1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serangan Berkala Terhadap Prabowo

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
14 Agustus 2018

Benarkah Prabowo memerintahkan penculikan pada Tim Mawar, atas petunjuk Soeharto? Apakah laporan kedubes AS ini hanyalah upaya menjegal langkah Prabowo di panggung politik? Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/32fAv
Aburizal Bakrie
Foto: picture-alliance/AP Photo/Tatan Syuflana/Detail

Pada akhir Juli lalu telah dirilis arsip-arsip terkait peristiwa menjelang jatuhnya rezim Soeharto. Arsip dimaksud adalah kumpulan telegram laporan berkala situasi politik, dari Kedutaan Besar AS di Jakarta, pada pihak Kementerian Luar Negeri AS. Jadi ada beragam isu yang dilaporkan, tentu yang utama adalah hari-hari krusial menjelang Mei 1998.

Salah satu bagian yang paling menarik perhatian adalah soal keterlibatan Prabowo dan Tim Mawar  (Grup 4 Kopassus) dalam aksi penculikan sejumlah aktivis, sebuah isu yang tak kunjung selesai dibahas sampai kini.

Membicarakan keterlibatan Prabowo menjadi semakin aktual, ketika Prabowo muncul sebagai penantang paling serius bagi Jokowi dalam Pilpres tahun depan.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Semoga bacaan saya tidak salah. Bila kita buka-buka arsip tersebut, terdapat frasa yang berbunyi: Prabowo  memerintahkan penculikan pada Tim Mawar, atas petunjuk Soeharto.

Bila bunyi kalimatnya seperti ini, rasanya tidak ada informasi yang lebih baru. Kalimat tersebut sama saja dengan pemahaman publik selama ini. Soal kemudian terjadi amnesia sejarah pada sebagian masyarakat, itu adalah fenomena yang biasa terjadi.

Biografi Sintong lebih telak

Adalah wajar bila kemudian muncul tafsir, dirilisnya arsip tersebut adalah bagian dari cara menghambat laju Prabowo.

Tafsir ini memang bisa dimentahkan dengan argumentasi, berdasar regulasi di AS arsip bisa dibuka ketika  melawati tenggat 2o tahun.

Berdasar regulasi tersebut, dirilisnya arsip tersebut bisa dianggap faktor kebetulan belaka.

Dengan demikian kita bisa melihat ada dua asumsi yang berjalan paralel. Pertama, arsip tersebut sebagai upaya menghambat laju Prabowo. Kedua, arsip tersebut memang sudah waktunya untuk dibuka berdasarkan regulasi yang ada.

Sudah tentu perhatian lebih berat pada asumsi pertama, mengingat asumsi kedua lebih berdasar pada regulasi negara lain, meskipun tetap saling terkait.

Bila kita ikuti logika asumsi pertama, berarti akan selalu ada pengulangan "serangan” terhadap figur Prabowo. Peristiwa ini mirip saat Pilpres 2009, ketika terbit biografi Letjen (Purn) Sintong Panjaitan (Akmil 1963), senior Prabowo di Korps Baret Merah.

Biografi itu terbit menjelang Pilpres 2009, saat Prabowo maju sebagai cawapres, mendampingi Megawati (sebagai capres). Dari segi substansi, biografi Sintong memiliki "daya rusak” yang lebih tinggi ketimbang arsip telegram Kedubes AS tersebut.

Bila arsip Kedubes masih menyebut dua pihak lain (selain Prabowo), yaitu Tim Mawar (Grup 4 Kopassus) dan Soeharto, dengan demikian beban bisa terbagi.

Sementara pada biografi Sintong, serangan lebih ditujukan pada Prabowo secara personal. Mengingat biografi ini ditulis mantan atasan Prabowo, publik jelas akan menilai bahwa informasi tersebut valid. Benar saja, walau bagaimana pun biografi ini turut memberi andil bagi kekalahan Prabowo (bersama Megawati) saat itu. 

Mungkin sudah menjadi takdir Prabowo untuk selalu menjadi pusat berita, bahkan sejak masik remaja dan taruna di Akmil.

Latar belakang keluarganya, khususnya dari pihak ayah,  tampaknya ikut berpengaruh pada pembawaan Prabowo yang berani menentang badai. Terpaan badai rasanya baru akan berakhir, bila Prabowo sudah benar-benar menarik diri dari panggung politik.

Keterbatasan negara

Masalah HAM selalu menjadi mimpi buruk bagi siapa pun yang berkuasa di negeri ini. Bagi para penguasa, isu HAM ibarat palang pintu kereta, yang hanya menghambat saat mobil melaju kencang.

Seperti yang dihadapi Jokowi sekarang, di saat sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur, buat apa pula mengurus masalah HAM, yang hanya menambah beban saja.

Kita jadi paham kini, mengapa sejak era Megawati dan SBY sebagai presiden, kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Prabowo tidak pernah diselesaikan.

Bahkan Megawati sempat mengajak Prabowo untuk maju bersama dalam Pilpres 2009, yang kemudian lajunya bisa dihentikan, salah satunya melalui penerbitan biografi Sintong.

Berdasarkan pengamatan selama ini, kemampuan  negara memang serba terbatas dalam isu HAM. Dan bila negara memang tidak mampu menyelesaikan masalah HAM, sebaiknya negara  menyatakan saja secara terbuka.

Ketidakpastian negara dalam penyelesaian masalah HAM, akan berpotensi menjadikan kasus HAM masa lalu sekadar komoditas politik instan untuk meraih kekuasaan.

Kasus yang bakal dijadikan komoditas, bukan sebatas terkait Prabowo, namun juga akan berlaku pada kasus yang lain. Seperti kejadian Rabu (1 Agustus) kemarin, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar memberikan penghargaan kepada sejumlah pembela HAM, seperti Cak Munir, Romo Mangun, Gunawan Wiradi, Mulyana W Kusumah, dan seterusnya.

Kontan saja penghargaan ini menjadi kontroversial, di tengah isu niat Muhaimin yang sangat berambisi menjadi cawapres (mendampingi Jokowi).

Keterbatasan negara dalam penyelesaian masalah HAM, tidak bisa dipisahkan dari aspek kelembagaan. Lembaga-lembaga negara yang menjadi pemangku kepentingan isu pelanggaran HAM pada dasarnya juga tidak mampu, dan (mungkin) memang tidak bersedia menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, seperti Kejaksaan Agung.

Sementara Komnas HAM lebih pada problem kapasitas dan dukungan politik. Kita sudah bosan mendengar perwira TNI atau Polri, yang diduga melanggar HAM, mangkir dari panggilan Komnasham.

Satu lagi bukti keterbatasan negara, adalah ketika Menkopolhukam Wiranto menginisiasi pembentukan tim terpadu penyelesaian kasus HAM berat masa lalu dengan cara non-yudisial, atau dalam istilah Wiranto, penyelesaian secara adat.

Alih-alih memberi solusi, inisiatif Wiranto justru membuat penyelesaian kasus HAM menjadi tidak jelas arahnya.

Serangan sudah dimulai

Kini Prabowo telah resmi maju sebagai capres, segala tindakan Prabowo di masa lalu terkait dugaan pelanggaran HAM, tentu akan menjadi materi “unggulan” kampanye pihak lawan. Berdasar perkiraan dari lembaga  survei mana pun, Jokowi selaku petahana bakal unggul atas Prabowo dalam kontestasi nanti, termasuk bila dugaan pelanggaran HAM itu bisa “diputihkan”.

Namun politik adalah seni, bagaimana menggerakkan sesuatu yang  tidak mungkin menjadi mungkin. Pada fase ini kita boleh menduga, Prabowo akan mengoptimalkan kompetensinya sebagai perwira tempur sejati. Dalam imajinasi Prabowo, serangan yang akan terjadi hari ini, sampai setidaknya delapan bulan ke depan, ibarat serangan seperti dirinya saat masih menjadi komandan pasukan tempur.

Dan serangan permulaan baru saja dimulai. Namun Prabowo tetap tenang saat menghadapi “serangan” dari Andi Arief, elite  Partai Demokrat, yang kebetulan adalah salah seorang korban penculikkan Tim Mawar Kopassus. Bagi Prabowo, sekeras apa pun statemen Andi Arief (AA), sama sekali tidak bermakna. Sebagai politisi, AA bukanlah lawan  setara bagi Prabowo.

Ujaran AA tidak berdampak signifikan pada figur Prabowo. Kharisma Prabowo tidak berkurang sejengkal pun di mata pendukungnya. Argumentasi ini berdasarkan kenyataan, posisi AA yang ambigu terhadap Prabowo. Sebagai salah seorang mantan korban penculikan, AA tidak pernah mempermasalahkan Prabowo. Artinya, dalam kasus ini posisi tawar AA demikian lemahnya.

Apa yang dilakukan AA terhadap Prabowo, adalah sesuatu yang alamiah.  AA memang harus melakukan itu (menista Prabowo), sebagai bagian dari cara AA membalas budi pada SBY. Mungkin memang seperti itulah fungsi politisi lapis kedua (second liner) dalam sebuah parpol, baik AA atau yang lain, yang secara sadar menyiapkan diri sebagai perisai bagi figur sentral di partainya (dalam hal ini SBY).  Asumsi ini juga akan berlaku bagi orang-orang seperti Fadli Zon atau Desmond Mahesa, bila ada pihak luar yang menyerang Prabowo.

Sebuah harian nasional terkemuka, memberikan apresiasi yang tinggi pada Prabowo, ketika mendeklarasikan dirinya untuk maju sebagai Capres, di Rumah Kartanegara (Kebayoran Baru, Jaksel), rumah yang bersejarah bagi keluar besar Soemitro Djojohadikoesomo (Pak Cum).

Pada titik ini kita bisa kenang kembali ketegaran Pak Cum, saat keluarganya diterpa badai kehidupan tiada henti, termasuk pada salah seorang anaknya (Prabowo) pada hari-hari berat tahun 1998. Dalam persepsi Pak Cum, semua yang pernah menimpa keluarganya, tak lebih hanyalah “serpihan”.

Aris Santoso adalah penulis sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.