1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Situasi Buruh Migran Indonesia

1 Mei 2007

Lebih dari 60 buruh migran asal Indonesia kini terancam hukuman mati di mancanegara. Misalnya di Malaysia dan Arab Saudi. Mereka antara lain dituntut atas kasus pembunuhan terhadap majikan dan peredaran narkotika. Dikhawatirkan, kasus serupa akan terus bermunculan dikemudian hari, mengingat posisi, buruh migran yang sangat rentan dilanggar haknya. Pegiat Migran Care mendesak pemerintah mengupayakan langkah diplomatik untuk meringankan hukuman mereka namun, pemerintah hanya meresponya dengan sebatas menyediakan pengacara.

https://p.dw.com/p/CIsy

Terhadap puluhan buruh migran yang sedang terancam hukuman mati di manca negara, pemerintah berjanji menyediakan bantuan hukum. Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Jumhur Hidayat menyatakan, upaya ini adalah bagian dari komitmen pemerintah dalam melindungi Buruh Migran. Dia optimistis bantuan hukum itu, akan meringankan hukuman mereka. Namun Jumhur menggarisbawahi, bantuan hukum itu, tidak termasuk untuk Buruh Migran yang terseret kasus narkotika.

“Kalau kasusnya kriminal, memang kita tidak melakukan seperti narkoba tapi kasusunya kalau tki yang mencari nafkah kemudian melakukan pembunuhan dan diancam hukuman, maka kita akan melakukan berbagai cara untuk melakukan pembelaan secara hukum dengan benar itu saja, kita secara penuh mendampingi mereka sampai selesai dalam proses peradilan dan lain sebagainya. Dan di beberapa tempat, saya rasa juga sudah banyak yang berhasil. Artinya yang semula dihukum mati kemudian berkurang hukumannya menjadi hidup”

Namun Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah memandang, langkah ini dengan pesimistis. Alasannya, pemerintah, tidak bisa mencampuri kedaulatan hukum suatu negara. Karenanya, menurut Anis, diperlukan langkah diplomatik antar pemerintah untuk memecah kebuntuan ini.

“Ya ini kan persoalan hukum, dari sisi hukum indonesia sebagai pengirim buruh migran sama sekali tidak bisa melakukan intervensi atas proses hukum yang terjadi karena kita sama sekali tidak bisa menyampuri kedaulatan hukum di negera setempat tetapi yang bisa dilakukan pemerintah indonesia adalah memperkuat diplomasi dan ini menurut saya yang belum dilakukan pemerintah “

Sejak tahun 1999 hingga sekarang, tercatat ada lebih dari 60 buruh migran yang terancam dihukum mati di sejumlah negara seperti Malaysia dan Arab Saudi. Penyebabnya beragam, mulai dari kasus narkotika hingga pembunuhan terhadap majikan. Namun Anis mengungkapkan, kasus pelanggaran hukum yang dilakukan buruh migran itu, tak bisa dilepaskan, dengan buruknya manajemen penempatan buruh migran yang dijalankan pemerintah. Seperti kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia yang membolehkan majikan mengambil paspor pekerja migran.

Kebijakan ini membuat buruh migran tidak memiliki posisi tawar didepan majikan dan kemudian menjadi alasan bagi buruh migran, melakukan kekerasan. Anis mencontohkan beberapa kasus pembunuhan terhadap majikan, terjadi karena hak buruh migran dilanggar.

“Saya kira pasti ada. Apalagi kalau kita melihat background mereka yang didakwa hukuman mati adalah mayoritas adalah TKW maka latar belakang majikan mereka adalah abuse kemudian sangat mempekerjakan seperti budak kemudian tidak memenuhi hak hak TKI, yang paling mendasar seperti hak makan, istirahat menjalankan ibadah dan itu yang kita pelajari dalam kasus kasus seperti Sundarti Supriyanto, Juminem, Siti Aminah. Mayoritas situasi kerja seperti itu. Sehingga pembunuhan itu terjadi”

Masalahnya, mengapa, penyebab kekerasan itu jarang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman? Mengapa pula, kasus kasus buruh migran itu dianggap kasus kriminal semata? Anis menduga, ini terjadi, karena pemerintah tidak pernah mendesakkan masalah itu, dalam forum-forum diplomatik seperti dalam pertemuan antar kepala negara. Selama ini, kata Anis, komitmen pemerintah untuk meringankan hukuman buruh migran itu, terhenti hanya pada sebatas menyediakan jasa pengacara belaka.

Analis migran care, Wahyu Susilo sependapat. Menurut dia, kondisi ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki kebijakan mendasar untuk melindungi buruh migran di mancanegara. Selama ini, Kalaupun ada bantuan hukum untuk buruh migran, kata Wahyu, hanya sebatas reaksi sesaat.

“Saya kira secara policy, memang tidak ada kebijakan yang memproteksi buruh migran kita atau police kita atau politik luar kita itu tidak ada konsentrasi untuk proteksi yang kemudian membuat cara pandang pemerintah kita dalam penangan kasus TKI, kalau pun dia melakukan upaya itu sangat kasuistik reaksioner tetapi tidak sistematis”

Namun Ketua Badan Nasional penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Jumhur Hidayat menepis tudingan itu. Jumhur menyebut sejumlah langkah pemerintah yang disebutnya sebagai langkah reformis untuk melindungi buruh migran.

“Pertama, kita memastikan meminta pihak negara yang belum melakukan mandatori ratification of government concultation, mendorong supaya hal itu dilakukan setiap kali ada warga negara kita yang bermasalah yang melaporkan ke perwakilan kita. Kemudian kedua, kita memastikan lawyer kita, tempat yang bisa menangani. Ketiga, perwakilan yang lebih responsif masalah2 ini.

Tapi janji pemerintah itu, saat ini masih sulit dibuktikan kebenarannya. Setidaknya oleh ibunda Tamirah, Buruh Migran asal Cirebon yang di penjara karena disangka menyantet majikanya di Arab Saudi Sejak 2 tahun lalu.

“ada yang datang ke sini, katanya sabar nanti mau diurusin, tapi sampai sekarang sekarang tidak ada keputusan. Sekarang ada yang datang lagi, dari tahanan bilangnya Tanirah itu sudah ngajuin berapa kali di kepolisian di sana, untuk disidang tetapi belum di sidang2. sampai sekarang ya enggak tau itu gimana ya”

Di luar masalah itu, ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi buruh migrannya diluar negeri, juga ditunjukan dengan minimnya alokasi anggaran untuk keperluan mereka. Jumlahnya kata, analis migran care Wahyu Susilo, sangat tidak sebanding dengan besarnya devisa yang disumbangkan kepada negara.

“Nah devisa yg didapat dari buruh migran itu saya kira sekitar 25 trilyun pertahun tp alokasi anggaran utk perlindungan, atau menagemen penempatan atau teknis tidak lebih dari 130 milyar atau 200 milyar kemudian kalau kita pake rasio utk jumlah itu tidak memadai”

Saat ini, lebih dari 7 juta buruh migran, mengadu nasib di sejumlah negara tanpa perlidungan memadai dari pemerintah. Setiap tahun jumlah devisa yang dikirimkan ke Indonesia terus bertambah namun perlakuan pemerintah, terhadap mereka tak banyak berubah. Bagi Wahyu Susilo, kesemuanya ini tidak lepas dari pandangan pemerintah yang selama ini, menempatkan buruh migran sebagai komoditas ekonomi belaka.

Zaki Amrullah