1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSudan

Situasi Buruk di Darfur Bakal Picu Aksi Balas Dendam?

Jennifer Holleis
17 Mei 2024

Situasi di Darfur, makin suram bagi warga sipil di tengah pengepungan yang dilakukan oleh Pasukan Dukungan Cepat. Konflik di kawasan dikhawatirkan berakhir dengan pertumpahan darah dan menarik lebih banyak aktor perang.

https://p.dw.com/p/4fw8x
SItuasi di Darfur
Anak-anak dan perempuan paling menderita jika terjadi perangFoto: Unamid Handout/Albert Gonzalez F/picture alliance

"Pembantaian." "Pembunuhan." "Pertumpahan darah." Pengamat PBB dan organisasi hak asasi manusia mengatakan mereka khawatir akan kemungkinan terburuk, jika pengepungan yang sedang dilakukan oleh Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces - RSF) di El Fasher, utara Sudan – yang merupakan benteng terakhir Angkatan Bersenjata Sudan di Darfur – berujung pada serangan bersenjata.

Sejak pecahnya perang di Sudan pada April 2023, El Fasher telah berubah menjadi pusat kemanusiaan terbesar di Darfur. Saat ini, wilayah ini menampung sekitar 1,5 juta orang pengungsi, termasuk 800.000 pengungsi dalam negeri.

Kesepakatan perdamaian informal antara pihak-pihak yang bertikai – Angkatan Bersenjata Sudan, atau SAF, di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fattah Burhan, dan saingannya, Kepala Pasukan Dukungan Cepat (RSF), Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo – sejauh ini memberikan keamanan relatif bagi para pihak di kota dengan pertumbuhan populasi ini.

Namun, situasi ini berubah bulan lalu ketika dua kelompok bersenjata di El Fasher, Tentara Pembebasan Sudan, dan Gerakan Keadilan dan Kesetaraan, mengumumkan rencana untuk memihak Angkatan Bersenjata Sudan.

"Kedua kelompok ini tidak hanya memiliki jaringan lokal masing-masing, tetapi mereka melihat Pasukan Dukungan Cepat  sebagai musuh bersama, yang merupakan pendorong yang sangat ampuh untuk menyatukan mereka,” papar Hager Ali, peneliti di lembaga pemikir Jerman GIGA Institute for Global and Study Area kepada DW.

Pada gilirannya, RSF meningkatkan upaya militernya untuk memastikan aliansi baru ini tidak menjadi terlalu kuat, dan mereka juga tidak dapat melakukan kampanye balasan militer, tambahnya.

Warga sipil Darfur menanggung beban konflik yang paling berat

"El Fasher sekarang menampung populasi terbesar di Kota Darfur, termasuk kamp untuk pengungsi internal dan lebih dari 50 pusat penampungan di dalam kota,” ujar Direktur Organisasi Bantuan Rakyat Norwegia di Sudan, Michelle D'Arcy.

Namun, ketegangan yang terjadi saat ini di sekitar El Fasher telah menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan, tegasnya.

Wakil Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Sudan Toby Harward mengatakan awal bulan ini bahwa situasi kemanusiaan di dan sekitar El Fasher telah menjadi bencana besar.

"Telah terjadi kemunduran yang signifikan dalam situasi keamanan, termasuk meningkatnya pembunuhan sewenang-wenang, pencurian ternak, pembakaran sistematis seluruh desa di daerah pedesaan, peningkatan pemboman udara di beberapa bagian kota dan pengepungan yang semakin ketat di sekitar El Fasher, yang telah menghentikan aktivitas kemanusiaan, konvoi bantuan dan menghambat perdagangan komersial,” katanya dalam sebuah laporan pada tanggal 2 Mei lalu.

Analisis terbaru yang dilakukan oleh Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale juga mengonfirmasi bahwa 23 komunitas di Darfur Utara telah terbakar dalam serangan pembakaran sejak pertengahan April.

Dan menurut Program Pangan Dunia PBB, WFP, "waktunya hampir habis untuk mencegah kelaparan di wilayah yang luas ini.”

Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan kepada wartawan pada akhir April, dia khawatir "sejarah terulang kembali di Darfur dengan cara yang paling buruk,” dan menambahkan, El Fasher berada "di jurang pembantaian skala besar.”

Sejarah mematikan Darfur

Setelah pecahnya perang pada bulan April 2023, pertempuran antara SAF dan RSF dengan cepat meluas dari ibu kota Sudan, Khartoum, hingga Darfur – di mana sebagian penduduknya mengidentifikasi diri sebagai orang Arab dan sebagian lainnya sebagai orang Afrika – dan di mana RSF bermarkas.

Menurut Human Rights Watch (HRW), paramiliter Pasukan Dukungan Cepat dan milisi sekutunya kemudian melakukan kampanye pembersihan etnis terhadap penduduk non-Arab di Darfur.

Pada tanggal 9 Mei, badan pengawas internasional tersebut merilis laporan tentang pembunuhan etnis minoritas Masalit di Darfur pada tahun 2023, di mana para ahli PBB memperkirakan sekitar 15.000 orang terbunuh di Geneina, ibu kota Darfur Barat, dan lebih dari setengah juta orang mengungsi.

Juga pada minggu ini, Sudanese Archive, sebuah platform sumber terbuka yang mengumpulkan informasi digital terkait pelanggaran hak asasi manusia, menerbitkan rekaman yang menunjukkan pelecehan terhadap warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, yang diduga dilakukan oleh Pasukan Dukungan Cepat di Geneina pada November 2023.

Serangan RSF skala penuh akan menyebabkan 'penurunan dukungan lokal'

Masih harus dilihat apakah RSF akan melancarkan serangan besar-besaran untuk menguasai El Fasher dan sepertiga wilayah negara tersebut, termasuk perbatasan internasional Sudan dengan Libya, Chad, dan Republik Afrika Tengah.

Namun, para pengamat sepakat bahwa mencapai kemenangan di El Fasher harus dibayar dengan "ongkos mahal".

"Pertempuran habis-habisan untuk menguasai kota yang menyebabkan pertumpahan darah warga sipil secara besar-besaran akan menyebabkan serangan balas dendam di lima negara bagian Darfur dan di luar perbatasan Darfur,” tandas Harward.

Pandangan ini diamini oleh kepala Yayasan Friedrich Ebert (FES) di Khartoum, Constantin Grund. "Serangan akan memprovokasi lebih banyak kelompok bersenjata lokal untuk bergabung dalam pertempuran, yang akan berdampak buruk bagi masyarakat sipil,” katanya kepada DW.

Selain itu, RSF akan kehilangan popularitas dan kedudukan politiknya, imbuhnya. "Hal ini akan mempercepat penurunan dukungan lokal dan juga akan membatalkan upaya besar RSF untuk memberikan kesan legitimasi pada mereka dalam satu kesempatan,” tambahnya.

Harapan akan tekanan internasional

Sementara itu, seruan internasional untuk gencatan senjata dan pembukaan kembali koridor bantuan kemanusiaan masih belum didengar oleh kedua belah pihak.

Pada tanggal 2 Mei, menteri luar negeri Arab Saudi melakukan panggilan telepon kepada kedua jenderal tersebut dan mendesak mereka untuk "menghentikan pertikaian demi perlindungan lembaga-lembaga negara dan bangsa Sudan."

"Namun, hal ini mungkin akan berubah jika tekanan internasional meningkat," ujar Hager Ali meyakini. "RSF saat ini menganggap diri mereka tidak terpengaruh oleh konsekuensi nyata apa pun,” pungkasnya kepada DW, seraya menambahkan bahwa mereka tidak takut terhadap tuntutan atau akuntabilitas internasional. 

(ap/as)