1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rapor Hitam Merah dari HRW untuk Jokowi

28 Januari 2016

Laporan tahunan Human Rights Watch (HRW) 2014-2015 untuk Indonesia menyoroti beberapa perkembangan memperihatinkan selama setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Isu hak asasi dan situasi di Papua jadi sorotan utama.

https://p.dw.com/p/1HlI2
Gedenken an Menschenrechtsverletzungen, Indonesien
Foto: DW/G. Simone

Dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2014, selain akan memperbaiki kondisi ekonomi, Joko Widodo juga menjanjikan perbaikan kondisi hak asasi manusia, dan "penuntasan" kasus-kasus HAM masa lalu, termasuk penyelidikan hilangnya 13 aktivis pro-demokrasi tahun 1998, menjelang jatuhnya rejim Suharto.

Setelah menjadi presiden, Jokowi bahkan pernah berjanji membuka akses wartawan asing ke Papua. Tapi, sama seperti presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono yang memimpin selama 10 tahun, janji-janji itu sampai sekarang belum terpenuhi.

Masa pemerintahan Yudhoyono terutama memperlihatkan kemunduran besar dalam perlindungan hak-hak minoritas kaum beragama di Indonesia. Mulai dari pelecehan, intimidasi, maupun kekerasan dari kelompok militan Islamis; pembiaran berlakunya UU Syariah yang melanggar hak-hak perempuan, kaum LGBT, serta kaum minoritas. Di atas semua itu, kondisi hak asasi manusia di Papua makin menyedihkan.

Kondisi itu belum banyak berubah sejak Presiden Jokowi mengambil alih pemerintahan, demikian kesimpulan HRW.

Menurut data Setara Institute, tahun 2013 ada 230 penyerangan terhadap minoritas agama di Indonesia. Tahun 2014, sampai bulan November ada 107. Hampir semua pelaku kekerasan berasal dari militan Sunni; korban mereka adalah pengikut Ahmadiyah, Syiah, Muslim Sufi, kelompok Kristen, dan kelompok-kelompok kepercayaan lokal.

West Papua Indonesische Soldaten
Aparat keamanan Indonesia di PapuaFoto: Getty Images/AFP/T. Eranius

Tahun 2014, dua jemaat Kristen di pinggiran Jakarta—GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia—terpaksa beribadah di rumah-rumah pribadi, karena pemerintah gagal menjalankan keputusan Mahkamah Agung, yang sudah memerintahkan agar pemerintah daerah mengeluarkan izin bangunan untuk kedua jemaat itu.

Pada 29 Mei 2014 misalnya, anggota kelompok militan menyerang rumah penerbit buku Julius Felicianus di Yogyakarta, ketika keluarganya sedang menggelar acara doa. Tujuh orang cidera dalam insiden itu. Polisi menangkap pemimpin serangan, namun kemudian dibebaskan setelah pemerintah setempat menekan Felicianus dengan isu "kerukunan beragama."

Kondisi HAM di Papua tahun 2014 masih parah. Berbagai operasi aparat keamanan terus menelan korban jiwa. Di lain pihak, aksi-aksi penembakan juga terus terjadi, tanpa jelas siapa pelakunya. Tuduhan biasanya langsung dialamatkan kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Thomas Dandois und Valentine Bourrat Journalisten
Valentine Bourrat dan Thomas Dandois di pengadilan PapuaFoto: STR/AFP/Getty Images

Menurut laporan kelompok HAM Papua, sampai tahun ini masih ada sekitar 70 orang yang mendekam di penjara dan belum disidangkan. Kesalahan mereka: ikut dalam aksi damai pro kemerdekaan.

Pemerintah dan militer juga menutup akses wartawan asing ke Papua. 6 Agustus 2014, polisi menangkap dua wartawan Perancis, Valentine Bourrat dan Thomas Dandois, dengan tuduhan bekerja tanpa visa wartawan dan mendukung gerakan makar.

Namun akhirnya mereka hanya dituduh melanggar ketentuan imigrasi dan akhir Oktober keduanya diijinkan meninggalkan Indonesia, setelah ditahan dua setengah bulan.

Indonesien Gewalt Ahmadiyah Muslime Polizist vor zerstörtes Haus
Rumah warga Ahmadiyah yang diserang massa, Februari 2011Foto: AP

26 Agustus 2014, Martinus Yohame, ketua Komite Nasional Papua Barat di Sorong, ditemukan tewas dalam karung di laut. Ia dinyatakan hilang menjelang kunjungan Presiden Yudhoyono. Yohame sebelumnya bicara dengan kedua wartawan Perancis yang kemudian ditahan.

Beberapa hal lain yang disorot HRW adalah penyerobotan hak-hak masyarakat adat atas tanah, dengan memberi konsesi kepada perusahaan kayu dan perkebunan. Ada juga kasus pelanggaran hak berkespresi. Misalnya penahanan Florence Sihombing, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, 30 Agustus 2014, yang dituduh melakukan pencemaran nama baik setelah ia menyebut kota Yogyakarta "membosankan” dan “sucks” di media sosial Path. Polisi membebaskan dia 1 September, sesudah muncul protes luas dan pihak universitas menyatakan akan memberi sanksi akademik. Florence kemudian diskors satu semester.

Namun kasus HAM yang paling parah adalah impunitas, atau kekebalan hukum yang masih dinikmati para pelaku HAM yang berasal dari kalangan militer. Kasus pembunuhan Munir misalnya, setelah lebih 10 tahun, tetap belum terungkap. Tentara yang melanggar HAM terutama dilindungi oleh UU Pengadilan Militer dari tahun 1997.

Munir Said Thalib indonesischer Menschenrechtsaktivist
Munir dibunuh dengan racun dalam penerbangan ke Amsterdam, September 2004Foto: AFP/Getty Images/Dewira

Dan dalam kasus kejahatan kemanusiaan pembunuhan massal dan pelanggaran HAM berat terkait peristiwa 1965-1966, pemerintah masih belum menyatakan permohonan maaf, atau mengakui keterlibatan aparat keamanan. Begitu juga dalam berbagai pembunuhan yang terjadi di daerah operasi militer Aceh, Papua, hingga Timor-Timur.

Hak asasi perempuan dan anak juga masih mengalami tekanan. Tahun 2014, menurut Komnas Perempuan ada 23 peraturan baru yang diskriminatif yang dikeluarkan di tingkat pusat maupun daerah. Secara keseluruhan, ada sekitar 280 peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan. Ada 90 peraturan yang mengharuskan perempuan dan anak perempuan memakai jilbab. Di beberapa daerah, perempuan yang bukan pemeluk agama Islam juga diwajibkan mengenakan jilbab.

hp/ml (rtr, hrw)