1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sepak Bola dan Peradaban Kita

Andibachtiar Yusuf2 Juli 2013

Peradaban bisa tercermin dari Sepak Bola. Andibachtiar Yusuf, sutradara sekaligus komentator Sepak Bola, bicara tentang kegagalan orang Indonesia memahami dunia olahraga paling terkenal di planet itu.

https://p.dw.com/p/1901W
Foto: picture-alliance/dpa

“Supporter Sepak Bola di Turki juga sering berantem kok,” demikian komentar yang muncul berulang kali baik di media-media sosial atau saya dengar langsung. “Kekerasan masih sering terjadi kok antar supporter di banyak negara,” kalimat macam ini juga tak kalah sering saya dengar baik beruntun maupun tidak dengan komentar sebelumnya.

Saya jelas tidak merespon dengan kata-kata “Lalu jika mereka bunuh diri bersama, kita akan melakukan hal yang sama?” karena analogi ini bagi saya sama sekali tidak tepat. Apa yang dilakukan oleh para pencinta Sepak Bola di banyak negara sama sekali tak bisa disamakan dengan kita, atau lebih tepat lagi sama sekali tak layak kita jadikan pembenaran untuk melakukan hal yang sama.

Bukan karena mereka pernah ke Piala Dunia dan kita masih ada di level limbo (yang terendah dari sebuah mimpi) atau karena kita ini bangsa berbudaya timur. Tapi tentu karena ‘Sepak Bola adalah refleksi sebuah bangsa' dan itulah yang terjadi kini. Kekerasan yang terjadi saat bus Persib Bandung melintas menuju Stadion Bung Karno adalah refleksi dari apa yang terjadi di negeri ini. Kekerasan adalah bahasa yang biasa dan hukum adalah bahasa yang hanya tertulis diatas kertas.

Sepak Bola tidak diurus oleh para penggemar. Permainan ini sama seperti semua permainan olahraga lainnya adalah sesuatu yang diurus oleh para elit. Membina Sepak Bola, tinju, tenis, karate, hoki, basket, voli atau bahkan bola tangan adalah hal yang membutuhkan usaha yang sama kerasnya. Perlu keseriusan dan pembinaan berjenjang disertai kesadaran bahwa sukses tak akan bisa diraih dalam satu atau dua malam saja.

Tidak Dibangun Dalam Semalam

Investasi waktu dan ketekunan menjadi dua modal penting yang praktis tidak dimiliki oleh bangsa kita. Entah akibat terlalu sering membaca legenda Roro Jonggrang dan kisah Sangkuriang, atau mungkin bagi bangsa besar ini yang namanya proses hanyalah dongeng menjelang tidur dan sukses adalah doktrin yang harus terlaksana saat itu juga.

Kita mengagumi David Beckham, tapi seberapa banyak dari kita yang kagum pada kebiasaannya yang tak akan keluar dari lapangan latihan jika 7 tembakannya tidak benar-benar tepat sasaran. Apa ada dari kita yang kagum pada kebiasaan David untuk tidur tidak terlalu malam, tidak merokok, tidak makan daging berlebihan atau kebiasaannya untuk datang ke lapangan latihan 30 menit sebelum jam latihan.

Belum lagi kekaguman kita pada Sepak Bola Jerman atau Spanyol yang begitu menggelora beberapa tahun belakangan ini. Padahal, berapa banyak dari kita yang mau tahu bahwa investasi waktu para pemain ini dimulai sejak mereka masih berusia 5-7 tahun.....sangat dini. Jadi saat abege Indonesia mulai berpikir “Mau jadi pesepakbola ah!” abege di negara-negara beradab itu sudah di simpang jalan….menerima tawaran kontrak profesional atau berhenti saja dari Sepak Bola.

Jadi membandingkan rusuh supporter Fenerbahce dan Galatasaray atau AS Roma dengan Lazio dengan yang terjadi pada pendukung Arema-Persebaya dan Persija-Persib adalah bagai membandingkan musik yang dimainkan Metallica dengan rocker terhebat di Indonesia sekalipun.

Siapapun pelaku kekerasan di Turki jelas cepat masuk ke dalam sel saat itu juga. Tak ada yang namanya penyidikan di 5 hari setelah kejadian hanya karena alasan “Pelaku sulit diidentifikasi karena tidak memakai atribut sebuah tim,” Para Ultras di Roma juga tak bisa seenak udelnya melempari lawannya atau bahkan sekedar memegang lengan lawannya jika tak mau dibilang berprilaku agresif dan harus siap diangkut pihak keamanan.

Ini semua sama persis seperti Kirk Hammet si gitaris Metallica yang saat kanak-kanak mempelajari seni dasar musik dengan benar. Mempelajari Brahms, Strauss atau bahkan Paganini sebelum kemudian di saat dewasa mulai menggaruk gitarnya dengan gahar…..sementara umumnya musisi kita langsung menggaruk gahar tanpa kenal dengan baik nomer-nomer klasik.

Kita selalu mencoba memahami sesuatu dengan apa yang bisa kita lihat dari luar, seolah segala pengetahuan yang kita dapatkan dari buku atau browsing di internet itu membuat kita paham apa yang sebenarnya terjadi di dunia luar. Seolah Lionel Messi tiba-tiba saja sudah berusia 13 tahun, pindah ke Spanyol dan jago banget mengolah si kulit bundar.

Seandainya David Beckham cuma modal ganteng doang, tak akan lah dia bisa jadi kapten tim nasional Inggris selama beberapa tahun. Apalah artinya wajah ganteng di lapangan Sepak Bola tanpa kemampuan yang terus diasah sejak kanak-kanak hingga dewasa. Kedisiplinan mulai dari pola makan, gaya hidup sampai cara berpakaianlah yang membuat Beckham bisa menjadi ikon olahraga awal abad 21, bukan wajah gantengnya.

Sepak Bola adalah hal kecil yang terkoneksi langsung atau tak langsung dengan apapun dalam kehidupan. Jadi selama seorang tokoh masyarakat masih bisa seenaknya menyiram muka orang di sebuah acara televisi yang disiarkan langsung tanpa kemudian mendapatkan perlakuan hukum semestinya….susah rasanya mendapatkan prestasi Sepak Bola dengan benar. Lebih susah lagi jika kita terus berteriak betapa nakalnya para pendukung sebuah tim Sepakbola….karena yang nakal tak hanya mereka para kelas pekerja, tapi juga para elit yang rutin menghiasi media massa dan dimintai komentarnya.