1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Salafisme dan Jihad Adalah Ideologi Cepat Saji"

Matthias von Hein/rzn/as7 Januari 2016

Kemunculan sosok jihadi John jilid dua menghantui Inggris. Serupa dengan yang lain, Siddharta Dhar dibesarkan dengan nilai Eropa, tapi mengobarkan jihad atas nama agama. Apa yang menggerakkan mereka untuk berjihad?

https://p.dw.com/p/1HZe7
Tätowierung Jihad Dschihad CLOSE
Pengikut Salafisme yang berdemonstrasi di Berlin dengan tato "Jihad"Foto: picture-alliance/dpa/M. Lejeune

Cuma beberapa bulan setelah kematian jagal Islamic State asal Inggris, Jihadi John, negeri kepulauan itu kembali dihantui kemunculan sosok serupa. Siddharta Dhar yang telah melarikan diri ke Suriah kini menjadi buronan nomer wahid pemerintah di London.

Dhar dilahirkan beragama Hindu. Setelah menikahi seorang perempuan muslim, pria berdarah India itu masuk Islam dan menjadi radikal dalam waktu cepat. Ia menutup usahanya dan bergabung dengan kelompok ekstremis.

Pria yang lalu menamakan diri Abu Rumaysah bahkan mewakili kelompoknya ketika diundang wawancara oleh stasiun televisi BBC. Kendati relatif terkenal, pria berusia 32 tahun itu mampu lolos dari cengkraman aparat keamanan dan kabur ke Suriah.

Bersama pakar terorisme, Olivier Roy, Deutsche Welle membahas pesona kematian yang menyirap kaum muda muslim di Eropa. Berikut kutipannya:

DW: Ada banyak gerilayawan IS yang dibesarkan di lingkup budaya Eropa. Apa yang mendorong mereka menjadi radikal dan lalu mengobarkan jihad?

Olivier Roy: Mereka punya rasa frustasi terhadap masyarakatnya. Dalam hal ini kita berhadapan dengan remaja yang sedang aktif memberontak dan mencari identitas baru. Terkadang jihad menjadi pilihan yang sempurna. Anda berjihad, lalu dianggap sebagai pahlawan. Anda masuk dalam halaman muka surat kabar. Semua orang membicarakan anda. Bahwa masyarakat membenci anda, anda tidak peduli karena anda juga membenci mereka.

Jihad telah berjejak dalam budaya pemberontakan kaum muda muslim Eropa. Sesuatu yang 30 tahun lalu diisi oleh kaum kiri revolusioner. Tapi buat kaum muda ini, ideologi kiri terlalu intelektual. Mereka ingin yang lebih gamblang dan ingin berperang.

Apakah ada kelompok masyarakat yang berpotensi besar menjadi jihadis?

Kaum muslim Perancis misalnya merupakan generasi kedua dari para pendatang. Mereka lahir dan dibesarkan di barat. Tapi orangtuanya berasal dari negara muslim. Mereka ini yang punya masalah besar dengan transmisi budaya dan tradisi.

Olivier Roy
Pakar terorisme asal Perancis, Olivier RoyFoto: cc-by-sa-nc-Internaz

Sebab itu mereka harus memulai pencarian identitas dari awal. Dan di dalam ideologi salafisme mereka menemukan faham yang sederhana. Salafisme hidup dari norma halal dan haram, serta batas jelas antara kaum muslim dan kaum kafir, yang baik dan yang jahat. Buat mereka Salafisme menjadi ideologi cepat saji yang tinggal dipakai. Ini memberikan mereka perasaan, seakan termasuk kelompok elit yang menyelamatkan dunia.

Tapi bagaimana menjelaskan kesediaan mereka untuk berperang dan membunuh - atau bahkan mengorbankan diri sendiri?

Radikalisme agama tidak secara otomatis menggiring pemeluknya ke arah jihad. Cuma minoritas kecil yang melakukannya. Mereka terpesona oleh kekerasan dan kematian. Ada dimensi nihilistik dan kesyahidan di dalamnya. Di Eropa mereka tidak benar-benar berusaha kabur setelah melakukan tindak terorisme. Kebanyakan mati di lokasi kejadian. Kalau mereka pergi ke Suriah, mereka secara sukarela meminta dijadikan pelaku bom bunuh diri. Atau mereka rela dijadikan pagar manusia oleh Islamic State. Orang-orang ini tentunya mengimani budaya kematian.