1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pengamat: Ibu Kota Hijau Cerdas Masih Sulit Terwujud

31 Desember 2019

Desain ibu kota baru bertajuk ‘Nagara Rimba Nusa’ yang berkonsep green smart city akan dibangun di Kalimantan. Namun pengamat tata kota menilai konsep green smart city masih sulit diwujudkan. Apa masalahnya?

https://p.dw.com/p/3VX0N
Der indonesische Präsident Joko Widodo
Foto: AFP/Indonesian Presidential Palace

Pada Senin (23/12), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengumumkan konsep ‘’Nagara Rimba Nusa’’ karya Urban+ Associate Designer, sebagai pemenang sayembara Ibu Kota Negara (IKN) baru.

Desain dipilih karena mengusung konsep pembangunan yang ramah lingkungan dan berbasis smart city. Pendiri sekaligus arsitek Urban+, Sibarani Sofian berharap bangunan-bangunan yang akan dibuat nantinya berkonsep green building, berkinerja tinggi, mengurangi konsumsi energi dan mengurangi panas.

Meskipun begitu, ia tidak menampik akan ada beberapa kendala dalam mewujudkannya. Pertama, lokasi yang berada cukup jauh dari kota Balikpapan, yakni sekitar 30 hingga 40 kilometer.

‘’Kedua, kondisi temperatur yang tinggi. Ketiga, ada banyak ekosistem atau lingkungan yang sensitif. Jadi, kita harus hati-hati, tidak merambah daerah yang alami, yang terproteksi, atau jika ada spesies bekantan. Kita harus hati-hati dan benar-benar memilih lokasi yang aman,‘‘ ujar Sibarani, seperti dilansir Tempo.

Kesulitan lainnya adalah di daerah Kalimantan cuacanya panas dan lembab, sehingga membutuhkan upaya agar angin bisa menurunkan temperatur, yakni dengan angin yang datang dari sisi hutan dan kebun raya.

‘‘Kami membuat kebun raya yang sangat besar, hampir 500-600 hektar, berlokasi tepat di jantung ibu kota baru kita,‘‘ jelasnya.

Baca juga: Jokowi Ingin Buat Kembaran Silicon Valley di Ibu Kota Baru

Masih sulit terwujud, kendala perlu diselesaikan

Menanggapi hal ini, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menjelaskan bahwa konsep membangun green smart city untuk ibu kota baru masih sulit terwujud. Hal ini karena akan ada sejumlah kendala di lapangan. Salah satunya tentang bagaimana upaya konservasi hutan termasuk satwa liar yang masih banyak tinggal di dalamnya.

Nirwono berpendapat pemerintah dan semua pemangku kebijakan terkait harus segera menetapkan rencana tata ruang mengenai daerah-daerah mana saja yang boleh atau bisa dibangun.

‘’Berapa luas lahan maksimal yang akan dibangun dan di mana lokasi persisnya nanti yang boleh dibangun,’’ ujar Nirwono kepada DW Indonesia.

Belum lagi menurutnya tentang ancaman banjir dan bagaimana cara menghalau asap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan.

"Dari pantauan di lokasi, ibu kota baru akan tetap rawan banjir dan longsor karena kondisi yang berbukit-bukit. Jika pembangunan kota membabat hutan, tidak ada daerah penahan dan resapan air,‘" jelasnya.

Selain masalah konservasi hutan dan ancaman banjir, Nirwono memprediksi bahwa ancaman kemacetan di ibu kota baru akan tetap ada, jika transportasi kota masih mengandalkan kendaraan pribadi. Meskipun kendaraan yang diproyeksikan adalah yang bertenaga listrik.

Nirwono juga menyayangkan konsep green smart city berdampingan dengan pemanfaatan empat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang ada di Kalimantan.

‘‘Listrik yang dihasilkan dari batu bara jelas bertentangan dengan konsep green smart dan sustainable yang akan dibangun nanti, meskipun misalnya nanti menggunakan kendaraan listrik,‘‘ tambahnya.

Baca juga: Pengamat: Waspada Potensi Konflik Sosial Akibat Pemindahan Ibu Kota Negara

Tidak ada pabrik dan industri

Sebelumnya, saat melakukan kunjungan kerja ke lokasi ibu kota negara baru, Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan membangun klaster industri di kawasan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

"Tidak ada klaster industri, tidak ada pabrik, harus ditekankan," kata Jokowi di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (18/12/2019), seperti dilansir detikcom.

Meskipun hal itu selaras dengan konsep green smart city yang diusung sejak awal, namun Nirwono khawatir tidak adanya pabrik dan industri nantinya akan berpengaruh pada roda perekonomian.

‘‘Fungsi ekonomi harus dipikirkan lebih lanjut agar kota hidup, misalnya mengembangkan kota jasa Meetings, Incentives, Conferences and Exhibitions (MICE), bukan hanya kota pemerintahan saja,‘‘ terangnya.

Terkait potensi asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang bisa mengancam kehidupan di ibu kota baru, Nirwono berpendapat bahwa ancaman asap karhutla hanya dapat dihentikan jika ada tindakan dan sanksi tegas kepada para pelaku pembalakan liar dan pembakaran lahan. (pkp/na)