1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rusia Bela Keputusan Pengadilan dalam Kasus Khodorkovsky

29 Desember 2010

Perhatian sejumlah media cetak internasional masih tertuju pada proses pengadilan terhadap pemilik perusahaan minyak Rusia ‚Yukos’ Mikhail Khodorkovsky dan mitranya Platon Lebedev.

https://p.dw.com/p/zrFB
Hakim Viktor Danilkin membacakan keputusan pengadilan yang menyatakan Khodorkovsky dan mitranya bersalahFoto: Michail Chodorkowski Urteilsverkündung

Harian Jerman Frankfurter Allgeime menulis:

„Pelaksanaan proses pengadilan terhadap kedua terdakwa itu tidak ada kaitannya dengan negara hukum. Proses tersebut bermotivasi politik dan didasari pembalasan dendam kepada Khodorkovsky yang berani mendukung kelompok oposisi menentang Putin. Kritikan yang dilontarkan pemerintah Amerika Serikat dan Jerman mengena dengan tepat pada sasarannya dan sama sekali tidak berlebihan. Seharusnya jajaran pimpinan pemerintah Rusia menjadikan upaya memodernisasi negaranya sebagai tugas utama. Termasuk juga upaya penegakkan hukum. Bagi negara barat kejadian ini tentu juga ada hikmahnya. Rusia yang berlagak sebagai mitra negara barat sesungguhnya masih dipimpin oleh sebuah pemerintahan rezim.“

Sementara harian Spanyol yang terbit di Barcelona El Periόdico de Catalunya berkomentar:

„Dengan ditetapkan keputusan bersalah terhadap pengritik Kremlin Mikhail Khodorkovsky terbukti, Rusia tidak dapat disebutkan sebagai negara hukum. Taipan minyak itu tentu bukan orang yang suci. Kalangan apapun yang mengambil alih sumber ekonomi penting bekas pemerintahan Uni Soviet tidak ada yang bersih. Seharusnya semua jutawan-jutawan itu yang menambah kekayaannya dengan menyalahgunakan kedekatannya pada partai, diseret ke meja hijau. Tetapi, Khodorkovsky berani mendukung kubu oposisi. Dan siapapun yang berani menentang pemimpin rezim otoriter Putin, harus membayar mahal. Putin bahkan sudah mengeluarkan vonis terhadap bekas raja minyak itu di sebuah wawancara televisi tidak lama sebelum pengadilan memutuskan Khodorkovsky bersalah.“

Tema lain yang juga masih menjadi sorotan media internasional adalah situasi di Pantai Gading. Harian Austria yang terbit di Wina Standard menuduh Perancis memiliki kepentingan khusus dalam konflik di Pantai Gading. Harian itu menulis:

„Kejengkelan yang dirasakan oleh dua pemerintah adidaya Amerika Serikat dan Perancis nampaknya, sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan secara diplomatis dengan seksama. Bertahun-tahun Laurent Gbagbo menginjak-injak sistem demokrasi di negaranya. Dengan melontarkan pernyataan bernada rasis ia hendak memecah belah persatuan di negaranya, yang kini terancam perang saudara. Sejak dulu kehadiran militer Perancis di Pantai Gading dimaksudkan untuk menjaga pembagian lahan pertanian di negara itu. Khususnya di selatan yang merupakan kawasan perkebunan kopi dan coklat, yang hampir seluruhnya diawasi oleh sedikitnya 12.000 warga Perancis yang hidup di sana. Kini Perancis bereaksi, karena perang saudara mengancam sektor pertanian di negara itu.“

Harian Belanda NRC Handelsblad juga mengomentari kerusuhan di Pantai Gading. Harian itu menulis:

„Gbagbo berlagak sebagai pembela kawasan selatan dengan mayoritas pemeluk agama Kristen. Dan menentang masyarakat internasional serta kawasan utara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Upaya segregasi seperti itu memicu krisis di Pantai Gading dan sangat membahayakan. Rencana Gbagbo untuk menciptakan ketegangan di Pantai Gading, sudah dapat dirasakan di seluruh kawasan. Perang atas dalih keagamaan yang terpicu di Nigeria baru-baru ini menggambarkan kesenjangan sosial, budaya dan ekonomi antara bagian utara dengan selatan di kawasan tersebut. Negara tetangga yang mengalami perang saudara yang kejam rentan terhadap dampaknya.“

Andriani Nangoy/dpa/afpd
Editor: Pasuhuk