1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

SBY dalam Konferensi Iklim: Kini Bukan Saatnya Dogma dan Konfrontasi

17 Desember 2009

Pada pertemuan tingkat tinggi Konferensi Iklim Internasional yang berlangsung di Kopenhagen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendesak negara maju dan berkembang untuk mencapai kesepakatan mengikat.

https://p.dw.com/p/L6Zz
Susilo Bambang YudhoyonoFoto: AP

Kita berhimpun disini tidak untuk mendapati kegagalan. Sebab terdapat milyaran jiwa di dunia menaruh harap. Kita hadir disini untuk melaksanakan sebuah tugas: mengantarkan kesepakatan politik pada kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum pada tahun 2010, demikian kalimat pembuka yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di ibukota Denmark, Kopenhagen. Untuk mewujudkan target itu terdapat lima pokok penting yang digarisbawahi. Pertama, semua pihak berkomitmen memenuhi target utama membatasi pemanasan global agar tidak melebihi dua derajad celsius, berdasarkan tanggung jawab masing-masing negara dan kemampuan yang dimiliki.

Kedua, Indonesia meminta negara maju memenuhi kewajiban sejarah mereka dalam memperlambat pemanasan global: „Negara-negara maju harus memimpin sebagaimana yang diharapkan dari mereka dan menyampaikan target ambisius. Indonesia percaya komitmen itu harus mencapai reduksi emisi sekitar 40 persen, sebagaimana yang diminta IPCC. Semua negara industri harus berada dalam tatanan ini. Ini merupakan beban dan tanggung jawab yang tidak dapat dialihkan atau ditunda.“

SBY selanjutnya mengatakan mitigasi dan adaptasi tak dapat dilepaskan dari masalah pendanaan. Idealnya mencapai 25 hingga 35 milyar dollar AS per tahun sampai 2012. Menurut SBY, negara maju memiliki kemampuan untuk ini. Yang dipertanyakan kini hanyalah kemauan politik, sebab milyaran dollar yang dibutuhkan ini hanyalah setetes dana bila dibndingkan dengan kerugian sebesar 6 trilyun dollar AS akibat krisis finansial.

Langkah mitigasi yang dilakukan dilakukan negara maju saja tidaklah cukup. Negara berkembangjuga harus berbuat lebih, dan mengembangkan energi ramah lingkungan agar tidak mengulangi kesalahan negara-negara maju. Selanjutnya, diperlukan sistem pengawasan untuk memonitor dana bantuan yang digulirkan: „Negara berkembang memang perlu khawatir atas pembangunan negara mereka dan upaya dalam melepaskan diri dari kemiskinan sementara anggaran mereka begitu minim dihajar oleh krisis keuangan. Namun tidak ada alasan menghindari transparansi.“

Di akhir pidatonya SBY mengimbau bahwa saat ini bukan waktunya lagi bagi dogma-dogma dan konfrontasi. Ini waktunya mencari solusi dan konsensus.

Fitrian Ardiansyah dari LSM WWF yang mengikuti pembacaan pidato di Bella Center berharap pidato SBY dicantumkan dalam negosiasi yang ada, sehingga dapat diimplementasikan : „Tantangan berikutnya apakah ini sudah merefleksikaan keadaan di lapagan terutama di Indonesia. Bila kita sudah bersedia melakukan transparansi itu, tentunya seharusnya sudah dipersiapkan infrastruktur untuk itu di Indonesia. Terutama di sektor-sektor terkait“

Sementara itu aksi protes terus berlangsung. Greenpeace diantaranya mendesak agar negara-negara industri lebih bertanggungjawab dengan mengucurkan dana lebih besar untuk mengurangi laju pemanasan global. Yuyun Indradi dari Greenpeace menuturkan meski pengamanan lebih diperketat, para demonstran masih akan terus mengadakan unjuk rasa: „Ada beberapa konsentrasi aktivis dan masing-masing mempunyai kepentingan masing-masing, dari buruh, petani, masyarakat adat, aktivis lingkungan mereka punya center-center. Mereka akan terus melakukan aksi.“

Selain menyampaikan tuntutan, para demonstran juga beraksi untuk menuntut pembebasan para aktivis-aktivis yang saat ini masih ditahan.

Ayu Purwaningsih

Editor: Hendra Pasuhuk