1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Simpan Saja RUU Ketahanan Keluargamu Itu

Indonesien Tunggal DP
Tunggal Pawestri
22 Februari 2020

Jika RUU Ketahanan Keluarga disahkan, para janda miskin yang harus kerja keras di luar rumah akan menjadi korban keganasan RUU ini. Itu baru satu hal. Lainnya? Tunggal Pawestri memandang RUU ini kurang ajar.

https://p.dw.com/p/3Y8So
Romas in Bosnien und Herzegowina - Am Rand der Gesellschaft
Gambar simbol ibu rumah tanggaFoto: DW/Z. Ljubas

Kelihatannya kita semua sedang dibuat terkejut oleh munculnya RUU Ketahanan Keluarga. Bukan hanya karena pasal-pasalnya yang bermasalah, namun naskah akademiknya pun ditulis secara ugal-ugalan.

Sedemikian banyaknya masalah yang ada dalam RUU tersebut, saya sebenarnya sedikit bingung hendak memulai tulisan ini dari mana.

Jika menulis terlalu serius-serius amat, pasti akan membosankan dan bakal panjang lebar. Namun jika ditulis tidak serius, nanti bakal terkesan main-main, dianggap meremehkan produk ‘mahapenting‘ yang telah dihasilkan oleh anggota dewan yang terhormat.

Di satu sisi ingin menulis analisa panjang lebar dan menunjukkan secara detail kesalahan mendasar pasal per pasal yang ada di RUU, tapi di sisi lain, merasa bakal buang-buang energi.

Ya, bagaimana dong?

Ali Taher, sang anggota DPR dari PAN yang menjadi salah satu inisiator RUU ini saja membasiskan argumentasinya dari kisah Bang Toyib yang tak kunjung pulang (CNN, 20/02/2020).

Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM.
Penulis: Tunggal PawestriFoto: privat

Baiklah, berikut adalah beberapa keresahan saya:

Pertama, dengan jelas RUU ini hendak menyeragamkan konsep keluarga. Keluarga yang diakui dalam RUU ini hanyalah keluarga yang menikah secara sah.

Padahal kita tahu betul, Indonesia ini beragam, banyak sekali penganut kepercayaan, masyarakat adat dan warga miskin sering tidak memiliki akses untuk mencatatkan pernikahannya.

Apakah mereka tidak bisa dianggap sebagai sebuah keluarga yang tangguh jika hidup mereka selama ini baik-baik saja?

Lalu, bagaimana dengan teman-teman perempuan saya yang memilih untuk hidup melajang, hanya ditemani kucing-kucing?

Apakah karena mereka yang memutuskan tidak berpasangan dan beranak pinak, tidak bisa membangun negara ini menjadi negara yang kuat seperti yang ditulis di naskah akademis halaman pertama "Strong Families Make Strong Nations”?

Kedua, RUU ini seksis dan tidak berperspektif gender. Pembakuan peran istri dan suami dalam rumah tangga seperti yang ada dalam pasal 25 itu sudah usang, tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi saat ini. Bahkan cenderung menyulitkan keluarga untuk hidup lebih sejahtera.

Bayangkan jika teman saya yang berprofesi sebagai jurnalis, dengan upah pas-pasan, menjadi penghasil uang satu-satunya di dalam keluarga. Mana mampu mereka mencicil rumah berventilasi nun jauh di pinggiran Bekasi? Tentu saja pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan bersama-sama.

Juga bagi Ibu Risma, tukang gado-gado merangkap tukang pijat langganan keluarga, yang suaminya bekerja serabutan. Saat suaminya meninggal beberapa tahun lalu, ia tetap bisa melakukan semuanya sendiri. Membesarkan anak-anaknya yang sangat santun dan menghormatinya.

Penting diingat, Ibu Risma hanyalah satu di antara jutaan perempuan kepala keluarga di Indonesia. Dalam RUU ini, apakah orang seperti ibu Risma yang menjalankan peran dan kewajiban sebagai suami dan istri sekaligus berarti melanggar UU?

Jika ya, maka jutaan janda, perempuan miskin yang harus menghabiskan waktunya di luar rumah akan menjadi korban keganasan RUU ini.

Ketiga, dalam naskah akademik, disajikan fakta mengenai bukti adanya kerentanan keluarga di Indonesia. Salah satunya adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan juga banyaknya orang Indonesia yang tinggal di tempat yang tidak layak.

Ini mengherankan, untuk persoalan AKI, anggota dewan ini mestinya berefleksi.

Apa yang sudah mereka lakukan dalam fungsinya memelototi anggaran pemerintah dan mengawasi program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dan juga kesehatan ibu dan anak?

Hal lain, pernahkah mereka mendukung program kesehatan reproduksi untuk anak remaja? Bukankah mereka yang selalu kebakaran jenggot jika kita bicara soal pentingnya pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi untuk anak muda karena dianggap mengajarkan seks bebas?

Apakah mereka sudah pastikan pemerintah melaksanakan sosialisasi kenaikan usia pasangan menikah?

Mengapa tidak ada satupun pasal di RUU ini yang menyinggung persoalan ini? 

Keempat, perceraian juga dikelompokkan sebagai bukti kerentanan keluarga.

Baiklah, bisa jadi betul, tapi kita juga tahu perceraian terjadi karena berbagai hal.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu penyebab terbesar. Bagi sebagian perempuan, perceraian justru menjadi jalan keluar bagi rumah tangga yang toksik.

Apa boleh buat, banyak perempuan justru mampu membangun keluarganya dengan sehat setelah perceraian.

Selain itu, RUU ini menyebut-nyebut soal pendidikan pranikah. Tapi lagi-lagi, hal itu sudah dikerjakan oleh pemerintah. Tapi saya tidak begitu yakin bahwa anggota DPR peduli bahwa masih banyak pemateri yang bias gender.

Jangan lupa, kita juga memiliki  UU no 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Apakah UU ini sudah diawasi oleh DPR? Pun jika ada kekurangannya, mengapa tidak mengusulkan untuk direvisi saja, ketimbang mengusulkan RUU baru?

Kelima, ada faktor lain yang disebutkan sebagai penyebab kerapuhan keluarga, misal pornografi, kejahatan seksual serta penelantaran anak.

Pertanyaan saya, kita punya UU Pornografi, UU ITE, UU Perlindungan Anak itu gunanya apa? Bukan hanya untuk menjerat perempuan saja, kan?

Untuk kejahatan seksual, ya segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dong. Itu justru lebih penting dibandingkan RUU ini.

Keenam, ada kesalahan fatal dalam memaknai penyimpangan seksual.

Inses dalam KUHP adalah kejahatan seksual, jika kita mengetahuinya, tentu wajib hukumnya melapor.

Sementara homoseksualitas adalah orientasi seksual. Dan asal tahu saja, berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang merupakan buku pedoman diagnosis gangguan jiwa yang dipakai di Indonesia (diterbitkan Kemenkes tahun 1993), homoseksual (gay dan lesbian) dan biseksual tidak termasuk gangguan jiwa.

Maka jika homoseksualitas digolongkan dalam penyimpangan seksual, basisnya apa? Ngaco namanya jika anggota DPR bisa dengan sembarangan membuat definisi sendiri.

Sementara itu, sadisme dan masokisme adalah kekerasan seksual, tapi jika salah satu pasangan tidak setuju namun dipaksa melakukannya. Itu sudah pasti masuk tindak pidana di UU PKDRT.

Namun jika keduanya sama-sama menikmati dan bahagia-bahagia saja karena bagian dari fantasi seksual, kenapa negara harus turut campur?

Terakhir, menurut saya RUU ini agak kurang ajar. RUU ini terlalu jauh hendak mengatur hal privat warga negaranya. Bahkan hingga jauh mengatur soal hak reproduksi terkait surogasi dan donor sperma.

Saya setuju negara bisa intervensi ruang privat kita jika ada kekerasan di dalamnya, namun jika warganya baik-baik saja, kenapa para politisi ini pada repot amat sih?

Sudahlah, simpan saja RUU itu, kita tidak memerlukannya.

Penulis:

Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM.