1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setiap Hari India Alami Bhopal Kecil

3 Desember 2009

25 tahun lalu terjadi bencana di pabrik pestisida di Bhopal, India. Adakah hikmah yang diambil pemerintah India maupun perusahaan multinasional dari bencana itu?

https://p.dw.com/p/Kpkn
Seorang supir bajaj korban bencana Bhopal. Di tangan kanan ia memegang alat bantu pernafasan.Foto: Pia Chandavarkar

„Walaupun sudah terjadi kecelakaan besar seperti di Bhopal, hingga kini belum terdapat keamanan yang menyeluruh. Terutama di India dimana kecelakaan kecil seperti di Bhopal terjadi setiap hari. Setiap hari kami mendengar berita buruk dimana sedikitnya dua, atau kadang keesokannya empat pekerja, tewas karena kecelakaan.“

Aktifis lingkungan Chandra Bhushan dari organisasi „Center for Science and Environment“ yang berpusat di ibukota New Delhi, menggambarkan buruknya situasi Bhopal 25 tahun setelah bencana gas beracun tersebut. Tentunya pemerintah India mengambil hikmah dari bencana itu, namun upaya untuk mengubah undang-undang agar kecelakaan seperti itu tidak terulang lagi masih kurang. Aktifis lingkungan Chandra Bhushan menuturkan, "setelah bencana itu pemerintah India memberlakukan undang-undang baru yang lebih ketat. Namun hanya sedikit yang betul-betul diterapkan. Bencana Bhopal merupakan kegagalan pertama. Penerapan tidak serius undang-undang baru merupakan kegagalan kedua. Yang ketiga yang seharusnya berfungsi dengan baik adalah tanggung jawab perusahaan besar. Seandainya suatu ketika terjadi kembali insiden seperti di Bhopal, pihak yang bertanggung jawab di perusahaan yang bersangkutan harus dituntut pertanggungjawabannya. Pada kecelakaan kecil sering kali pihak yang bertanggung jawab lolos begitu saja tanpa diadili. Dan karena itu, urusan lainnya tidak diperhatikan oleh perusahaan tersebut.“

Alasan utama perusahaan multinasional menanamkan investasi di negara berkembang biasanya adalah murahnya biaya produksi. Nick Guroff dari lembaga swadaya masyarakat AS „Corporate Accountability International“ memaparkan, "hal yang menyedihkan dan terus mengingatkan pada bencana Bhopal adalah perusahaan seperti Union Carbide berinvestasi di negara berkembang karena peraturan di sana umumnya masih longgar. Begitu juga peraturan terkait pematuhan hak asasi manusia. Lubang-lubang inilah yang disalahgunakan untuk menekan harga produksi semurah mungkin dan memperolah keuntungan sebesar-besarnya. Bahwa tragedi gas beracun di Bhopal mendapat perhatian besar 25 tahun setelah kejadian merupakan peringatan bagi perusahaan besar lainnya. Yang mengisyaratkan, selalu ada masyarakat sipil yang akan mengungkap segala intrik, agar perusahaan itu dapat dituntut pertanggangjawaban di negerinya.“

Perusahaan multinasional sering menyebutkan, bahwa investasi di negara berkembang juga membawa keuntungan bagi negara itu. Dengan terciptanya lapangan kerja, pendapatan rutin dan pelatihan bagi buruh yang merupakan kontribusi penting untuk mengurangi angka pengangguran serta dalam upaya pembarantasan kemiskinan. Hal itu, demikian menurut Nick Guroff, adalah argumen kuat. Namun, perjalanan menuju kemitraan yang sederajat antara perusahaan multinasional dan para buruh pabrik serta pemerintah di negara berkembang masih sangat jauh. Nick Guroff menambahkan, "tantangan yang sesungguhnya adalah, setiap perusahaan besar memiliki bagian yang mengurusi tanggung jawab sosial. Akan tetapi, arti yang sesungguhnya dari tanggung jawab sosial tergantung pada pandangan masing-masing. Dana yang dikucurkan perusahaan besar untuk pemasaran lebih banyak ketimbang untuk perubahan sosial. Soal mengenai seberapa jauh perusahaan besar dapat mengukuhkan citra sebagai ramah lingkungan, terkadang lebih penting daripada menyelesaikan masalah mendasar, yang tercipta oleh produk mereka.“

Guroff menandaskan, berani bertanggung-jawab juga berarti mengaku membuat kesalahan. Mempropagandakan hak asasi manusia bukan prioritas, akan tetapi sasaran paling atas adalah menyelamatkan hidup orang.

Priya Esselborn / Andriani Nangoy

Editor: Agus Setiawan