1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Ritual Perpeloncoan Tumbuhkan Otoritarianisme di Thailand

Emmy Sasipornkarn
24 Juni 2021

Selama beberapa dekade ritual perpeloncoan telah menjadi bagian pokok kehidupan mahasiswa baru di Thailand. Menurut para kritikus, budaya ini membuka jalan berkembangnya otoritarianisme di negara itu.

https://p.dw.com/p/3vQb8
Mahasiswa di Thailand menjalani ritual perpeloncoan
Setiap awal tahun ajaran baru, mahasiswa di Thailand biasanya menjalani ritual perpeloncoan pada upacara penyambutanFoto: Sakchai Lalit/AP Photo/picture alliance

Lagi-lagi kegiatan orientasi di lingkungan universitas di Thailand menjadi sorotan menyusul tewasnya seorang mahasiswa berusia 22 tahun di Bangkok pada bulan ini. Veeraphan Tamklang, demikian nama mahasiswa itu, ditendang hingga tewas oleh 12 orang seniornya hanya karena tidak mengutarakan gagasan dalam sebuah ritual perpeloncoan.

Kisah-kisah semacam ini masih kerap menghiasi berita utama di Thailand. Padahal, sudah sangat banyak kecaman atas tradisi perpeloncoan mahasiswa baru yang dianggap brutal, memalukan dan merendahkan itu. Berbagai universitas bahkan telah melakukan kampanye untuk menghilangkan ritual tersebut.

"Kami selalu menyaksikan berita semacam ini ketika akan masuk semester baru. Ini adalah sebuah sistem busuk,” kata Phongsatorn Tancharoen, 20 tahun, yang menjabat sebagai wakil presiden Partai Chawdin di Universitas Mahasarakham, kepada DW. Menurutnya, sistem perpeloncoan ini "mendorong para senior untuk berpikir bahwa mereka dapat melakukan apa pun yang mereka mau, bahwa merekalah yang berkuasa dan dapat menyalahgunakannya.”

Banyak mahasiwa trauma perpeloncoan

Kebanyakan mahasiswa baru di Thailand biasanya menjalani aksi perpeloncoan berminggu-minggu dari senior mereka, dengan alasan untuk membina persahabatan antarsesama teman angkatan di universitas. Perpeloncoan dilakukan di bawah kredo yang dikenal dengan nama SOTUS (Senioritas, Ketertiban, Tradisi, Persatuan dan Semangat).

Namun upaya menjalin solidaritas dan persahabatan itu kerap dirusak oleh munculnya peristiwa traumatis, terutama ketika kegiatan diwarnai kekerasan dan penghinaan yang kelewat batas.

Ritual perpeloncoan tidak hanya membuat mahasiswa baru tidak nyaman dan canggung, tapi juga dapat berujung pada kematian, terutama ketika senior memberikan hukuman fisik kepada mereka.

"Saya harus ‘wai' [sapaan hormat yang biasanya ditujukan untuk orang yang lebih tua] kepada senior dan kami harus duduk di lantai,” kata Peerada Nuruk, seorang mahasiswa teknik berusia 23 tahun kepada DW. Ia adalah anggota kelompok ANTI-SOTUS.

"Kami juga tidak diperbolehkan memakai riasan atau mengecat rambut. Selain itu, kami juga harus mengenakan rok lurus selutut dan sepatu hitam selama upacara inisiasi,” tambahnya.

Dipaksa patuh tanpa boleh mempertanyakan

Menurut Peerada kegiatan perpeloncoan tersebut bertentangan dengan kebutuhan untuk mempromosikan pemikiran logis diantara mahasiswa.

"Ketika saya mulai mempertanyakan atau menolak [melakukan perintah], rekan-rekan saya memandang saya sebagai pembuat onar,” kata Peerada.

"Setelah menyadari bahwa kegiatan itu tidak benar, saya memutuskan tidak lagi patuh terhadap aturan yang dibuat para senior. Rekan-rekan yang lain kemudian menganggap saya membuat masalah karena para senior memarahi mereka. Mereka [senior] memang tidak mengkonfrontasi saya secara langsung, tetapi mereka menggunakan tekanan teman-teman saya untuk memaksa saya kembali ke sistem itu," tambahnya.

Phongsatorn pun mengemukakan hal senada. Menurutnya mahasiwa baru harus diberikan kesempatan untuk mempertanyakan "apakah kegiatan tersebut masih harus ada dan apakah mereka ingin berpartisipasi atau tidak.”

"Senior tidak berhak memaksa mereka untuk menyesuaikan diri,” tambahnya.

Perpeloncoan di Universitas Suan Sunandha Rajabhat
Militer mengawasi perpeloncoan di Universitas Suan Sunandha RajabhatFoto: Sakchai Lalit/AP Photo/picture alliance

Cerminan masalah yang lebih dalam di Thailand

Peerada percaya bahwa praktik perpeloncoan berkontribusi signifikan terhadap budaya yang lazim di Thailand. Maksudnya, warga tidak dianjurkan untuk mempertanyakan otoritas atau terlibat dalam pemikiran kritis.

"Diktator juga berpikir bahwa kita harus melakukan apa yang diperintahkan,” kata Peerada.

"Mereka yang mulai mempertanyakan atau mengkritik hal-hal yang dianggap salah akan ditahan, dipenjara atau didakwa. Ini sama seperti SOTUS, di mana kita tidak dapat mempertanyakan senior. Kita hanya harus mematuhi, mengikuti perintah dan tetap diam dalam sistem,” tambahnya.

Meski begitu, Peerada mengaku bahwa saat ini tradisi SOTUS semakin banyak didiskusikan. Jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, menurutnya tidak ada yang berani berbicara di depan umum dan hanya mempertanyakan tradisi ini secara diam-diam.

"Yang penting adalah bagaimana membuat orang menyadari bahwa SOTUS dan kediktatoran itu saling berkaitan,” ujarnya.

"Dengan memahami nilai-nilai demokrasi akan membuat tradisi ini hilang. Di Twitter, netizen sudah lebih terbuka membahas bahwa mereka pergi ke universitas untuk belajar, bukan untuk mengikuti perintah senior,” tutupnya.

gtp/as