1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Satu dari Enam PRT di Hongkong Korban Kerja Paksa

15 Maret 2016

Satu dari enam pekerja rumah tangga migran di Hong Kong adalah korban kondisi kerja paksa. Banyak yang menjadi korban perdagangan manusia, kata Justice Centre dalam laporan terbarunya.

https://p.dw.com/p/1IDHh
China Hongkong Prozess 6 Jahre Haft wegen Misshandlung einer Putzfrau Demonstration
Foto: Reuters/Tyrone Siu

Hasil survey organisasi hak asasi Justice Centre di Hong Kong menunjukkan lebih 80 persen dari 336.600 pekerja rumah tangga (PRT) di wilayah itu dieksploitasi. Sebagian PRT harus bekerja 20 jam sehari.

"Hong Kong harus berbenah; pemerintah tidak bisa lagi hanya menyembunyikan masalah ini di bawah karpet," tulis Justice Centre dalam laporan terbarunya.

Perlakuan yang dihadapi para pembantu rumah tangga di Hongkong sempat menjadi berita utama internasional tahun lalu, ketika seorang ibu Hong Kong dijatuhi hukuman enam tahun penjara karena berulang kali melecehkan dan menyerang pembantunya.

Pasangan lain dipenjara tahun 2013 karena menyiksa pembantu mereka. Mereka antara lain mengikat pembantunya di kursi, ketika mereka pergi berlibut.

China Hongkong Prozess 6 Jahre Haft wegen Misshandlung einer Putzfrau
Law Wan-tung, majikan yang melakukan penyiksaan dan ditahan otoritas Hongkong, Februari 2015Foto: Reuters/Tyrone Siu

Justice Centre menyebutkan, pemerintah Hong Kong sering memperlakukan kasus seperti inis ebagai insiden terisolasi. Namun para aktivis HAM yakin, eksploitasi PRT terjadi secara luas.

Sepertiga dari rumah tangga yang punya anak di Hong Kong mempekerjakan pembantu rumah tangga. Mayoritas PRT berasal dari Filipina dan Indonesia.

Studi terbaru Justice Centre antara lain menemukan bahwa para PRT rata-rata bekerja lebih dari 70 jam seminggu, dan hanya sebagian kecil menerima gaji di atas upah minimum bulanan, yaitu sekitar HK $ 4.210 (US$ 543).

Studi ini meneliti lebih dari 1.000 pekerja rumah tangga yang berasal dari delapan negara.Yang disoroti adalah tentang perekrutan, pembayaran upah, kondisi kerja mereka dan kesehatan.

Hongkong Gericht Erwiana Sulistyaningsih
Erwiana Sulistyaningsih, PRT asal Indonesia yang disiksa majikannya di Hongkong, 2015.Foto: Reuters/B. Yip

Laporan yang berjudul "Comign Clean itu menyebutkan, lebih dari 50.000 pekerja rumah tangga migran diperkirakan bekerja dalam kondisi 'kerja paksa', di antaranya 14 persen mungkin jadi korban perdagangan manusia.

Para penyusun laporan mengatakan, bertentangan dengan apa yang dipikirkan banyak orang, kondisi kerja paksa dan praktek perdagangan manusia "tidak selalu berlangsung dengan tangan terbelnggu ".

Contohnya kasus Indah, seorang PRT asal Indonesia, yang direkrut lewat jalur resmi dan menerima pembayaran upah minimum. Tapi dia tetap bekerja dalam kondisi 'kerja paksa'.

China Hongkong Prozess 6 Jahre Haft wegen Misshandlung einer Putzfrau Demonstration
Kasus Erwiana Sulistyaningsih di Hongkong sempat menyulut protes dan jadi sorotan media internasional. Majikannya kemudian dijatuhi hukuman 6 tahun penjaraFoto: Reuters/Tyrone Siu

Indah harus bekerja 20 jam sehari. Majikannya sering membangunkan dia pada malam hari untuk bekerja. Mereka juga memaksa dia bekerja untuk orang lain dan pada hari liburnya. Majikan juga menyimpan paspor Indah.

Pekerja rumah tangga migran sangat rentan terhadap kerja paksa karena sifat pekerjaan mereka tidak punya batas jelas antara waktu kerja dan waktu luang. Mereka juga hidup terisolasi dari dunia luar, tulis laporan itu.

Justice Centre mendesak pemerintah Hong Kong untuk membuat aturan yang jelas tentang jam kerja. Para aktivis juga mengeritik persyaratan bahwa PRT harus tinggal bersama majikannya. Situasi ini jsutru meningkatkan risiko eksploitasi.

Justice Centre juga menuntut agar aturan yang mewajibkan buruh migran untuk segera meninggalkan Hong Kong dua minggu setelah kontrak mereka berakhir harus dihapuskan. Karena aturan ini membuat kebanyakan PRT takut melaporkan penyalahgunaan, sebab itu berarti mereka harus segera kembali ke negara asalnya.

Justice Centre juga menyerukan tindakan tegas dan sanksi lebih berat atas agen-agen pengirim tenaga kerja, yang memasang harga terlalu tinggi kepada pekerja migran yang dikirim ke luar negeri, sehingga banyak pekerja migran yang sering terlilit utang besar.

hp/rn (rtr, afp)