1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Skema Soekarno Bagi Marinir

15 Maret 2017

Keinginan Jokowi jadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia harus dicermati dengan baik, berkaca pada kesetiaan marinir pada Soekarno. Simak analisa Aris Santoso berikut ini.

https://p.dw.com/p/2ZCwp
Indonesien Militärübung
Foto: Getty Images/R. Pudyanto

Konsep Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tampaknya benar-benar ingin diimplementasikan oleh Presiden Joko Widodo, salah satunya adalah memberikan kesempatan lebih pada perwira tinggi Korps Marinir (Marinir) untuk menempati posisi strategis dan vital.

Pada akhir Februari 2017  lalu, ada berita soal mutasi sejumlah perwira (tinggi) TNI. Mutasi kali perlu mendapat catatan khusus,  mengingat perwira asal Kormar memperoleh  promosi lebih besar. Misalnya untuk posisi Komandan Paspampres, baik pejabat lama maupun pejabat baru, sama-sama dari Marinir, yaitu dari Mayjen TNI (Mar) Bambang Suswantono kepada Brigjen TNI (Mar) Suhartono. Mayjen Bambang Suswantono  akan  kembali ke korps asal sebagai Komandan Kormar, sementara Brigjen Mar Suhartono sebelumnya adalah Komandan Pangkalan Utama AL XI di Merauke, Papua. Sementara Komandan Kormar yang lama, Mayjen (Mar) RM Trusono juga memperoleh promosi dalam posisi bintang tiga, sebagai Komandan Sesko TNI.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Pergantian Komandan Paspampres yang sama-sama berasal Marinir, juga pernah terjadi di masa pemerintahan Megawati (2001-2004), yakni dari Mayjen (Mar) Nono Sampono kepada Mayjen (Mar) Agung Widjajadi.

Jokowi dan (juga) Megawati terkesan sama-sama ingin mengikuti gaya Soekarno, yang memfavoritkan Korps Marinir. Gaya itu sebut saja sebagai "Skema Soekarno”, karena dulu Soekarno memposisikan Marinir sebagai penyeimbang Angkatan Darat, agar AD tidak terlalu dominan. Itu bisa dilihat pasca Soekarno jatuh, Marinir (dahulu KKO) tetap setia pada Soekarno. Sehingga posisi Marinir di masa awal Orde Baru sempat terpinggirkan.

Kasus Hartono dan Bom Cilandak

Kesetiaan Marinir pada figur Soekarno masih meninggalkan jejak, sampai jauh di kemudian hari, dan sebagian masih diingat publik. Salah satunya sebagaimana ditunjukkan  figur Ali Sadikin, Gubernur Jakarta yang paling legendaris. Ali Sadikin adalah sesepuh Marinir yang sangat disegani, dan Ali Sadikin dengan sangat jelas lebih setia pada Soekarno ketimbang Soeharto. Argumentasi Ali saat itu adalah, karena yang melantiknya sebagai Gubernur adalah Soekarno, maka sudah sepatutnya dia tetap setia pada Soekarno.

Dua peristiwa lain yang bisa dijadikan petunjuk bahwa Marinir masih setia pada Soekarno adalah kasus tewasnya Mayjen (Mar) R  Hartono  (1971) dan bom Cilandak (Oktober 1984). Hartono adalah Komandan Kormar (d/h KKO) pada peralihan zaman, dari Orde Lama ke Orde Baru. Secara terbuka, Hartono masih menyatakan kesetiaannya pada Soekarno, meski secara perlahan kekuasaan sudah beralih pada Soeharto. Ini yang menjadikan Soeharto kurang nyaman. Hartono membayar sangat mahal atas kesetiaannya itu. Kesetiaan Hartono pada Soekarno hanya bisa dihentikan dengan cara melenyapkannya. Kasus tewasnya Hartono, sampai sekarang masih misteri.

Makam Mayjen (Mar) R  Hartono  (1971), komandan Kormar (d/h KKO) pada peralihan zaman, dari Orde Lama ke Orde Baru.
Makam Mayjen (Mar) R  Hartono  (1971), komandan Kormar (d/h KKO) pada peralihan zaman, dari Orde Lama ke Orde Baru.Foto: Stanley Adi Prasetyo

Peristiwa kedua adalah meledaknya gudang amunisi milik Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, pada akhir Oktober 1984. Sama dengan kasus tewasnya Hartono, kasus bom Cilandak, juga menyisakan misteri sampai sekarang. Ada analisis yang menyebutkan, bahwa ini semacam peringatan dari Jenderal Benny Moerdani (Pangab saat itu), agar Marinir secara penuh setia pada Soeharto. Hubungan Soeharto dan Benny tahun 1984 itu masih terlihad solid, wajar bila Benny mem-back up penuh Soeharto

Bila dihubungkan dengan Indonesia hari ini, tampaknya Jokowi juga memiliki imajinasi, agar dia juga bisa seperti Soekarno, yang memperoleh kesetiaan penuh dari Marinir. Salah satu cara yang ditempuh Jokowi adalah dengan memberikan pos-pos strategis pada perwira asal Marinir. Komandan Kormar yang lama misalnya, Mayjen RM Trusono, dipromosikan sebagai Komandan Sesko TNI. Dengan begitu, RM Trusono tak lama lagi akan berpangkat Letjen (tiga bintang). Bagi seorang perwira Marinir, bisa menyandang pangkat tiga bintang adalah kehormatana yang luar biasa, dan itu jarang terjadi.

Mengapa? Dengan menyandang pangkat tiga bintang, itu artinya melampui pangkat tertinggi di korps asal, yang hanya sampai dua bintang, dalam hal ini posisi sebagai Komandan Korps Marinir.

Sejak masih taruna, perwira Marinir sudah sadar, bahwa pangkat tertinggi yang mungkin bisa diraih adalah dua bintang (mayjend), kalau pada akhirnya bisa lebih tinggi dari itu, merupakan anugerah yang luar biasa. Dan pihak yang memberi anugerah itu, sebut saja Jokowi, berhak memperoleh balasan setimpal dari Marinir.

Persaingan Lama

Kompetisi antara Marinir dan satuan TNI AD sudah menjadi cerita lama. Gesekan di lapangan antara personel Marinir dengan personel Kopassus atau Kostrad, sudah acapkali kita dengar. Termasuk kompetisi di tingkat kelembagaan, salah satunya persaingan laten antara satuan khusus Denjaka (Marinir) dan Satgultor 81 (Kopassus). Unsur pimpinan sangat menentukan dalam meredam gejolak ini, jangan sampai menimbulkan ekses negatif.

Bahkan sebenarnya persaingan itu sudah dikondisikan sejak masa pendidikan, saat mereka masih berstatus taruna. Di masa lalu, ketika hiburan dan kesenian pop belum semarak sekarang, penampilan drumb band taruna  sangat dinanti-nanti masyarakat. Pada pertengahan tahun 1960-an, ada sedikit persaingan antara drum band taruna Akmil Magelang dan taruna AAL Surabaya.

Kebetulan penyelaras irama (drum band mayorete) taruna AAL, adalah taruna yang sangat tampan, yakni Sermatar (Sersan Mayor Taruna) Djoko Pramono (Marinir, AAL 1966), yang bila tampil selalu membuat remaja puteri menjadi histeris. Kemudian penyelaras irama taruna Akmil adalah Nurhana (CPM, Akmil 1965).  Di kemudian hari Djoko Pramono berhasil menjadi Komandan Korps Marinir (1994-1996), sementara Nurhana terakhir menjadi Komandan Pomdam V/Brawijaya, dan pensiun dengan pangkat terakhir Kolonel CPM.

Satu pelajaran yang bisa kita petik adalah, bahwa hubungan antar korps pada dasarnya rentan konflik. Untuk itulah diperlukan kepemimpinan TNI yang kharismatik dan mengakar di bawah, agar potensi konflik antar satuan bisa diredam, kemudian diproses  menjadi energi positif bagi peningkatan performa korps.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.