1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Kisah Relawan Pemakaman Muslim di Myanmar

11 Desember 2020

Tak kenal lelah dan terisolasi dari keluarga, relawan bekerja di pemakaman muslim di Yangon, Myanmar. Untuk memastikan jenazah dimakamkan dengan ritual Islam di negara berpenduduk mayoritas Budhha itu.

https://p.dw.com/p/3mZ9s
Yangon, Myanmar
Gambar ilustrasi: Kota YangonFoto: picture-alliance

Keringat mengucur deras di balik hazmatnya. Meski merasa lelah, Sithu Aung terus bekerja, memakamkan jenazah korban virus corona berikutnya. Ia dan rekan-rekan relawannya menawarkan upacara pemakaman penting kepada komunitas muslim di ibu kota Myanmar yang juga tengah berjuang melawan virus COVID-19.

Selama beberapa bulan terakhir, ayah berusia 23 tahun dan rekan-rekan relawan lainnya tinggal di pemakaman, terisolasi dari keluarga mereka. Mereka menghabiskan hari-harinya dengan mengumpulkan jenazah-jenazah dari rumah sakit dan pusat karantina di Yangon.

Memastikan ritual Islam untuk jenazah muslim

Tanpa upaya tim relawan ini, banyak jenazah kemungkinan akan dikremasi - praktik yang biasa dilakukan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini. Oleh sebab itu mereka turun tangan membantu keluarga muslim yang anggota keluarganya meninggal dunia, untuk dimakamkan dengan ritual hukum Islam.

Berkat mereka, orang-orang yang meninggal dunia menerima upacara pemakaman singkat yang dilakukan oleh seorang imam lokal di pemakaman muslim, di hadapan segelintir kerabat dekat yang mengamati dari jauh, sesuai protokol kesehatan.

"Saya mendapatkan kepuasan dari kebahagiaan keluarga mereka dan mengetahui bahwa Tuhan melihat apa yang kami lakukan," kata mantan pemilik toko, Sithu Aung kepada AFP. "Itu sebabnya kami mempertaruhkan hidup kami untuk melakukan pekerjaan ini."

Penduduk muslim di Yangon berjumlah sekitar 350.000 - tujuh persen dari populasi kota. Beberapa asosiasi muslim telah menyediakan tiga ambulans, dua mobil dan persediaan makanan bagi para relawan.

Stigma yang melekat pada virus tersebut membuat mereka terpaksa mengisolasi diri dari keluarga, sehingga tim yang terdiri dari 15 orang relawan tinggal di gubuk di dalam kompleks pemakaman.

Dibalut pakaian pelindung, sarung tangan karet, kacamata dan pelindung wajah plastik, mereka bekerja bergiliran sepanjang waktu, melewati jalan setapak dan jalan-jalan yang macet di Yangon dengan lampu darurat dan sirene yang meraung-raung.

Angka melonjak

Selama berbulan-bulan, Myanmar relatif tidak terdampak parah akibat pandemi COVD-19. Tercatat ada kurang dari 400 kasus di seluruh negeri pada pertengahan Agustus lalu.

Tapi situasi itu berubah ketika jumlah kasus mulai melonjak di negara yang sistem perawatan kesehatannya tergolong terlemah di dunia itu. Sekarang ada lebih dari 100.000 infeksi COVID-19, dengan lebih dari 2.000 kematian. Sebagai pusat komersial ibu kota Myanmar yang padat, Yangon menjadi hotspot virus COVID-19. Sithu Aung dan timnya rata-rata mengumpulkan tiga atau empat jenazah setiap hari.

Mereka bekerja dalam sistem bergilir: dua minggu bekerja penuh, kemudian isolasi diri seminggu. Itu memungkinkan Sithu Aung menghabiskan waktu beberapa hari bersama istri dan putranya yang berusia satu tahun, sebelum dia kembali ke pekerjaannya yang berbahaya.

Ketika kota itu pertama kali diisolasi pada bulan April, dia memilih untuk tidak memberi tahu keluarga tentang rencananya untuk menjadi sukarelawan. "Jika saya membiarkan mereka tahu, ibu dan istri saya tidak akan mengizinkan saya melakukannya," akunya, seraya menambahkan keluarganya terkadang mengunjunginya di pemakaman, meskipun mereka menjaga jarak.

Sithu Aung membantu menguburkan korban pertama virus corona di Myanmar, seorang pria muslim berusia 69 tahun. Ia mengingat rasa ketakutannya dulu saat terkontak dengan tubuh korban.

Namun, setelah membantu menguburkan puluhan korban virus corona, dia mengatakan tidak lagi takut mati. Namun dia mengakui emosinya masih bisa meluap-luap.

"Saya sedih anggota keluarga mereka tidak bisa melihat wajah orang yang mereka cintai," katanya, bersimbah keringat setelah melepas lapisan alat pelindung. "Beberapa hari kami juga menangis di balik kacamata pelindung kami," pungkasnya.

ap/hp(AFP, worldmeter)