1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Raksasa Properti Cina, Evergrande, Semakin Terdesak

Thomas Kohlmann
29 September 2023

Kredit macet dan dakwaan kriminal semakin membebani raksasa properti Cina, Evergrande. Kini, perusahaan mempertaruhkan masa depan pada rencana restrukturisasi utang yang semakin lama semakin sulit terwujud.

https://p.dw.com/p/4WxjS
Evergrande
Evergrande Foto: Wang Gang/Utuku/ROPI/picture alliance

Krisis yang menimpa raksasa properti Cina, Evergrande, kian memanas, setelah kantor berita Caixin melaporkan penangkapan terhadap Direktur Keuangan, Pan Darong, dan bekas Direktur Utama, Xia Haijun. Keduanya dikenal loyal kepada pendiri Evergrande, Hui Ka-yan. Dia mengundurkan diri 2022 silam setelah ketahuan menggelapkan kredit bernilai miliaran Dollar AS.

Berita penangkapan tersebut didahului penggerebekan terhadap anak perusahaan Evergrande di Shenzen, di mana sejumlah pegawai ditahan aparat kepolisian.

Pada Selasa (26/9), kantor berita Reuters mengabarkan, para pemegang saham Evergrande di luar negeri berniat mengajukan gugatan likuidasi terhadap manajemen, jika Evergande gagal merilis rencana restrukturisasi utang hingga bulan depan. Laporan tersebut memicu gelombang spekulasi, bahwa raksasa properti Cina itu tidak lagi bisa diselamatkan dan harus menyatakan diri bangkrut.

Celakanya, pada hari Minggu (24/9) manajemen perusahaan mengaku tidak lagi diizinkan mengambil utang baru oleh pemerintah Cina. Artinya, perusahaan tidak lagi bisa membayar cicilan utang atau menawarkan surat utang jangka panjang.

Evergrande shares plummet as unit sale fails

Goyahnya perekonomian Cina

Kasus Evergrande menjadi pukulan bagi upaya pemerintah di Beijing untuk menstabilkan perekonomian dan menenangkan investor. Dikhawatirkan, krisis properti di Cina bisa berimbas kepada sektor perbankan. Industri properti selama ini menyumbang seperempat dari produk domestik brutto di Cina.

Eskalasi krisis bukan hanya akan berdampak kepada pemerintah Cina, tetapi juga pada semua mitra dagang terbesar Beijing. Betapapun juga, sektor konstruksi di Cina bertanggung jawab atas seperempat PDB secara langsung atau tidak langsung.

Sejak beberapa bulan terakhir, Evergrande berusaha meyakinkan debitur untuk menyetujui rencana restrukturisasi utang luar negeri senilai USD 31,7 miliar. Secara keseluruhan, perusahaan berutang sebanyak USD 340 miliar pada tahun 2022. Rencana restrukturisasi menyaratkan para debitur bersedia memperpanjang masa cicilan menjadi 10 atau 12 tahun.

Tidak sedikit debitur yang dikejutkan oleh pengumuman perusahaan pada akhir pekan lalu, bahwa Evergrande tidak lagi sanggup membuat utang baru. Kini sedang dirundingkan bagaimana restrukturisasi utang atau pembayaran cicilan bisa dilaksanakan dengan tertib, lapor Reuters mengutip sumber orang dalam.

Negosiasi alot seputar restrukturisasi utang

Jika sampai tanggal 30 Oktober Evergrande belum memublikasikan rencana restrukturisasinya, sejumlah debitur luar negeri sudah siap mengajukan permohonan likuidasi terhadap aset perusahaan, menurut laporan Reuters.

Namun belum jelas berapa banyak debitur Evergrande yang akan menempuh jalur hukum dan berapa volume pinjaman yang diperkarakan.

Top Shine Global, salah satu pemilik saham Evergrande, mengajukan permohonan likuidasi sudah sejak Juni 2022 lalu melalui pengadilan di Hong Kong. Gugatan berbasis pada kegagalan Evergrande memenuhi butir kesepakatan untuk membeli kembali saham situs otomotif, Fangchebao. Juli lalu, sidang dengar pendapat diundur hingga 30 Oktober, menunggu hasil negosiasi restrukturisasi utang antara perusahaan dan debiturnya.

Untuk nendapat lampu hijau bagi restrukturisasi, Evergrande harus mendapat persetujuan dari minimal 75 persen semua debitur dan pemegang surat utangnya.

Pertemuan itu sudah dijadwalkan untuk pertengahan Oktober. Namun setelah Evergrande mengaku tidak lagi bisa membuat utang, analis keuangan meragukan apakah upaya restrukturisasi bisa dilakukan.

rzn/as