1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rice Setujui Pelaksanaan Waterboarding

24 April 2009

Sebuah penyelidikan Senat Amerika pekan ini mengungkap, Condoleezza Rice merupakan pejabat tinggi pertama pada pemerintahan George Bush, yang mengetahui dan menyetujui metoda waterboarding, atau simulasi penenggelaman.

https://p.dw.com/p/Hdoa
Condoleezza RiceFoto: AP

Saat mulai terungkap bahwa dinas intelejen Amerika CIA menjalankan penyiksaan untuk mengorek informasi dari sejumlah tersangka teroris, bekas Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice melontarkan bantahannya dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi CNN:

"Amerika Serikat tidak terlibat dalam penyiksaan, tidak memakluminya, tidak memperkirakan bahwa para pegawainya turut serta melakukan tindakan itu."

Namun kenyataan membuktikan lain. Sebuah penyelidikan Senat Amerika pekan ini mengungkap, justru Condoleezza Rice merupakan pejabat tinggi pertama pada pemerintahan George Bush, yang mengetahui dan menyetujui metoda waterboarding, atau simulasi penenggelaman terhadap sejumlah tokoh kunci Al Qaida yang ditahan Amerika. Saat itu, jabatan Condoleezza Rice adalah Penasihat Keamanan Nasional.

Diungkapkan juru bicara program radio Amerika terkenal, Democracy Now: "Penasihat Keamananan Nasional Condoleezza Rice memberikan persetujuan atas berbagai metoda penyiksaan termasuk waterboarding sejak tahun 2002."

Menurut dokumen yang terungkap, CIA meminta persetujuan resmi pemerintah untuk menggunakan metode waterboarding terhadap Abu Zubaydah, yang ditangkap dalam keadaan luka di Pakistan menyusul suatu serangan udara. CIA meyakini, teroris ini memiliki informasi mengenai sejumlah rencana serangan baru Al Qaida, namun kukuh menutupinya dalam rangkaian interogasi pertama.

Condoleezza Rice memberi lampu hijau kepada CIA, sembilan hari sesudah jaksa agung waktu itu, John Ashcroft, memberikan fatwa hukum bahwa teknik penenggelaman semu itu tidak bertentangan dengan hukum. Disebutkan, wakil presiden waktu itu, Dick Cheney, malah secara eksplisit mendorong agar teknik simulasi penenggelaman dijalankan untuk menggali informasi penting.

Sedikit sekali pejabat pemerintah Bush yang menentangnya. Di antara penentang yang terbilang sedikit itu adalah salah pejabat badan penasihat keamanan waktu itu, Philip Zelikov. "Kita harus mematuhi aturan yang tidak boleh memperlakukan orang dengan cara keji atau merendahkan martabatnya sebagai manusia," demikian kata Zelikov.

Philip Zelikov menuliskan pendapatnya dan disampaikan kepada Condoleezza Rice, bahwa teknik-teknik interogasi yang cenderrung berbau penyiksaan seperti waterboarding, dan memaksa tak tidur berpuluh-puluh jam dengan menyangga tubuh, sama sekali tidak bisa diterima. Namun penentangannya tidak dipedulikan, lebih-lebih oleh dinas rahasia CIA.

"CIA tidak setuju. Kata mereka, kami lebih tahu, kami yang menjalankan program itu, dan program itu terbukti berjalan baik," demikian ungkap Zelikov.

Dinas rahasia dan para pejabat pemerintah Presiden Bush waktu itu mengganggap, keberatan dari orang-orang seperti Philip Zelikov merupakan hal yang naif. Karena menurut mereka, tanpa metoda seperti itu, tidak mungkin diperoleh berbagai informasi rahasia yang sangat penting untuk keamnaan Amerika. Seperti dikatakan Marc Thiessen, bekas penulis pidato Presiden George Bush: "Sangat naif untuk menganggap bahwa kita akan berhasil memperoleh informasi inteljen tanpa teknik ini."

Menurutnya, para teroris Al Qaida sangat kukuh menyimpan rahasia, dan menahan berbagai tekanan, dengan keyakinan keagamaan. Namun sekali daya tahan kekuatan mereka terlampaui, mereka buka mulut dan mengungkapkan segalanya. Dengan itu, katanya, sejumlah rencana serangan terhadap Amerika berhasil dikorek dan digagalkan.

Dalam catatan resmi, penenggelaman buatan alias waterboarding dilakukan terhadap Abu Zubaydah sebanyak 83 kali, dan terhadap otak serangan 11 September, Khaled Sheikh Mohammad, sebanyak 183 kali. Sejak 2004, CIA memutuskan untuk tidak lagi melakukannya. Dan beberapa belum lama ini, Presiden Barack Obama melarang penggunaan teknik ini.

Ralph Sina

Editor: Yuniman Farid