1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Referendum Konstitusi Turki dan Hubungan AS dengan Dunia Islam

13 September 2010

Referendum konstitusi Turki memicu beragam reaksi di Uni Eropa. Sebagian negara menyambutnya, sebagian lagi masih skeptis terkait masa depan Turki sebagai negara yang sekuler.

https://p.dw.com/p/PAyd
Pro dan contra amandemen konstitusi sengit diperdebatkan menjelang referendumFoto: AP

Harian Inggris The Independent yang liberal kiri mengomentari referendum terkait reformasi konstitusi Turki. Harian ini menulis:

"Erdogan tentu orang yang relijius. Tapi selama ini tidak ada bukti mengenai niat-niat anti-demokrasi yang tersembunyi dari pihaknya. Sebagian besar inisiatif perdana menteri, seperti misalnya perundingan langsung dengan kelompok separatis Kurdi, merupakan peningkatan jelas dari politik penindasan yang dijalankan pendahulunya yang jelas-jelas mengaku sekuler. Inggris sedari dulu mendukung keanggotaan Turki dalam Uni Eropa, karena Inggris beranggapan bahwa akan saling menguntungkan jika negara ini memiliki hubungan lebih erat dengan barat."

Harian Swiss Tagesanzeiger yang terbit di Zürich menulis:

"Bahwa para pendukung kudeta dan dalang penyiksaan kini dapat diganjar hukuman berkat reformasi konstitusi merupakan nilai tambah pembaruan yang simbolis ini. Bagi korban penyiksaan dan mereka yang diusir ini merupakan suatu kepuasan tersendiri, dan masyarakat mendapat peluang untuk melakukan penilikan ulang sejarah yang traumatis. Kebanyakan warga Turki merindukan stabilitas dan mengharapkan boom ekonomi Turki yang cukup mengesankan akan terus berlanjut. Dan mereka ingin negara yang lebih demokratis dan liberal. Eropa juga dapat bergembira mendengar kabar ini."

Sementara harian Italia La Stampa yang terbit di Turin menyoroti hasil referendum di Turki dengan kritis.

"Dengan kemenangan dalam referendum mengenai reformasi konstitusi yang paling sensitif dalam sejarah Turki modern in Perdana Menteri Recep Tayipp Erdogan berhasil memperkenalkan elemen penting dalam keterbukaan demokrasi skema militer dan otoriter di Turki. Reformasi ini tidak dapat dianggap enteng: ini merupakan awal dari ambruknya warisan sekuler pendiri Turki Mustafa Kemal Atatürk dan salah satu langkah penting perjalanan yang ditempuh Erdogan, yang membawanya makin jauh dari israel dan makin dekat pada negara Islam Iran. Pertanyaan terkait hubungan Turki dengan Eropa dan status warga minoritas Kurdi tetap tidak terjawab. Yang jelas adalah: Turki membuka bab baru, tapi masih banyak bab lainnya yang menunggu. Bagaimana, kapan dan oleh siapa bab baru ini akan dibuka, masih belum jelas."

Pendapat serupa diusung harian Spanyol ABC yang berhaluan kosnervatif. Harian yang terbit di Madrid ini menulis:

"Erdogan sekarang bebas untuk mengikuti haluan yang selama ini merupakan jalan terlarang baginya. Pertanyaannya sekarang, jalan mana yang akan dipilihnya untuk Turki: jalan yang liberal, yang membuat Turki menjadi calon anggota Uni Eropa atau jalan yang membawanya lebih dekat pada rezim theokrat Iran dan penguatan identitas muslim Turki."

Topik lainnya yang diulas dalam tajuk harian Eropa adalah peringatan serangan teror 11 September di Amerika Serikat.

Harian Perancis Ouest France yang terbit di Bretagne secara khusus menyoroti hubungan warga AS dengan Islam pasca 11 Septmeber. Harian ini menulis:

"Setelah 11 September 2001 sangat jelas terlihat: Meski Amerika Serikat adalah kekuatan militer dan ekonomi terkuat dunia, tapi wilayahnya tak lagi terlindung, pertahannya dapat dibobol. Sembilan tahun, dua perang serta satu krisis setelahnya ada aspek yang terlihat jauh jelas dibandingkan tahun 2001 dulu. Bahwa opini publik semakin mencampurkan antara aksi teror dan Islam. Seolah-olah serangan yang dilakukan oleh kelompok Bin Laden menyuntikkan pertanyaan terkait Islam ke dalam urat nadi demokrasi Amerika Serikat."

zer/hp/dpa/afp