1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Perempuan di Balik Cadar

21 Maret 2018

Indonesia sejak zaman nusantara telah menghasilkan berbagai ulama/scholar perempuan. Sayang sejarahnya redup ditelan ulama-ulama laki-laki yang mendominasi. Berikut opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2uAoC
Indonesien Supermond Muslime Zeremonie Gebet
Foto: picture-alliance/Zuma/Gholib

Sejarah Islam masuk ke Nusantara (Indonesia sebagai negara-bangsa belum ada) diperkirakan sejak abad ke 7 hingga ke-11 melalui perdagangan dan perkawinan, dan pada abad ke-13 kelompok Islam memulai komunitas hingga diadopsi sebagai agama resmi kerajaan. Setelah menjadi komunitas dan menjadi agama resmi kerajaan pada kelompok sosial menengah-atas.

Agama, membentuk sebuah kelompok sosial baru melek huruf yang nantinya menjadi intelektual kerajaan. Dalam literasi, keterbatasan mengingat manusia yang terbatas menjadi tak lekang oleh waktu. Literasi menjadi lentera bagi kegelapan atas ketidaktahuan manusia dan agama adalah jalurnya.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Melalui literasi, Islam dan agama pada umumnya memberikan makna bagi manusia untuk mengisi dan tuntunan jalan kehidupan manusia. Tapi kemudian ketika hubungan manusia dan kitab suci dan cara membacanya tidak pernah dipertanyakan kembali, kita tersesat dalam tafsir agama yang beku.

Tafsir agama yang beku ini tidak beradaptasi dengan kehidupan manusia yang terus berubah dan menjadi semakin kompleks. Dengan ramainya gerakan pengakuan kesetaraan pada abad ke-20, pengakuan atas kelompok-kelompok sosial yang dahulu terpinggirkan: budak, perempuan, difabel, homoseksual diangkat. Ilmu sejarah berusaha menelusuri kembali bagaimana ilmu dan pengetahuan terbentuk dan mempertanyakan kembali peran ayat-ayat agama demi perjuangan kesetaraan.

Adalah ulama perempuan sebagai salah salah satu kelompok terpinggirkan yang mempertanyakan kembali apa sesungguhnya kitab suci katakan tentang mereka. Setelah bertualang lebih dari ratusan tahun, agama, khususnya Islam yang telah inheren dalam struktur masyarakat.

Neng Dara Affiah salah sebagai salah satu ulama perempuan yang mempertanyakan tentang keperempuanan dan bagaimana agama Islam di Indonesia mendefinisikan perempuan pada diskusi dalam dua peluncuran bukunya: Potret Muslim Progresif Indonesia dan Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas pada Januari tahun ini. Pengupasan secara komperhensif agama Islam oleh para pemeluknya menjadi hal yang penting untuk memecah kebekuan tafsir agama dan melanggengkan struktur yang menindas.

Baca juga:

Ulama Perempuan untuk Keadilan Gender dan Dunia Anti Kekerasan

Cirebon Tandai Kebangkitan Feminis Muslimah di Indonesia

The Second Sex

Ketika agama menjadi sebuah sistem holsitik yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, posisi perempuan menjadi dipertanyakan. Feminis eksistensialis mempertanyakan hal yang paling mendasar seperti siapakah perempuan dan mengapa kita/mereka dijadikan perempuan dan dengan cara apa? 

Seorang filsuf feminis Simone De Beavoir menulis buku berjudul Second Sex. Buku tersebut hingga hari ini menjadi kanon bagi para teoris feminis di seluruh dunia. Konsep second sex adalah perempuan sebagai manusia kelas dua dalam struktur masyarakat yang telah ada, hari ini.

Manusia perempuan tidak pernah dianggap seutuhnya manusia, karena ia selalu harus meletakan atribusi perempuan dalam mendeskripsikan dirinya. Perempuan adalah bentukan sosial, politikal dan kultural melalui serangkaian mitos yang dijadikan pedoman untuk melanggengkan struktur perempuan sebagai manusia kelas dua.

Perempuan dalam ranah agama adalah contoh paling nyata dari ketidakadilan sosial. Bukti nyata pemosisian perempuan sebagai manusia kelas dua dimulai oleh hijab, yang berarti selembar kain pemisah. Ada dua lokasi kita bisa temukan hijab berada. Pertama di masjid untuk pembagian shaf solat dan kedua yang ada di tubuh perempuan. Bukan tubuh lelaki. Pakaian adalah pemisah yang sebenar-benarnya.

Pakaian, yang berfungsi sebagai pelindung tubuh dan penanda kelas sosial (sekaligus strukturnya) menandakan sekaligus memisahkan peran gender. Ramainya perdebatan soal cadar pelarangannya dengan alasan radikalisme dan argumentasi para feminis yang membela cadar atas nama kebebasan berekspresi. Ada yang lompat dalam analisis para feminis pembela hak-hak tubuh hari ini adalah, mempertanyakan kembali keperempuanan dan identitasnya sebagai perempuan. Apakah berekspresi tersebut berdasarkan kesadaran atas pemahamannya sebagai perempuan?

Dengan perempuan bercadar, maka ia tidak hanya mendefinisikan dirinya perempuan sebagaimana dipahami dan diajarkan oleh lelaki pembuat agama, ia juga mengeksklusi dirinya dari gender lain khususnya laki-laki. Akibat dari pengeksklusian ini adalah: tidak terbukanya dialog antar ide dan pembatasan ruang gerak perempuan.

Setelah dari pakaian, hijab juga menjadi pemisah interaksi gender berdasarkan Islam. Perempuan dan lelaki diberikan ruang gerak dan alam pikiran yang memang sengaja untuk dibeda-bedakan. Pemisahan ruang di mulai dari tempat salat, berwudhu hingga ruang publik seperti organisasi dan pengajian. Terlihat juga dalam organisasi-organisasi Islam.

NU sebagai organisasi massa Islam yang dianggap paling progresif sebagai contohnya. Tidak pernah ada ketua NU perempuan karena perempuan-perempuan NU, apabila memiliki potensi dan energi untuk aktif dalam organisasi akan disalurkan ke Fatayat, sehingga tidak perlu masuk ke dalam organisasi NU secara struktural maupun kultural.

Pemisahan ruang gerak selain membuat tidak adanya diskusi lintas gender, juga melanggengkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Lihat saja bagaimana laki-laki bisa berceramah di depan perempuan tetapi perempuan tidak bisa berceramah di depan laki-laki. Baik ceramah yang merupakan bagian dari rukun salat seperti ceramah solat Ied ataupun pengajian ibu-ibu yang lumrah mengundang ustad lelaki tetapi tidak bisa berlaku sebaliknya. Untuk itu, suara dan permasalahan perempuan tidak pernah sampai ke dalam pembicaraan laki-laki.

Dimulai dari pakaian, kemudian ruang gerak dan setelahnya suara. Perempuan terus dibentuk jadi perempuan, manusia nomor dua dan dieksklusi dari kehidupan pada umumnya dan itu dimulai dari pakaian. Pembatasan pakaian tidak terjadi pada lelaki karena lelaki tidak perlu mendefinisikan dirinya sebagai lelaki atau memperkenalkan diri sebagai lelaki, dunia sudah patuh padanya, mitos dan pengetahuan berpihak padanya. Dan melalui kekuasaannya, ia mengatur tubuh perempuan yang selalu taken for granted pada keperempuannya.

Nasib Ulama Perempuan

Untuk itu, pemaknaan kembali perempuan dan 'embel-embel' setelahnya menjadi penting. Apakah ia perempuan Muslim, perempuan adat, perempuan kelas menengah, perempuan Tionghoa atau perempuan buruh menjadi penting. Karena di manapun perempuan itu berada, ia harus mampu menganalisa struktur di sekelilingnya. Maka ia akan sadari kekerasan dan keterbatasan melekat padanya sebagai manusia kelas dua.

Seperti itulah nasib ulama perempuan di Indonesia dan dunia internasional pada umumnya. Walau gaung-gaung kesetaraan gender dalam agama nyaring disuarakan oleh banyak ulama perempuan. Indonesia sejak zaman nusantara telah menghasilkan berbagai ulama/scholar perempuan. Sayang sejarahnya redup ditelan ulama-ulama laki-laki yang mendominasi. Walau sudah ada konferensi ulama perempuan pada April tahun 2016 lalu yang mendiskusikan soal-soal sejarah, peran, tantangan, strategi dakwah, dan metode studi Islam dari prespektif perempuan. Suaranya redup saja digerus perdebatan soal cadar dan hak ‘perempuan' untuk mengenakannya.

Sayangnya, akibat pemisahan tubuh, ruang dan suara yang menjadi budaya ini, perempuan dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif untuk perempuan saja. Seperti kisah putri duyung dari Hans Christian Anderson, ulama perempuan adalah putri duung yang masuk ke dunia manusia dan mencoba berbicara tapi tidak bisa. Bukan karena putri duyung itu bisu, tetapi karena tidak ada yang mau mendengarnya.

 

Penulis: Nadya Karima Melati (ap/vlz)

Essais dan pengamat masalah sosial.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis