1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Soeharto Sebagai Jagoan di Medan Tempur

29 Mei 2017

Capaian tertinggi Soeharto sebagai jagoan perang, adalah mampu tiba di Istana dengan strategi yang disebut "kudeta merangkak”. Simak dalam opini Aris Santoso berikut ini.

https://p.dw.com/p/2dd36
Indonesien General Suharto Beerdigung Generäle

Membahas figur Soeharto dari aspek politik mungkin sudah mencapai titik jenuh. Sementara membicarakan Soeharto sebagai militer, justru acapkali terlewatkan, padahal itulah habitat awal Soeharto. Rekam jejak Soeharto sebagai panglima atau komandan satuan, turut berpengaruh saat dirinya terjun penuh dalam dunia politik.  Solusi gaya komandan satuan militer, banyak dipraktikkan Soeharto ketika menjadi Presiden, setidaknya memberinya inspirasi

Dalam peta militer di Tanah Air, Soeharto masuk kategori sebagai "jago perang”. Kemampuan Soeharto dalam memimpin operasi pertempuran disetarakan dengan perwira lain, yang  juga  dikenal sebagai jago perang, seperti  Brigjen Anumerta Slamet Rijadi, Kolonel Purn AE Kawilarang, Brigjen TNI Purn Lucas Kustarjo, dan Mayjen TNI Purn Mung Parhadimulyo. Di atas semua nama perwira  tersebut (termasuk Soeharto),  adalah figur Jenderal Ahmad Yani, yang dianggap yang paling menonjol.

Nama perwira yang baru saja disebut ini, tidak bisa diperbandingkan dengan sejumlah perwira yang sebagian besar masa dinas aktifnya habis di panggung politik, khususnya Golkar, seperti Amir Murtono, Sugandhi, Suhardiman, dan seterusnya. Kelompok ini adalah genre tersendiri dalam wacana politik militer, dan sudah tidak menarik lagi untuk dibicarakan. Bagaimana mungkin, mereka memperoleh kemuliaan sebagai jenderal tanpa pernah bersentuhan lagi dengan asap mesiu.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Terhalang Ahmad Yani

Menonjolnya figur Ahmad Yani menjadikan Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Ahmad Yani. Kalau boleh kita berandai-andai, selama masih ada figur Ahmad Yani, Soeharto masih harus bersabar menanti pemunculannya. Membandingkan perjalanan karir keduanya menjadi menarik, karena Soeharto-lah yang menggantikan Yani sebagai Pangad (KSAD), setelah Yani ditemukan gugur di Lubang Buaya. Seolah Soeharto merupakan antitesis dari figur Yani.

Sekadar ilustrasi bisa diajukan di sini, bagaimana Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Yani. Kesan yang sudah terlihat sejak era perang kemerdekaan (1945 – 1949), khususnya di palagan Jawa Tengah, kawasan yang kini di bawah Kodam IV/Diponegoro. Benar, antara Yani dan Soeharto ada ikatan kultural (bersama perwira-perwira asal Jateng lain), yang dikenal sebagai "Rumpun Diponegoro”.

Pada Mei 1947, saat Soeharto (lahir Juni 1921) sudah menjadi Komandan Resimen 22 di Yogyakarta dengan pangkat Letkol, Ahmad Yani (lahir Juni 1922) masih menjadi Danyon III/Resimen 19 di Magelang, dengan pangkat Mayor. Artinya, Soeharto sebenarnya lebih senior, baik dari segi usia maupun kepangkatan. Pasca periode perang kemerdekaan, saat dipindah tugaskan di Mabes AD Jakarta, karir Yani terus melesat.  Setelah sukses memimpin operasi penumpasan PRRI, karir Yani tak terbendung lagi, dengan menyandang pangkat brigjen, sebagai Deputi Operasi KSAD (1960), sementara Soeharto masih kolonel, meski telah usai menjabat Pangdam Diponegoro.

Selain mumpuni dalam pertempuran, Ahmad Yani juga dikenal sebagai konseptor ulung. Jejak Ahmad Yani masih terlihat sampai kini, lewat keberadaan  Yonif 40o Para Raider/Banteng Raiders ( Semarang) dan Kostrad. Mungkin sudah tidak ada yang ingat lagi, bahwa gagasan pembentukan Kostrad sebenarnya berasal dari Yani. Bila akhirnya jabatan Pangkostrad diberikan kepada Soeharto, itu bisa dibaca sebagai bagian dari solidaritas rumpun Diponegoro, antara Yani dan Soeharto.

Dalam perjalanan waktu kita bisa melihat, antara Soeharto dan Yani terjadi sedikit perberbedaan sikap, dalam pengamalan tradisi rumpun Diponegoro. Tradisi rumpun Diponegoro yang acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), tetap dipegang teguh Soeharto hinga menjelang akhir hidupnya. Tidak demikian dengan Yani, terlebih sepulangnya mengikuti pendidikan Seskoad di Amerika (Fort Leavenworth).

Yani dianggap mulai condong pada perilaku kosmopolitan, sebuah nilai yang tidak masuk dalam suasana batin rumpun Diponegoro. Nilai  yang lebih diidentikkan dengan rumpun lain, yaitu (Kodam) Siliwangi. Rumpun Siliwangi dianggap kosmopolitan, terkait karakter kota Bandung yang menjadi sentral rumpun Siliwangi. 

Dalam pandangan  rumpun Diponegoro, Soeharto dianggap  konsisten memegang teduh tradisi. Itu sebabnya, ketika Soeharto menggantikan posisi Yani, sebagai Men/Pangad (KSAD), hingga berlanjut sebagai Pangab dan Presiden, Soeharto mendapat dukungan yang solid dari rumpun Diponegoro. Pertanyaan kini, apakah memang telah terjadi kompetisi (setidaknya terselubung), antara Soeharto dan Yani? Tidak ada konfirmasi tentang hal itu. Namun satu hal yang pasti, dengan gugurnya Yani, Soeharto bisa lebih leluasa merintis jalan menuju kekuasaan.

Siliwangi dan Nasution

Sejak masa perang kemerdekaan hingga dasawarsa 1970-an, performa antara Kodam Diponegoro dan Kodam Siliwangi selalu diperbandingkan, kalau tidak bisa dikatakan telah terjadi persaingan terselubung. Namun fenomena seperti itu, kini tinggal kenangan. Tonggak itu terjadi ketika Soeharto (selaku KSAD) meresmikan berdirinya Brigade Infanteri Lintas Udara 17/Kujang I, pada 20 Mei 1966, di Bandung.

Upacara peresmian Brigif 17 tersebut sangat simbolis, itu adalah cara Soeharto untuk menetralisir dominasi Kodam Siliwangi, khususnya terhadap Kodam Diponegoro, dari mana Soeharto berasal. Yang ditunjuk sebagai Komandan pertama Brigif 17 adalah Kol Inf Himawan Soetanto, perwira Siliwangi yang dikenal sangat setia pada Soeharto

Pada upacara tersebut, Pangdam Siliwangi masih dijabat Mayjen Ibrahim Adjie, seorang jenderal legendaris dan dikenal setia pada Soekarno. Mengeliminir Ibrahim Adjie, dan jenderal-jenderal Sukarnois lainnya, adalah bagian dari skenario "kudeta merangkak” Soeharto untuk menggapai kekuasaan. Tepat dua bulan kemudian (20 Juli 1966), posisi Ibrahim Adjie selaku Pangdam Siliwangi, digantikan oleh Mayjen HR Dharsono (Pak Ton). Dari sejarah kemudian kita juga tahu, Pak Ton termasuk tokoh militer yang paling awal tersingkir di masa Orde Baru.

Rupanya itu belumlah cukup, Soeharto masih mengincar ikon Siliwangi lainnya, yakni Jenderal AH Nasution, yang merupakan Panglima pertama Kodam Siliwangi.  Sebagaimana sudah diketahui, memang sempat terjadi ketegangan antara Soeharto dengan Nasution, pada tahun 1950-an, saat Soeharto masih menjabat Pangdam Diponegoro dan Nasution selaku KSAD. Nasution mempersoalkan bisnis ilegal yang dilakukan Kodam Diponegoro.

Sikap Soeharto untuk menanti hari yang pas untuk "membalas” tindakan Nasution dahulu, ibarat seorang sniper (penembak runduk), Soeharto sangat sabar. Akhirnya saat yang ditunggu datang juga,  pada penggal terakhir kekuasaannya,  Soeharto memberi anugerah jenderal besar (lima bintang) pada Nasution.

Ini sebenarnya adalah  parodi bagi Nasution. Bagi tokoh sekaliber Nasution, anugerah jenderal besar sebenarnya tidak terlalu berarti. Bila tidak diberikan pun,  tidak mengurangi nama besar Nasution. Tampaknya Soeharto sengaja memberi pangkat ini di hari senja Nasution, ketika secara psikis dan fisik Nasution sudah melemah, sehingga tak kuasa menolaknya.

Bila  saat itu Nasution berani menolak, merupakan berita besar, sebagai bentuk perlawanan terhadap Soeharto. Namun masalahnya Nasution sendiri dikenal sebagi penyanjung kekuasaan, dan saya kira ini diketahui Soeharto. Hingga Nasution tidak sadar bahwa dia masuk dalam proyek pencitraan Soeharto.

Lawan Gerilya

Capaian tertinggi Soeharto sebagai jagoan perang, adalah mampu tiba di Istana dengan strategi yang disebut "kudeta merangkak”. Konsep ”kudeta merangkak” sebenarnya diadopsi Soeharto dari taktik  satuan infanteri dalam operasi lawan gerilya. Dalam operasi lawan gerilya, pihak yang menguasai ketinggian (seperti perbukitan), dianggap lebih unggul. Itu sebabnya dalam operasi tempur,  satuan infanteri selalu berusaha merebut posisi ketinggian, yang biasanya sudah dikuasai pihak lawan lebih dahulu, dengan cara "merangkak”, maksudnya bukan dalam serangan frontal.

Demikian juga yang dilakukan Soeharto, dia mencapai Istana dengan cara merangkak atau bertahap. Sebelum berhadapan langsung dengan Presiden Soekarno, dia singkirkan dahulu para loyalis Soekarno, seperti Laksamana Omar Dani (KSAU), Mayjen Mar Hartono (Komandan Korps Marinir), Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi), dan seterusnya. Tahapan berikutnya sudah menjadi sejarah, dimana Soeharto kemudian berkuasa di negeri ini selama 32 tahun.

Di Jakarta hari ini, istilah "kudeta merangkak” menjadi aktual, sehubungan  rumor adanya pihak tertentu yang  berupaya menghentikan pemerintahan Presiden Jokowi di tengah jalan. Saya sendiri berpendapat, sebaiknya usaha  itu jangan dilanjutkan.

Selain inkonstitusional, juga akan sia-sia belaka, mengingat strategi "kudeta merangkak” copyright-nya ada di tangan Soeharto. Jadi tidak bisa sembarang orang bisa menirunya, dan lagi peristiwa besar itu tidak bisa diulang.  Demikian juga dengan perjalanan karir militer dan karier politik Soeharto,  semuanya adalah privilege Soeharto, yang tidak bisa diulang atau dirujuk oleh perwira generasi sekarang.

 

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu. (ap/yf)


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis