1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanAfrika

Skandal Obat Batuk Buatan India Penyebab Kematian Anak

Abu-Bakarr Jalloh | Murali Krishnan | Omar Wally (Banjul)
12 Oktober 2022

Warga Gambia, Afrika, menuntut keadilan atas kematian 66 anak yang mengalami kerusakan ginjal setelah diduga mengonsumsi obat sirup buatan India. New Delhi mengaku telah melakukan investigasi atas tragedi ini.

https://p.dw.com/p/4I33K
Beragama kemasan sirup obat batuk dan demam produksi India yang diduga sebabkan kematian di Gambia.
Beragam kemasan sirup obat batuk dan demam produksi India yang diduga sebabkan kematian di GambiaFoto: MILAN BERCKMANS/AFP

Badan regulasi obat-obatan India, The Central Drugs Standard Control Organisation (CDSCO), mengumumkan bahwa mereka telah meluncurkan investigasi terhadap Maiden Pharmaceuticals. Akhir pekan lalu, 8 Oktober 2022, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa perusahaan farmasi yang memproduksi empat obat sirup batuk dan demam tersebut sebagai pihak yang kemungkinan bertanggung jawab atas kematian 66 anak di Gambia. 

Tiga anak lainnya yang dirawat di rumah sakit, setelah mengonsumsi sirup yang diduga bermasalah tersebut, meninggal dunia pada akhir pekan lalu dengan kerusakaan ginjal parah. Pihak otoritas Gambia menyebutkan sebanyak 81 anak masih dirawat di rumah sakit.

"Saya tidak berpikir bahwa hal tersebut akan terjadi di Gambia,” kata Alasan Kamaso, yang kehilangan anaknya yang berusia dua tahun, kepada DW.

Warga Gambia yang berduka berkumpul di lapangan terbuka di SereKunda, di luar ibu kota Banjul, pada akhir pekan untuk melakukan aksi berkabung dan mendoakan anak-anak yang masih kritis di rumah sakit.

Warga Gambia berkumpul di SereKunda untuk berkabung dan menuntut keadilan atas kematian 66 anak.
Warga Gambia berkumpul di SereKunda untuk berkabung dan menuntut keadilan atas kematian 66 anakFoto: Omar Wally/DW

"Kami menyalakan lilin dan berdoa sebagai bentuk seruan untuk bertindak atas meninggalnya 66 anak yang menjadi korban kelalaian,” kata aktivis kemanusian Madi Jobarteh.

Ia menyalahkan pemerintah atas tragedi ini, yang dianggapnya gagal untuk menjamin sistem yang dapat bekerja untuk memastikan bahwa obat berbahaya tidak bisa beredar di dalam negeri dan membunuh anak-anak.

Banyak anak jadi korban karena kesalahan diagnosis

Perlu empat hari lamanya hingga pemerintah Gambia bisa mengaitkan kematian anak-anak yang mencurigakan tersebut dengan kerusakan ginjal. Ini bisa dilakukan setelah sampel darah dikirim ke negara tetangga, Senegal. Gambia tidak memiliki peralatan tes yang memadai untuk mendeteksi kasus tersebut. Para dokter pun sempat menangani anak-anak tersebut dengan penanganan seperti untuk malaria, asma, dan meningitis.

Pekan lalu, WHO mengeluarkan peringatan terhadap empat jenis sirup obat batuk dan demam, di antaranya Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Keempatnya disebut kemungkinan bertanggung jawab atas kematian anak-anak tersebut.

Sebagai hasilnya, pihak otoritas Gambia pun segera bisa menyita lebih dari 16.000 dosis obat-obatan, termasuk di antaranya paracetamol dan sirup batuk, yang diproduksi oleh perusahaan farmasi Maiden.

Menurut Kamaso, upaya ini sangat sedikit dan terlambat. ”Setelah kematian beberapa anak, pemerintah harusnya mengambil langkah untuk mengungkap penyebabnya. Daripada membiarkannya hingga tidak terkontrol,” katanya kepada DW.

Hujan kritik karena komentar tidak bertanggung jawab

Kemarahan warga Gambia juga memuncak ketika Presiden Adama Barrow justru menganggap "enteng" kematian anak-anak tersebut. Dalam siaran televisi nasional, Barrow menzebutkan kematian anak-anak tersebut tidak jauh berbeda dengan angka mortalitas balita di negara itu tahun 2021.

Hujan kritik pun muncul, salah satunya dari Aliansi Perlindungan Anak (CPA), yang menyebut komentar Presiden Barrow sebagai hal yang ”mengecewakan” dan ”tidak bertanggung jawab”.

”Saya percaya bahwa pernyataan presiden kepada warga Gambia seharusnya komitmen yang memberi kepastian dan dia akan mengambil tanggung jawab secara penuh atas kelalaian pemerintahannya yang menyebabkan kematian setidaknya 66 anak,” kata Lamin Fatty, koordinator CPA.

Investigasi obat batuk dari India

Laporan WHO menyebutkan bahwa anak-anak mengalami kerusakan ginjal karena keracunan diethylene glycol yang ditemukan dalam empat sirup tersebut. Penanggung jawab regulasi obat-obatan dari CDSCO dan pemerintah negara bagian Haryana di India juga sedang menguji sampel terkontrol yang dikirim ke pihak berwenang.

”Keempat sirup tersebut telah dikirim untuk diuji coba di laboratorium obat lokal di Chandigarh. Hasilnya nanti bisa jadi panduan untuk aksi berikutnya,” ungkap perwakilan kementerian kesehatan India kepada DW.

Petugas Palang Merah di Gambia mengecek sirup obat batuk yang dikumpulkan di Banjul
Petugas Palang Merah di Gambia mengecek sirup obat batuk yang dikumpulkan di BanjulFoto: MILAN BERCKMANS/AFP

Kematian akibat obat-obatan produksi India

Tahun 2020, 17 orang anak meninggal dunia di dua wilayah di India, Jammu dan Kashmir, setelah mengonsumsi obat sirup dengan kadar diethylene glycol yang tinggi. Setelah insiden ini, India menghapus sirup obat batuk untuk mendukung upaya ‘penangguhani' yang tidak membawa risiko mengandung racun. 

Penyelidikan awal mengungkapkan bahwa Maiden Pharmaceuticals memproduksi empat sirup obat batuk, yang hanya diekspor ke Gambia.

Direktur Maiden, Vivek Goyal menyebutkan bahwa mereka secara cermat mengikuti aturan protokol dari kementerian kesehatan, termasuk dari CDSCO, dan otoritas obat-obatan negara bagian Haryana.

"Kami terkejut mendengar laporan media terkait kematian tersebut dan turut bersedih atas insiden ini,” kata Goyal.

Kasus obat di India bukan pertama kali

Ini bukan kali pertama, Maiden Pharmaceuticals menghadapi tuntutan atas obat-obatannya. Perusahaan ini pernah dituduh memproduksi obat berkualitas rendah di tujuh negara bagian di India, di antaranya Kerala, Gujarat, Jammu, Kashmir, dan Bihar.

Pada tahun 2015, pihak berwenang Gujarat menandai Macipro, obat yang mengandung antibiotik ciprofloxacin yang popular. Obat tersebut gagal dalam tes disolusi. Pada tahun 2014, perusahaan tersebut adalah salah satu dari 39 perusahaan obat India yang masuk daftar hitam Vietnam karena masalah kualitas.

Menurut survei CDSCO pada 2014-2016, sekitar 5% obat-obatan India, beberapa di antaranya diproduksi oleh perusahaan farmasi besar, gagal dalam uji kualitas. Namun, studi independen menunjukkan angka ini bisa jauh lebih tinggi.

Para ahli India mengatakan bahwa jika hubungan antara kematian anak-anak dan sirup obat batuk terbukti, para eksekutif perusahaan dapat menghadapi hukuman setidaknya 10 tahun penjara. 

(ts/ha)