1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Semua Pihak Berisikeras Pertahankan Pendapatnya dalam Masalah Perlindungan Iklim

14 Desember 2009

Pekan kedua KTT Iklim di Kopenhagen dimulai dengan skandal. Negara-negara berkembang bersama India dan Cina memutuskan untuk memblokir sementara jalannya perundingan pada hari Senin pagi (14/12).

https://p.dw.com/p/L2u8
Menteri Lingkungan Denmark Conie HedegaardFoto: picture-alliance / ra1/ZUMA Press

Dengan langkah pemblokiran ini, negara-negara G-77 dan Cina ingin memaksa negara-negara industri maju untuk menetapkan sasaran iklim yang lebih ambisius. Namun percekcokan tersebut dapat diselesaikan dalam pertemuan informal menteri lingkungan dari negara berkembang dan negara maju. Hari Senin sore (14/12), perundingan kembali dilanjutkan.

Memasuki pekan penentuan pada KTT Iklim di Kopenhagen, front perundingan antara negara kaya dan miskin semakin meruncing. Hari Senin (14/12), negara-negara berkembang bersama Cina dan India memblokir secara sepihak jalannya perundingan untuk memaksa negara industri maju agar menyepakati sasaran iklim yang lebih ambisius. Pun kesepakatan informal mengenai kelanjutan perundingan yang telah dicapai pada pertemuan menteri lingkungan yang digelar hari Minggu (13/12), tiba-tiba kembali dipertanyakan. Meski pada sore hari Senin (14/12) kedua pihak sepakat untuk melanjutkan perundingan, pembahasan dibatasi pada konsultasi informal menyangkut hal prosedural saja.

Pihak penyelenggara kini khawatir para delegasi tidak memiliki cukup waktu untuk mendekatkan posisi masing-masing. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown bahkan mewanti-wanti terhadap ancaman perpecahan di tubuh PBB menyangkut sasaran iklim.

Hal tersebut disesalkan oleh Menteri Lingkungan Denmark Connie Hedegaard yang memimpin jalannya pertemuan. Serupa diungkapkan oleh Menteri Lingkungan India Jairam Ramesh. Ia menyerukan perlunya kepercayaan yang tinggi antara para anggota delegasi.

Pasalnya perbedaan pendapat tidak hanya terjadi antara negara kaya dan miskin. Negara-negara berkembang pun saat ini sedang terpecah dalam dua kelompok. Sebagian mendesak agar masa berlaku Protokol Kyoto diperpanjang dan tidak berakhir tahun 2011 mendatang. Protokol Kyoto yang disepakati tahun 2007 antara lain berisikan sanksi bagi negara industri maju yang gagal menepati sasaran pengurangan emisi karbon. Lagipula kelompok tersebut khawatir akan kehilangan sejumlah pasal dalam protokol yang selama ini menguntungkan posisi mereka.

Masalahnya, hingga saat ini Protokol Kyoto merupakan kata tabu di parlemen Amerika Serikat, lantaran bekas Presiden Bill Clinton sempat memaksa untuk menandatanganinya tanpa persetujuan Parlemen. Amerika Serikat tetap menolak untuk meratifikasi kesepakatan tersebut.Uni Eropa dan sebagian negara berkembang mengkhawatirkan, sikap Amerika Serikat akan membatu jika PBB memperpanjang masa berlaku Protokol Kyoto. Hal ini juga menjadi dasar kritik sebagian LSM Lingkungan Hidup terhadap Amerika Serikat. Arndt Müller dari organisasi lingkungan Jerman BUND, misalnya menyebut, Presiden Barack Obama tidak boleh datang ke Kopenhagen dengan tangan hampa.

Sementara itu, Ketua Komisi Eropa Jose Manuel Barroso meminta Indonesia untuk mendorong pendekatan dua jalur agar negara-negara kaya dan miskin dapat mendekatkan posisi masing-masing. Hal tersebut disampaikannya pada pertemuan empat mata dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Brussel, Belgia. Menurutnya, jika bekerjasama, Indonesia dan Uni Eropa dapat menyumbangkan kontribusi positif bagi tercapainya kesepakatan baru di Kopenhagen. Uni Eropa dan Indonesia mencanangkan sasaran yang ambisius dalam mengurangi emisi gas karbon. Hingga tahun 2020 Uni Eropa bertekad memangkas emisi gas rumah kaca sebesar 20 persen, sementara Indonesia menyebut angka 26 persen.

RN/EK/dpa/rtr/afp