang untuk menerjemahkan ekspresi secara benar. Bersama timnya, Isabel Dziobek mengembangkan metode yang bisa diterapkan pengidap autisme untuk bisa bereaksi secara instingtif.

"Harapan saya adalah membantu pengidap autisme, baik anak-anak maupun dewasa, agar bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih baik. Bisa berinteraksi dengan orang lain adalah aspek yang sangat penting. Tidak hanya bagi kehidupan sosial, tetapi juga di dunia kerja. Bagi saya sangatlah penting untuk bisa mengerti ekspresi orang lain."

Tim Dziobek mengembangkan software yang memungkinkan pengidap autisme untuk melatih cara mengenali emosi. Rekaman video menunjukkan 40 ekspresi wajah yang berbeda. Seperti apa ekspresi wajah saat sedih, frustasi atau bahagia? Perubahan kecil ini ditampilkan dalam ribuan ekspresi yang harus dipelajari oleh pengidap autisme.

Pada latihan, mereka harus menyusun kombinasi yang benar antara ekspresi mata dan mulut. Sehingga pengidap autisme bisa memahami korespondensi gerakan individual dengan kondisi emosional seseorang. "Pada studi awal kami menemukan, bahwa pengidap autisme cenderung tidak menatap mata saat lawan bicara dan menunjukkan perasaannya. Padahal mata sangatlah penting jika ingin bisa membaca ekspresi seseorang."

Karena itulah, para ilmuwan mengajarkan pasien mengarahkan pandangan saat berbicara dengan orang lain. Latihan tiga jam dalam seminggu cukup untuk memperbaiki kemampuan interpretasi mimik wajah. Isabel Dziobek juga menemukan, bahwa kemampuan ini menggambarkan aktivitas otak yang bisa diukur, serta bagian otak mana yang bertanggung jawab untuk itu.

Saat terbaik untuk menstimulasi otak adalah pada masa kanak-kanak. Program buatan Simone Kirst dirancang untuk membantu interaksi sosial anak-anak pengidap autisme. Mereka juga memiliki perasaan, namun tidak mampu mengungkapkannya.

Lutz mengidap sindrom Asperger, gejala autisme di mana penderitanya sulit berkomunikasi dengan lingkungannya. Ia pergi ke sekolah biasa dan kecerdasannya di atas rata-rata, namun sulit mendapat teman. Ibu Lutz, Katja Wusowski bercerita: Ia sama sekali tidak kesulitan dengan pelajaran di sekolah. Masalahnya di jam istirahat. Bagi Lutz, istirahat berarti otaknya tidak harus berpikir dan ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan. Akibatnya, ia berlari di dalam kelas dan mulai memprovokasi murid lain supaya mendapat perhatian. Ia tidak bisa berkata: Hey, saya ingin bicara dengan kalian. Ia tidak tahu caranya.

Pada program untuk dewasa diutamakan latihan mengenali berbagai ekspresi wajah. Anak-anak juga harus belajar bereaksi dengan benar sesuai dengan emosi yang ditunjukkan orang lain. Lutz sudah bertahun-tahun menjalani latihan ini. Kemajuannya terlihat jelas. "Tidak mudah dengan Lutz. Kadang saya menangis dan ia tertawa. Sekarang kalau saya menangis, ia mengambilkan saya tissu. Memang ia tetap menganggapnya lucu, tapi ia tahu saya sedang sedih dan berusaha bereaksi dengan benar," papar Wusowski.

Orang biasa juga bisa menggunakan software ini untuk melatih sisi empatinya. Mereka yang bisa menginterpretasi emosi orang lain secara benar, memiliki basis penting untuk kehidupan sosial dan kerja yang sukses.