1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reuni Akbar 212, Apa Perbedaanya dengan Aksi 2016?

30 November 2018

Dua tahun lalu gerakan 212 digelar di Monas untuk memrotes Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap menista agama. Desember kali ini, alumni 212 menggelar reuni pada hari Minggu (02/12). Apa tuntutan mereka sekarang?

https://p.dw.com/p/39Bws
Jakarta Muslime protestieren gegen christlichen Gouverneur  Basuki Tjahaja Purnama
Foto: Reuters/D. Whiteside

2 Desember 2018, reuni alumni 212 digelar kembali di lapangan Monumen Nasional, Jakarta. Kelompok Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) menyebutkan reuni tahun ini tak jauh berbeda dengan aksi 212 pada 2016 lalu yakni menjalin silaturahmi persaudaran umat di Indonesia. 

Dari Arab Saudi, Pimpinan FPI Rizieq Syihab yang juga menjadi tokoh penggerak aksi 212 mengajak seluruh lapisan warga untuk menghadiri reuni tersebut.  

"Termasuk para pejabat yang pro rakyat dan PNS beserta TNI dan Polri serta elemen lainnya dari seluruh bangsa Indonesia. Kami serukan, kami ajak untuk hadir dalam acara reuni akbar pejuang 212," kata Rizieq lewat video yang diunggah akun YouTube Front TV, Kamis lalu (29/11).

PA 212 mengaku mengundang sejumlah pihak termasuk Presiden Joko Widodo dan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Meski September lalu, para bekas penggerak gerakan 212 telah menggelar Itjima Ulama yang menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga, kelompok PA 212 mengklaim reuni tersebut tidak akan mengampanyekan secara terbuka kandidat presiden nomor urut dua pada hari Minggu (02/12) nanti.

"Kami mau Prabowo hadir untuk mendengar aspirasi kami, tapi kalau tidak datang, itu tetap bisa kami sampaikan melalui orang-orangnya," ungkap Novel Bamukmin, juru bicara PA 212 kepada Detik News.

Partai Gerinda mengaku Prabowo Subianto tidak melarang kader Gerindra mengikuti Reuni 212 dan tidak ada instruksi khusus untuk mengikuti acara tersebut. Meski demikian, tim pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno tidak menampik reuni 212 dapat memberi efek elektoral signifikan bagi pasangan tersebut.

Populisme agama, memikat warga?

Setara Institute menilai repetisi aksi 212 sengaja hendak dibangkitkan kembali oleh sejumlah elit Islam sebagai bentuk gerakan politik dengan menggunakan ruang publik, terutama menjelang Pemilihan Presiden 2019.

"Menguasai ruang publik adalah target para elit 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah," ungkap Hendardi, Ketua Setara Institut melalui rilisnya kepada DW Indonesia.

Penggunaan pranata dan instrumen agama oleh banyak tokoh Islam mainstream menurut Hendardi dapat memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia. Namun tak seperti aksi yang digelar dua tahun sebelumnya, reaksi warga dianggap sudah berbeda.

"Dua tahun hampir berlalu gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik," ungkap Hendardi sambil menambahkan, " Kecuali untuk kepentingan elit 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita."

Reuni aksi 212 yang digelar hari Minggu (02/12) akan dimulai sejak pukul 03.00 hingga 12.00 WIB. Acara tersebut rencananya diawali dengan salat subuh berjamaah, kemudian zikir dam mendengarkan tausiah agama. Selain itu akan ada selebrasi bendera tauhid warna warni dan bendera merah putih. Kemudian penghargaan "Tauhid Milenia Award 212" untuk generasi muda yang dianggap berprestasi.

ts/hp (Detik News, Kompas.com, BBC Indonesia)