1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebhinekaan di Indonesia Terkoyak

Media Zainul Bahri
18 September 2018

Terkoyaknya kebhinekaan tak lepas dari kuatnya garis pemisah yang dikonstruksi oleh model sistem Islami (al-nizam al-islami): "kami" dan "kalian". Apa maksudnya? Simak opini Media Zainul bahri.

https://p.dw.com/p/348Ta
Indonesien Jakarta Menschen mit Behinderung
Foto: Monique Rijkers

Mendiskusikan soal radikalisme agama di Indonesia, apakah bibit-bibitnya, tunasnya sampai jadi pohon kekerasan, maka harus melihat beberapa hal penting ini.

Pertama, secara historis, dapat dilacak pada kedatangan paham Wahabisme dari Arabia ke Sumatera Barat pada sekitar tahun 1780-an dengan tiga tokoh yang cukup dikenal: Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik yang baru pulang dari Mekkah dan mendapat pengaruh kuat dari Wahabisme (lihat Ricklefs 2001).

Ciri khas dari Wahabisme adalah sangat harfiah dalam memahami hukum Islam. Paham ini merasa paling benar, dan atas nama Islam mereka mengeksekusi paham lain, menentang dan memerangi praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan budaya-budaya lokal karena dianggap tidak murni lagi.

Kaum Muslim yang menganut paham Wahabi di Sumatera Barat ini kemudian dikenal dengan sebutan kaum Paderi, yang memerangi kebiasaan praktik-praktik keagamaan kaum adat.

Kaum Paderi ini yang menyebabkan perang besar dengan kolonial Belanda dari 1803 hingga 1838 (lihat Ricklefs 2012).

Wahabisme di Pulau Jawa

Menurut Ricklefs, meningkatnya kemampuan finasial pada kelas menengah, terutama di awal abad ke-18, menyebabkan banyak orang Jawa pergi haji ke Mekkah, dan di kota inilah mereka berkenalan dengan Wahabisme.

Penulis:  Media Zainul Bahri
Penulis: Media Zainul Bahri Foto: privat

Tak heran jika di Jawa muncul dua organisasi keagamaan yang membawa semangat Wahabisme, yakni Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 di Yogyakarta, dan Persatuan Islam (Persis) yang berdiri pada 1923 di Bandung. Dua organisasi reformis ini pada awal-awal kemunculannya sering memusuhi dan menyerang kaum Muslim tradisional (NU) yang mempraktikkan Islam dan kultur Jawa atau Islam Jawa, yang hari-hari ini ramai disebut "Islam Nusantara”.

Kedua, semangat Wahabisme yang berpadu dengan Pan-Islamisme model Jamaluddin Afghani dan Jamaat Islam-I ala Al-Maududi cukup memberi pengaruh pada tokoh-tokoh Islam di awal kemerdekaan yang ingin mengusung "Negara Islam” bagi Indonesia yang baru merdeka saat itu. Mereka membuat formula Piagam Jakarta.

Dalam perdebatan di Konstituante dan melalui kompromi-kompromi, Piagam Jakarta kalah.

Berdirilah Republik Nasionalis Indonesia

Meski kalah, tokoh-tokoh piagam Jakarta tetap bertekad akan melakukan "Islamisasi” masyarakat Indonesia.

Maksudnya bukan Islamisasi Islam kultural. Tujuan akhirnya adalah terbentuk al-Nizam al-Islami (sistem Islam) yang pada gilirannya membentuk formalisasi syariat pada level negara.

Kaum Islamis ini kemudian aktif berdakwah dan mengembangkan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia), LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), dan banyak diantara mereka berkiprah di Departemen Agama dan berhasil membuat banyak regulasi yang menguntungkan kelompok Islam seperti UU Perkawinan, diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan dan lain-lain.

Pada tahun 1950-an kendaraan yang paling konstitusional bagi kaum Islamis adalah partai Masyumi.

Pada pemilu tahun 1955 Partai ini masuk dalam empat besar pemenang pemilu.

Menurut  Remi Madinier, terwujudnya masyarakat Islami yang bersamaan dengan pendirian Negara syariah merupakan raison d'etre nebula Masyumi. Meski terdapat banyak perbedaan pendapat dalam internal partai, namun para pemimpin Masyumi tak pernah surut memperjuangkan cita-cita pokok itu, yakni masyarakat Islami yang berasaskan syariah Islam.

Tetapi sejak 1952, NU sudah keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri. Ada persepsi yang kuat bahwa Masyumi adalah kumpulan kaum modernis Muslim, termasuk kaum Islamis, sementara NU tetap memegang teguh Islam tradisional Indonesia. Konflik keduanya terus berlanjut meskipun tidak vulgar.

Di dalam tubuh NU, ada figur-figur NU dengan semangat Masyumi. Mereka disebut dengan NU-Masyumi. NU-Masyumi ini sering berbeda pandangan dengan kebijakan PBNU.

Sejak masa Gus Dur, mereka tidak suka dengan Gus Dur karena dianggap kurang atau tidak ‘Islami'. Kini NU-Masyumi, yang cenderung ke ‘kanan-kananan' juga berkumpul dalam kelompok NU Garis Lurus yang terus menjadi oposisi PBNU Kyai Said Aqiel Siraj.

Ketiga, di masa reformasi dan atas nama demokrasi terbuka, kaum Islamis kembali mengkampanyekan Islamisme atau sistem Islami.

Di masa reformasi ini muncul organisasi seperti Laskar Jihad (Ja'far Umar Thalib), Majelis Mujahidin Indonesia (Abu Bakar Baasyir), FPI (Riziq Syihab), dan Hizbut Tahrir Indonesia.

Di samping karena semangat membantu konflik Palestina melawan Israel dan kedatangan alumni kombatan-kombatan Muslim Indonesia dari daerah-daerah konflik di Timur Tengah, tetapi  semua organisasi ini punya  tujuan yang relatif sama: membentuk Nizam Islami (sistem Islam): masyarakat Muslim yang hidup dalam Darul Islam. Islam jadi ideologi.

Soal Darul Islam ini, ada yang terang-terangan, dan ada yang samar-samar. Meskipun samar kalau ditelusuri, akhirnya ke sana juga: Darul Islam.

*Bagaimana  komentar Anda atas opini ini? Silakan tulis dan ikut diskusi di sini.

Apa itu Darul Islam?

Saya sederhanakan saja: membuat garis (demarkasi) yang jelas: "ini syariah, kamu tidak syariah”, "ini model yang syar'i, kamu tidak syar'i”, "ini Islami, kamu tidak islami”, "ini muslim/mukmin, kamu kafir”, akhirnya "ini Darul Islam, kamu Darul kufri, negeri kafir, kamu Darul harbi, negeri yang harus saya perangi”.

Semua organisasi di atas mengkampanyekan garis demarkasi ini secara militan dan terstruktur. Kadangkala dengan label NKRI Bersyariah, atau mengkampanyekan "mau membentuk masyarakat yang Islami”, padahal maksudnya Darul Islam atau mirip dengan itu, tetapi bukan masyarakat dengan Islam kultural.

Keempat, di Indonesia kini sedang berkembang kelompok Salafi. Kelompok ini seringkali diembeli dengan Wahabi, jadi Salafi-Wahabi, karena paham mereka yang dekat dengan Wahabi. Berdasarkan riset kami di beberapa lembaga dan pesantren Salafi, mereka juga punya paham yang "keras”, misalnya ada paham Al-Wala Wa Al-Bara, yaitu setia kepada sesama Muslim yang sepaham dengan mereka, dan memusuhi kaum kafir.

Beberapa pesantren memiliki kurikulum yang tidak ada materi tentang ke-Indonesiaan. Sebagian besar kurikulumnya adalah agama dengan paham Wahabi.

Kaum Salafi ini terdiri atas tiga kelompok: Salafi Purist (artinya kegiatan mereka murni hanya soal akidah dan ibadah saja), Salafi Haroki (sudah mulai membuat gerakan-gerakan anti kemajemukan), dan Salafi Jihadi (berjihad melawan orang kafir).

Ternyata beberapa teroris yang meledakkan bom di Bali dan tempat-tempat lain di tanah air adalah kelompok Salafi Jihadis ini. Jadi banyak yang bermetamorposis dari Salafi Purist (murni) menjadi Salafi Jihadis.

Dan terakhir kelima, memang benar kelompok-kelompok Islamis dan Islam ideologis ini dimanfaatkan oleh para politisi korup untuk meraih kekuasaan dengan cara menjanjikan sistem yang Islami itu. Tetapi akhirnya janji tinggal janji. Setelah menang kaum Islamis itu ditinggalkan.


Konflik dan kekerasan agama

Model Islam ideologis ini, yang seringkali memicu konflik dan kekerasan agama, sejatinya tidak pernah memenangkan hati mayoritas Muslim Indonesia yang sudah punya akar kuat dengan Islam kultural.

Meskipun pemerintah punya banyak program deradikalisasi dan yang terbaru adalah melarang HTI secara resmi, tetapi tetaplah yang paling efektif "menjinakkan” dan "meluluhlantakkan” paham Islam ideologis ini adalah kaum sipil Islam (civil Islam) Indonesia yang terdiri atas NU, Muhammadiyah, ribuan pesantren dan majelis taklim, dan UIN/IAIN di seluruh Indonesia.

Media Z Bahri, Dosen Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Bagaimana  komentar Anda atas opini ini? Silakan tulis dan ikut diskusi di sini.