1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Palestina Siap Jegal Keputusan Trump di Majelis Umum PBB

19 Desember 2017

Amerika Serikat telah menggunakan hak veto terhadap rancangan resolusi Yerusalem dari PBB. Palestina tidak tinggal diam dan meminta dukungan Majelis Umum PBB untuk menjegal keputusan Trump soal Yerusalem.

https://p.dw.com/p/2pcuj
Jerusalem Blilck auf Klagemauer und Felsendom
Pemandangan Tembok Barat dan Kubah Batu di Kota Yerusalem, Israel.Foto: Getty Images/L. Mizrahi

Amerika Serikat memveto sebuah rancangan resolusi dari Dewan Keamanan PBB untuk menegaskan kembali status Yerusalem yang belum terselesaikan pada hari Senin (18/12), menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui kota tersebut sebagai Ibu Kota Israel. Sisa 14 anggota dewan lainnya mendukung resolusi buatan Mesir tersebut.

Rancangan tersebut sebenarnya hanya memerlukan sembilan suara dukungan dari 15 anggota dewan untuk disetujui, termasuk tidak ada veto dari anggota tetap: Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Rusia dan China.

"Apa yang kami saksikan hari ini di Dewan Keamanan (PBB) adalah sebuah penghinaan, tidak akan kami dilupakan," kata Duta Besar AS untuk PBB, Niki Haley. Ia menyatakan bahwa "sekali lagi PBB memberi bukti melakukan lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam menangani konflik Israel-Palestina."

USA New York Abstimmung Chemiewaffenuntersuchung in Syrien
Nikki Haley, Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB.Foto: Reuters/B. McDermid

"Kami melakukannya tanpa sukacita, juga kami melakukannya tanpa keengganan," katanya. "Fakta bahwa hak veto ini sedang dilakukan untuk membela kedaulatan Amerika dan untuk membela peran Amerika dalam proses perdamaian Timur Tengah bukanlah sumber rasa malu bagi kami, tetapi menjadi hal memalukan bagi Dewan Keamanan lainnya," kata Haley.

Sementara rancangan resolusi itu sendiri tidak secara langsung menyebutkan Trump atau Amerika Serikat, namun menyatakan penyesalan mendalam atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.

Rancangan resolusi yang diajukan oleh Mesir itu menyebutkan "setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah karakter, status, atau komposisi demografis Kota Suci Yerusalem tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku, dan harus dibatalkan."

Palestina meminta dukungan Majelis Umum PBB

Sudah diperkirakan Amerika Serikat akan memveto pemungutan suara. Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki, mengatakan Palestina akan mencari dukungan untuk tindakan tersebut di Majelis Umum PBB. Maliki mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sementara Haley menganggap "hak veto sebagai sumber kebanggaan dan kekuatan, kami akan menunjukkan kepadanya bahwa posisi mereka terisolasi dan ditolak secara internasional."

Kelima anggota tetap Dewan Keamanan memiliki hak veto, namun tidak pada Majelis Umum PBB.

Seperti yang diberitakan harian Arab Saudi, Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, mengatakan bahwa orang-orang Palestina dan Mesir telah bekerja sama dengan anggota Dewan Keamanan untuk menyusun rancangan resolusi tersebut dan memastikan akan mendapat banyak dukungan.

Akan tetapi setelah AS menggunakan hak veto terhadap rancangan resolusi tersebut, Palestina akan menggunakan Majelis Umum untuk menjegal putusan Trump. Resolusi yang digunakan adalah resolusi 377A yang disahkan pada tahun 1950. Resolusi soal "menyatukan perdamaian" ini sempat digunakan untuk mengijinkan pengerahan pasukan AS untuk berperang dalam perang Korea.

Mansour mengatakan bahwa Palestina juga pernah menggunakan resolusi "Menyatukan Perdamaian" pada tahun 1990-an setelah Israel mulai membangun pemukiman di Jabal Abut Ghnaim, puncak bukit di tanah Tepi Barat yang diduduki di selatan Yerusalem. Akan tetapi, di tengah jalan resolusi tersebut ditinggalkan. Kini, Palestina ingin memulai lagi sesi tersebut, yakni menggunakan resolusi 377A.

"Jika resolusi tersebut diveto, delegasi Palestina dapat mengirim surat ke Sekretaris Jenderal PBB dan memintanya untuk melanjutkan sesi darurat," kata Mansour.

Majelis Umum PBB berencana mengadakan sidang paripurna pada hari Selasa (19/12), termasuk berdiskusi mengenai hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.

 

yp/hp (AFP, Reuters)