1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sejuknya Tradisi Damai Sunni dan Syiah di Baghdad 

21 April 2020

Konflik Sunni dan Syiah yang berkecamuk di Irak sejak beratus tahun memudar di Rahmaniyah, Baghdad. Di sana, umat kedua aliran bahu-membahu merawat perdamaian.  

https://p.dw.com/p/3bDK2
Sederet poster di sebuah bangunan
Foto: DW

Abad-abad penuh perpecahan antara Sunni dan Syiah memadat di sebuah sudut ibu kota Irak, Baghdad, di mana muazin dari kedua aliran sahut-menyahut melantunkan lafal azan yang berbeda, meski terpaut hanya beberapa meter antara satu sama lain. 

Namun di sudut kecil Baghdad itu, perbedaan antara kedua aliran tidak menyurutkan niat umat saling menebar kebahagiaan. “Kaum Sunni datang pada hari-hari besar Syiah dan sebaliknya kami pun pergi ke masjid mereka. Tidak ada perbedaan di antara kami," kata Muntadhar usai menuntaskan azan di Masjid Abu Salawat. 

Karena dalam sejarah panjangnya, kedua aliran ini tak pernah surut alami perbedaan dan pertikaian.

Jika Azzawi yang rajin menyambangi Masjid Hajj Rashid Dargah, melantunkan azan lima kali dalam sehari, Muntadhar hanya bertugas tiga kali sehari, yakni subuh, dhuhur dan maghrib. 

Berbeda dengan lantunan sang muazin Sunni, Mullah Muntadhar menambahkan kalimat Hayya ‘alâ khair al-‘amal (mari berlomba menuju sebaik-baiknya amal) di penghujung azan, sesuai ketentuan Syiah. 

Di sebagian masjid Syiah, muazin juga melafalkan kalimat kesaksian tentang Ali bin Abu Thalib sebagai wali Tuhan di Bumi. Menantu Nabi Muhammad itu adalah figur sentral dalam ajaran Syiah. Dia dimakamkan 200 kilometer di selatan Baghdad, di kota suci Najaf

Dari Yazid hingga Saddam Hussein 

Negeri di antara Sungai Eufrat dan Tigris itu sejak awal menyaksikan jatuh bangunnya peradaban kuno, termasuk Babilon dan Sumeria, jauh sebelum Ali bin Abi Thalib memindahkan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Kufah. 

Di sana pula, di tanah Karbala, perpecahan Sunni dan Syiah melahirkan dendam sejarah, ketika Yazid putra Muawiyah membantai Hussein dan pengikutnya lebih dari 1.300 tahun yang lalu.   

Jauh sebelum Saddam Hussein dan rezim Sunni Irak berkuasa, negeri berpenduduk mayoritas Syiah itu sudah mencatat kekuasaan kekhalifahan Abbasiyyah yang bermadzhab Ahlussunnah, di mana Islam mencapai salah satu masa keemasan di bawah kekuasaan Harun al-Rashid. 

Saddam sendiri dilengserkan paksa oleh pendudukan Amerika Serikat pada 2003 silam. Peristiwa itu mengembalikan pemimpin Syiah ke panggung kekuasaan yang sekaligus mengawali gelombang baru institusionalisasi agama di Irak. 

Tradisi damai di Rahmaniyah 

Namun sejak 2005, perang sektarian antara kedua aliran melumpuhkan seluruh negeri dan menyisakan kota Baghdad dalam kehancuran. Sebagai buntutnya, warga Sunni dan Syiah berpindah tempat dan berujung hidup terkotak-kotak di antara saudara sealiran.   

Anggota milisi binaan ulama Syiah, Moqtada al-Sadr di Sadr City, Baghdad.
Kejatuhan Saddam Hussein ikut melahirkan fraksi-fraksi baru Sunni dan Syiah yang saling memerangi. Pada gambar terlihat anggota milisi binaan ulama Syiah, Moqtada al-Sadr di Sadr City, Baghdad.Foto: Wathiq Khuzaie /Getty Images

Tidak demikian halnya dengan kawasan Rahmaniyah, di mana warga Sunni dan Syiah masih hidup bertetangga. Di sana pula kedua muazin, Muntadhar dan Azzawi, mulai belajar melantunkan lafal azan. 

Muntadhar belajar di madrasah Syiah tersohor di Masjid Al-Kazimiyah dan mulai bekerja sebagai muazin pada 2007, sementara Azzawi yang belajar di madrasah lokal mengawali kariernya setahun kemudian. 

Keduanya masih berusia remaja ketika Baghdad dilanda gelombang kekerasan sektarian. Meski perang sudah berakhir, benih-benih perpecahan tidak pernah menghilang.  

Tapi di sejumlah kawasan seperti Rahmaniyah, kehidupan bersama menjadi tradisi yang dirawat masyarakat. Masjid Hajj Rashid Dargah yang dibangun pada 1957 misalnya, merepresentasikan tradisi panjang kebersamaan antara Sunni dan Syiah di utara Baghdad.

”Masjid ini adalah simbol sejarah buat warga lokal dan lambang koeksistensi damai. Adalah tanggung jawab kami untuk merawatnya," kata Azzawi. 

Berbagi nasib di tengah wabah 

Hussein al-Jubury yang menetap di Rahmaniyah sejak 1970-an mengungkapkan hal serupa. “Ketika kami masih muda, kami tidak tahu yang mana masjid Sunni atau Syiah. Apa yang penting bagi kami adalah para tetangga," kata dia. 

Di Baghdad, pertalian kedua aliran bisa berlangsung sejuk, terutama ketika menyangkut masjid-masjid kuno yang rapuh lantaran tidak terawat.  

Ketika sebuah masjid kaum Sunni yang dibangun di era Uthmaniyyah membutuhkan renovasi darurat beberapa tahun silam, adalah seorang pengusaha Syiah dari Kadhimiyya yang mengulurkan tangan memberi sumbangan. 

Kini di tengah wabah corona, perpecahan Sunni dan Syiah tidak lagi menggema di kehidupan sehari-hari. Karena terlepas dari lafal azan yang masih berbeda, warga kedua aliran kini membiasakan diri mendengar kalimat tambahan yang sama, yakni agar menunaikan salat di rumah demi “mencegah penularan virus.” 

Peringatan agar berdiam diri di rumah itu menjadi tugas tambahan para muazin di seluruh penjuru kota Baghdad, tidak peduli Sunni atau Syiah. 

rzn/as (afp,aljazeera)