1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

RUU Cipta Kerja, Momen Ambyar Demokrasi

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
6 Juni 2020

Sulit memahami logika demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini. Dan mudah mengatakan kita hidup di era Orba berbulu domba. Contohnya dalam hal RUU Cipta Kerja. Ikuti opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/3ciY7
Sulitnya mencari pekerjaan di tanah air
Pekerja asal Indonsia di TaiwanFoto: picture-alliance/dpa/D. Chang

Beberapa bulan silam, pemerintah mengajukan draf Rancangan Undang-Undang yang akan merombak serenteng Undang-Undang yang sudah ada. Memiliki ketebalan yang menjadikannya cocok buat ganjal gerbang, RUU ini dinamai sebagai RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. 

RUU ini muncul ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak gusar-gusarnya dengan prospek resesi. Pemerintah, dalam rasionalisasi yang terus diulang di sana-sini, ingin memastikan investasi tetap mengucur ke Indonesia dan alih-alih terjegal resesi, peluang kerja makin terbuka lebar. Singkat cerita, RUU ini diajukan. Lewat RUU ini, peraturan-peraturan yang dianggap menjadikan Indonesia tak menarik investasi direvisi dan berbagai bisnis disodorkan memiliki kemudahan serta insentif. 

Namun, ada alasan mengapa RUU ini lantas menyandang nama RUU Cilaka. Di benak perumusnya, perlindungan hak buruh dan lingkungan seakan dengan sendirinya adalah rintangan bagi investasi. Mereka dicukur habis-habisan. Sekadar beberapa di antaranya, hak cuti haid dihilangkan, hari libur dipangkas cuma sehari, Upah Minimum Kota/Kabupaten dihapus, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) tak diperlukan.

@gegerriy Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Proses Pembahasan

Dan hal yang mengenaskan dari RUU yang akan mengatur (mencekik mungkin lebih tepat) hak-hak buruh ini ialah ia tidak melibatkan perwakilan pekerja dalam penyusunannya. Ada 127 anggota satuan tugas RUU ini yang menginventarisasi permasalahan dan memberi masukan. Enam belas anggota dari pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, 22 anggota ketua asosiasi bisnis. Ia dikepalai oleh Ketua Umum Kadin dan diinisiasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Buruh hanya diundang untuk menghadiri sosialisasi tanpa hak untuk bersuara atau mempengaruhi proses. Ketika ketidakpuasan diartikulasikan melalui unjuk rasa di mana-mana, Jokowi menginstruksikan BIN dan Polri untuk melakukan pendekatan dengan ormas penolaknya. Jokowi mengatakan hal ini dengan enteng seakan aparat di Indonesia terkenal sangat ramah, pengertian, antikekerasan (bocoran: mereka tidak ramah, pengertian, maupun antikekerasan).

Sulit untuk membayangkan proses ini sebagai demokrasi. Namun, hal ini wajar saja ketika pemerintahan dan DPR secara konstan diisi oleh konglomerat atau “sahabat-sahabat” konglomerat. Di akhir periode pertamanya pun pemerintah bersama DPR memamerkan belangnya tanpa ragu. Sejumlah UU yang berpihak pada kepentingan bisnis dikebut dan digolkan dalam waktu singkat. RKUHP, yang bakal memenjara pengkritik penguasa, nyaris tembus. 

Kini, pemerintah dan DPR mencuri kesempatan dengan memanfaatkan pandemi yang menghalangi buruh maupun warga sipil lainnya untuk melakukan unjuk rasa. Pembahasan Omnibus Law terus berlangsung. Baru saja, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara disahkan. Isi pasal-pasalnya mengerikan. Segelintir taipan bisnis-bisnis batu bara besar diberikan kemudahan tak terperi untuk melanggengkan usahanya dengan ini. Siapa yang tidak cemas Omnibus Law juga akan secepatnya disahkan?

Demokrasi Ambyar

Demokrasi di Indonesia tak pernah ditunaikan dengan sempurna. Demokrasi, toh, kata beberapa orang yang lebih kritis, akan selalu diretas melalui lobi-lobi, transaksi politik, atau bahkan korupsi. Ia akan tampil sebagai pemanis sebuah rezim tapi proses pemerintahan nyatanya selalu ditentukan oleh mereka yang segelintir. Sayangnya, selagi saya mau mengamini kata-kata barusan, Jokowi, pemerintahannya beserta partai-partai membuktikan bahwa demokrasi dapat terpuruk lebih buruk.

Pemangku kepentingan terbanyak dihalangi partisipasi dalam penyusunan RUU yang sangat urgen. Penyusunannya hanya melibatkan kalangan yang sedari awal dekat dengan pemerintah dan DPR. Artikulasi aspirasi warga, lantas, ditekan. Dapatkah ditampik bahwa kita saat ini tengah melangkah mundur ke era di mana demokrasi tak lebih dari aspirasi? Di mana negara mewanti-wanti bahwa kita berdemokrasi hanya saja demokrasi kita ala Indonesia?

Jokowi mengatakan ia tak memiliki beban lagi di periode kedua kepemimpinannya ini. Kata-katanya ternyata lebih serius dari yang saya duga. Ia tak memiliki beban untuk membuat demokrasi kita ambyar.

 

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.