1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sekolah Orangutan di Bukit Tigapuluh

Elvidayanti/Vidi Legowo-Zipperer (hp)

Program reintroduksi atau sekolah orangutan, tempat di mana orangutan sitaan yang sudah terbiasa hidup dengan manusia belajar bagaimana cara bertahan hidup di alam liar.

https://p.dw.com/p/Q2Va
Indonesien Orang Utan Affe
Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP/Getty Images

Kondisi orangutan Sumatera memang semakin mengkhawatirkan, penyebabnya adalah perburuan dan penghancuran hutan sebagai tempat tinggal mereka. Sebagian orangutan dipelihara manusia sebagai binatang piaraan.

Zoologische Gesellschaft Frankfurt (FZS) memulai program reintroduksi orangutan di Sumatera. FZS, organisasi perlindungan alam yang berpusat di Frankfurt, Jerman, berkonsentrasi menangani satwa yang terancam punah. Langkah yang diambil FZS ini adalah hasil kerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi dan Pan Eco Foundation, organisasi perlindungan alam asal Swiss yang merehabilitasi orangutan Sumatera di kota Medan. Tahun 2007, reporter DW Indonesia Vidi Legowo-Zipperer mengunjungi sekolah orangutan itu. Inilah kisahnya.

Tempat Ideal bagi Orangutan

Perjalanan untuk bertemu orangutan Sumatera dimulai juga. Pukul 7.30 pagi, dari kantor Zoologische Gesellschaft Frankfurt atau FZS, yang bermarkas di kota Jambi. Peter F. Pratje, koordinator FZS untuk Sumatera, turut berada di dalam mobil yang melaju ke kabupaten Tebo. Di sana, mobil Kijang ini akan digantikan oleh mobil khusus jalur offroad milik FZS.

Teaser Orang Utan ohne Logo
Foto: Axel Warnstedt

Peter, yang sudah 10 tahun tinggal di Indonesia, dan sangat fasih berbahasa Indonesia, bercerita, mengapa FZS memilih Taman Nasional Bukit Tigapuluh sebagai tempat perlindungan terakhir bagi orangutan Sumatera. “Kalau mau reintroduksi orangutan harus cari tempat dimana orangutan sudah punah, tetapi macam hutan yang habitat aslinya ada Orangutannya. Jadi di Bukit Tigapuluh, kami tahu, sekitar 150 tahun yang lalu masih ada populasi orangutan.“

Reintroduksi adalah usaha menolong orangutan yang dulunya dipelihara manusia untuk pulang kembali menetap di hutan. Diperkirakan masih ada ratusan orangutan yang dipelihara manusia. Kini populasi orangutan Sumatera diperkirakan kurang dari 6000 ekor. Angka ini terus menurun setiap tahunnya.

Empat jam waktu yang diperlukan dari Jambi hingga ke Tebo. Dan menurut Pak Mulyono, supir FZS, lamanya waktu yang diperlukan hingga ke kamp FZS tidak bisa dipastikan. Ini tergantung cuaca dan kondisi jalan saat itu. Menurut Peter, jika jalur ini sulit dilewati kendaraan, berarti mereka memang telah menemukan lokasi reintroduksi yang sesuai.

Kandang Terpisah

Kesan pertama saat memasuki lahan kamp, mengingatkan pada tempat peristirahatan yang dipenuhi cottage-cottage kecil. Bedanya, ini berada di tengah hutan. Cottage yang berupa rumah panggung, disebut di sini sebagai mess - tempat menginap tamu dan para staf FZS yang sebagian besar direkrut dari Suku Talang Mamak, warga desa terdekat dari kamp FZS. Menurut Peter, mereka terus berupaya menjaga hubungan baik dengan masyarakat lokal.

Sungai kecil mengalir melintasi kamp FZS. Air sungai selain dialirkan ke kamar-kamar mandi di mess, juga digunakan sebagai air untuk masak dan minum. Sebuah jembatan kecil menghubungkan lahan kamp berisi mess dan dapur dengan wilayah sekolah orangutan. Sebuah jalan setapak yang dihiasi batuan kecil merupakan jalan menuju ke tempat-tempat yang berkaitan dengan orangutan.

Jalan utama setapak berakhir di Kandang Besar. Ada empat kandang disini. Tiga kandang hanya dihuni masing-masing satu orangutan besar. Ada Kombi, Handsome dan Roma. Sementara satu kandang yang berukuran lebih besar dihuni oleh Petra, Joko, Susilo, Bobo dan Masita, Orangutan yang paling dituakan di kandang itu.

Belajar untuk Hidup di Hutan

Pukul 8 pagi, program reintroduksi yang disini lebih dikenal dengan istilah sekolah orangutan sudah dimulai. Ada tiga kelas yang berbeda. Di kandang besar, orangutan belajar di dalam kandang mereka. Ada lagi kandang kecil, di mana orangutan dibawa keluar kandang untuk berlatih di dalam hutan. Sementara kelas yang terakhir adalah kelas pantau, di mana orangutan dilepas di hutan, namun dipantau oleh seorang staf yang mengikuti mereka dan mencatat kegiatan mereka setiap dua menit.

Manajer kamp yang bertugas, Julius dan staf FZS Damson, memulai kerja mereka di Kandang Besar. Mereka membagikan satu karung plastik kepada tiap-tiap orangutan. Menurut Julius, karung tersebut berisi berbagai jenis daun. “Jadi biasanya ada daun yang bisa dimakan ada yang tidak bisa dimakan, ada buah-buah. Jadi, dia coba cari di dalam tumpukan itu. Jadi, seperti sebuah permainan.“

Bunyi kentungan yang dipukul oleh staf FZS adalah pertanda waktunya makan bagi para murid sekolah orangutan. Julius datang dengan menenteng dua ember berwarna biru muda. Bunyi dan warna ember itu sangat diingat orangutan. Kali ini menunya adalah susu segar. Julius dan Damson menggunakan cangkir plastik untuk memberi minum satu persatu murid-muridnya.

Walau pun para orangutan ini dulu dipelihara manusia, hukum rimba ternyata masih berlaku disini. Siapa yang kuat, ialah yang paling berkuasa. Petra, yang paling kecil di kandang, menangis sambil berguling-guling di lantai besi karena jatah susunya selalu direbut Masita, orangutan yang paling tua disana. Selain susu, Julius dan Damson juga memberi sayur dan buah-buahan seperti terong, nenas dan timun. Biasanya yang diutamakan adalah buah-buahan yang ada di hutan.

Di tempat yang dinamakan Kandang Kecil terdapat dua kandang yang masing-masing berisi dua orangutan berukuran kecil, Marni dan Carolin, serta Ronaldinho dan Wintho. Ada lagi satu kandang yang dihuni Bimbim orangutan bertubuh besar. Setiap harinya, orangutan di sini bergantian belajar di sekolah orang utan.

Siap Kembali Hidup di Hutan

Selain menerima orangutan sitaan, FZS juga terkadang harus menerima kembali orangutan yang tadinya sudah dilepas ke alam liar lalu kembali lagi ke lokasi reintroduksi. Roma dan Bimbim misalnya, keduanya kembali ke lokasi reintroduksi karena mengganggu ladang penduduk lokal.

Auswilderungscamps für Orang Utans in Indonesien
Foto: picture alliance/dpa

Sekitar pukul 5 sore, staf FZS mulai membersihkan kandang. Pekerjaan mereka baru selesai jika para orangutan sudah tertidur di atas sarang hasil buatan mereka sendiri. Walaupun demikian, jam normal tidur para orangutan adalah sekitar pukul 6 sore. Jadi di saat kamp mulai gelap dan generator dinyalakan itulah, para staf yang memantau orangutan kembali ke kamp.

Tujuan dari sekolah orangutan ini adalah agar para orangutan siap jika dikembalikan ke habitat asli mereka. Jika ditanyakan, kapan mereka akan dilepas dari kandang? Jawaban yang diperoleh selalu ”saat musim buah”. Julius juga mengatakan hal yang sama. ”Sebelum musim buah kita takut melepas karena buah di hutan tidak ada. Jadi, kita melepas pada musim buah, mereka beradaptasinya juga tidak susah, mereka langsung mengenal buah hutan.”