Hong Kong Sidang 47 Aktivis: Bisakah Pro-Demokrasi Bangkit?
21 November 2024Emosi memuncak di luar Pengadilan Tinggi Hong Kong pada Selasa (19/11), ketika 45 aktivis pro-demokrasi dijatuhi hukuman atas tuduhan "subversi", dalam persidangan terbesar sejauh ini di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan Cina di wilayah ini.
Beberapa anggota keluarga terdakwa terlihat bersedih dan menangis. "Mengapa anak saya harus dipenjara? Beritahu saya alasannya. Dia orang baik," teriak salah satu ibu dari terdakwa saat dibawa pergi oleh polisi ke depan gedung pengadilan.
Vonis penjara para terdakwa berkisar antara empat tahun dua bulan hingga 10 tahun. Hanya dua dari 47 terdakwa yang dibebaskan.
Namun, beberapa kerabat lainnya yang berada di luar pengadilan terlihat tetap tenang.
"Hari ini bukanlah akhir, melainkan permulaan, atau bahkan titik tengah [dalam sejarah]," kata kekasih terdakwa Ventus Lau, salah satu yang divonis lebih dari empat tahun penjara, kepada DW.
"Tentu saja, satu hari di penjara saja itu sudah terlalu berat, tetapi kami sudah lama memproses dan mempersiapkan diri secara mental, jadi ini tidak terlalu mengejutkan," tambahnya.
"Ketika vonis diumumkan hari ini, saya sangat tenang dan damai, tidak terkejut sama sekali. Selama tiga tahun delapan bulan terakhir, kami telah mempertimbangkan banyak kemungkinan, termasuk kemungkinan hukuman terberatnya. Jadi, ketika vonis diumumkan hari ini, itu sesuai dengan ekspektasi kami," ungkapnya.
Awal mula situasi di Hong Kong
Beijing memperketat kendali atas Hong Kong setelah protes besar-besaran terkait pro-demokrasi meletus pada 2019. Hingga saat itu, wilayah ini menikmati otonomi hukum dan kebebasan sipil berdasarkan Undang-Undang Dasar Hong Kong, sebuah dokumen konstitusional yang disertakan saat penyerahan bekas jajahan koloni Inggris ke Cina pada 1997.
Hak-hak tersebut mencakup hak berkumpul, kebebasan berbicara, dan kebebasan pers. Namun, ketika Cina semakin merambah lebih jauh ke dalam sistem politik dan hukum Hong Kong, kelompok pro-demokrasi pada Juli 2020 menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara tidak resmi untuk dewan legislatif Hong Kong.
Tujuannya, untuk mengamankan mayoritas kandidat pro-demokrasi di dewan, guna memblokir kebijakan dan memberikan tekanan pada pemerintah pro-Cina. Lebih dari 600.000 warga Hong Kong ikut berpartisipasi.
Namun, pejabat kota yang loyal kepada Beijing justru menyebut pemilu itu adalah bagian dari rencana untuk "melumpuhkan" pemerintah dan melemahkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru diberlakukan Cina saat itu.
Para penyelenggara pemilu itu mengatakan penyelenggaraan itu masih berada dalam hak mereka untuk mengadakan pemilu di bawah Undang-Undang Dasar Hong Kong. Namun, para hakim tidak setuju, dan 47 orang yang terkait dengan pemilu tersebut didakwa dengan tuduhan subversi pada 2021.
Tokoh-tokoh pro-demokrasi terkenal dijebloskan ke penjara
Vonis pada Selasa (19/11) merupakan pukulan besar bagi perlindungan prinsip-prinsip demokrasi di bawah Undang-Undang Dasar Hong Kong. Sebelum putusan, banyak terdakwa sudah menjalani masa penahanan pra-sidang selama bertahun-tahun, dan itu memunculkan kekhawatiran tentang independensi peradilan dan proses hukum yang seharusnya adil.
Persidangan ini juga telah memenjarakan banyak tokoh-tokoh pro-demokrasi terkemuka. Di antaranya, ada pakar hukum Benny Tai, yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam penyelenggaraan pemilu tidak resmi 2020 itu. Ia dijatuhi vonis 10 tahun penjara, yang merupakan masa hukuman terlama pada persidangan itu.
Joshua Wong, salah satu tokoh paling terkenal dalam gerakan pro-demokrasi itu sudah berada di penjara atas dakwaan lainnya terkait aksi protes, saat dia didakwa dengan tuduhan subversi. Dia menerima hukuman empat tahun delapan bulan.
Sebelum meninggalkan ruang sidang, ia berteriak, "Saya cinta Hong Kong. Selamat tinggal."
Pada Rabu (20/11), Jimmy Lai, pendiri surat kabar pro-demokrasi, Apple Daily, yang kini telah ditutup, memberikan kesaksian untuk pertama kalinya dalam persidangan terpisah di bawah UU Keamanan Nasional.
Lai mengaku tidak bersalah atas dua tuduhan berkonspirasi dengan kekuatan asing dan satu dakwaan berkonspirasi untuk menerbitkan materi hasutan. Ia mengatakan bahwa dirinya "tidak pernah" menggunakan kontaknya dengan politisi asing untuk memengaruhi kebijakan di Hong Kong.
"Nilai-nilai inti dari Apple Daily sebenarnya adalah nilai inti masyarakat Hong Kong," kata Lai, seraya menambahkan bahwa nilai-nilai tersebut mencakup "supremasi hukum, kebebasan, pengejaran demokrasi, kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul."
Lai mengatakan kepada pengadilan bahwa ia menentang tindakan kekerasan dan bukan pendukung kemerdekaan Hong Kong, menyebut itu "terlalu gila untuk dipikirkan."
"Semakin banyak pengetahuan, semakin datang kebebasan,” ungkap Lai.
Dalam sebuah pernyataan, Maya Wang, direktur asosiasi Human Rights Watch Cina, mengatakan bahwa hukuman ini "kejam" dan menunjukkan "seberapa cepat kebebasan sipil dan supremasi hukum di Hong Kong anjlok dalam empat tahun terakhir" sejak UU Keamanan Nasional mulai berlaku.
'Segalanya masih mungkin terjadi'
Seorang teman Wong mengatakan kepada DW di luar pengadilan bahwa setidaknya hukuman itu berarti "kami tahu kapan kami akan melihat teman-teman kami bebas.”
"Penjara tidak memisahkan kami dari naluri kemanusiaan," katanya.
"Baik dari dalam [penjara] atau tidak, jangan biarkan kondisi zaman memengaruhi kita begitu banyak sehingga kita merasa depresi dan tidak mampu melakukan apa pun," tambahnya.
Kekasih Ventus Lau juga mengatakan masa depan gerakan pro-demokrasi di Hong Kong belum bisa dapat dipastikan.
"Saya tidak akan mengatakan hari ini adalah akhir dan kemudian membuat kesimpulan, karena kita tidak tahu apa yang bisa saja terjadi selanjutnya. Segalanya masih mungkin terjadi," katanya.
Artikel ini diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris